Enarotali, Jubi – Pada 1 Juli 1971 bertempat di Desa Waris, Victoria, Papua Barat, telah dikumandangkan “Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat” oleh Brigjend Zeth Jafet Rumkorem selaku Presiden Papua Barat. Namun demikian, proklamasi tersebut tidak dapat melepaskan Papua dari cengkraman kekejaman dan kebrutalan kekuatan militer Republik Indonesia, yang sudah menguasai seluruh wilayah Papua.
Hal itu dikatakan Panglima Tertinggi West Papua Army (WPA) Damianus Magai Yogi. Ia mengatakan setelah 1 Desember 1961, West Papua telah mendeklarasikan diri sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat.
“Namun, Indonesia menganeksasi West Papua melalui program Tiga Komando Rakyat atau Trikora yang merupakan pintu awal masuknya operasi militer Indonesia hingga ke pelosok Papua. Semenjak 1961 hingga 2023, sedikitnya 50 operasi militer dengan mobilisasi ribuan angkatan bersenjata ke Papua, buktinya lebih dari 500.000 Orang Asli Papua atau OAP terbunuh,” katanya kepada Jubi, Minggu, (2/7/2023).
Yogi mengatakan dari masa kepemimpinan Presiden Soekarno hingga Jokowi, kekuatan militer tetap menjadi alat yang paling reaksioner dalam menghadapi gejolak perlawanan rakyat West Papua.
“Ratusan ribu nyawa rakyat West Papua telah hilang oleh kebiadaban militer Indonesia. Dengan itu pun, aspirasi dan ruang demokrasi untuk rakyat Papua dibungkam habis-habisan oleh kolonial Indonesia. Hingga saat ini, gerakan-gerakan perlawanan rakyat West Pepua terus dibungkam dengan berbagai skenario dan tekanan, intimidasi serta teror untuk menekan aktivitas perlawanan rakyat. Hal ini dilakukan oleh Indonesia untuk tetap mengamankan West Papua menjadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia. Padahal status potilik rakyat West Papua belum terselesaikan,” katanya.
Menurutnya, proses integrasi Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 dilakukan dengan cara-cara represif dan bertentangan dengan hukum internasional. Proklamasi kedua kemerdekan tercetus pada 1 Juli 1971 di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang disebut (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosa kata rakyat Papua Barat, “Marvik”.
Anak kandung Thadius Magai Yogi ini menegaskan, Freeport Indonesia hadir di Papua pada 1967 padahal Pepera belum lagi dilaksanakan. Itu menjelaskan bahwa perebutan wilayah Papua bermotif perebutan sumber-sumber ekonomi tertanam dalam watak kolonial.
“Freeport berdiri sejak 60 tahun lalu. Sepanjang ini juga tidak ada kesejahteraan bagi manusia di sekitarnya. Freeport justru telah mematikan 23.000 hektare hutan, mengakibatkan sungai meluap karena endapan tailing yang termasuk kategori limbah [bahan beracun berbahaya],” katanya kepada pasukannya pada upacara Sabtu, (1/7/2023) di markas besar WPA Paniai.
Selain itu, penduduk asli semakin tersingkir (marginalisasi) dan tanah adatnya dirampas. Masuknya Freeport hanya memberi ruang bagi aparat keamanan sehingga membangun bisnisnya lalu pemilik hak ulayat dibantai, dan mereka menculik, memperkosa, serta menganiaya rakyat Papua dan membakar kampung-kampung guna menjaga basis-basis operasi modal.
“PT Freeport dan pemilik modal besar Amerika serta kolonialisme dan militerisme Indonesia di West Papua merupakan satu kesatuan yang menjunjung rangkaian penindasan yang sistematis di West Papua,” katanya.
Menurut dia, negara digunakan sebagai alat kelompok pemodal yang sedang berkuasa untuk melegalkan penindasan di Papua. Amerika merupakan dalang dibalik New York Agreement yang tidak melibatkan orang Papua, dan pratik Pepera yang manipulatif serta tidak demokratis dan pembantaian Rakyat Bangsa Papua Barat dari tahun 1963 hingga kini dalam skala tertentu.
Semenjak hak manifesto kemerdekaan West Papua diklaim oleh Indonesia, terjadi beragam operasi militer yang dilancarkan oleh kolonial Indonesia untuk membungkam gerakan perlawanan rakyat West Papua, yang menolak kehadiran Indonesia dengan kekuasaan Investasi, saham, politik kolonial, militerisme, dan imprealisme di West Papua.
“Alat negara dalam menumpas rakyat West Papua saat ini adalah militer, jadi satu-satunya tameng untuk berhadapan dengan Rakyat West Papua,” ujarnya.
Maka, kata dia, rakyat West Papua yang diwakili oleh ULMWP dan pihaknya sebagai penanggungjawab militer TNPB, TPN-PB dan TRWP West Papua bertepatan dengan momentum peringatan 1 Juli 1971 proklamasi sebagai hari manifesto politik kemerdekaan bangsa West Papua, menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan rezim Jokowi untuk segera mengakui bangsa West Papua sebagai sebuah negara yang merdeka sejak Desember 1961 dan kembalikan hak manifesto politik bangsa West Papua.
“PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, serta PBB wajib melakukan pelurusan sejarah dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa Papua. PBB harus membuat resolusi untuk mengembalikan kemerdekaan bangsa Papua Barat yang telah merdeka pada 1 Desember 1961, sesuai mekanisme hukum internasional. Kami juga meminta agar segera dicabut resolusi 2504 hasil Pepera 1969,” katanya.
Rakyat bangsa Papua dan tiga komando TNPB, TRWP dan TNPB dibawah WPA mengakui ULMWP sebagai representasi perjuangan bangsa Papua.
“Kami mendesak negara-negara di Melanesian Spearhead Group (MSG) untuk mengesahkan ULMWP sebagai anggota penuh (di MSG. Maka kami juga sampaikan kepada keluarga besar Melanesia jangan menipu kami, cukup NKRI menipu dan membunuh kami sejak 1963 sampai detik ini,” katanya. (*)