JUBI – Apabila orang mendengar Asmat, maka yang terlintas dalam benak kita adalah patung-patung “BIS” yang merupakan hasil karya cipta para pengukir –pengukir handal Asmat.
Ukiran Asmat adalah salah satu produk seni yang diminati dan terkenal sampai di luar negeri. Tahun 2006 secara definitif kecematan Asmat telah resmi menjadi wilayah kabupaten melalui Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2006 sebagai kabupaten pemekaran dari Kabupaten Merauke.Kabupaten Asmat terdiri dari 7 (Tujuh) Distrik,yaitu : Sawa Erma, Agats, Akat, Atsy, Suator, Fayit dan Pantai Kasuari serta 139 Kampung dengan luasan 23.746 Km2 terletak antara 40- 70 LS dan 1370 – 1410 Bujur Timur. Etnisitas di Kabupaten Asmat secara umum terdiri dari : 1.Suku Asmat yang tersebar di wilayah Distrik Agats- Distrik Sawa Erma; 2. Suku Citak yang tersebar di wilayah Distrik Atsy sampai Kabupaten Mappi; 3. Suku Mamuna yang tersebr di arah Utara Atsy – Bagian Tenggara Distrik Suator sampai Boven Digoel dan Mappi; 4. Suku Kopkaka yang tersebar di wilayah Distrik Akat – Suator sampai ke Distrik Seradela-Yahukimo; 5. Suku Pantai Kasuari di wilayah Distrik Pantai Kasuari; dan Suku Keroway yang tersebar di wilayah Distrik Suator ke arah Boven Digoel dan ke arah Distrik Seradela-Yahukimo. Yayasan Almamater (Alam Lestari Masyarakat Sejahtera), WWF Merauke dan CIFOR bekerjasama dengan Bappeda Kabupaten Asmat melaksanakan Workhsop Mengimplementasikan Kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Dalam Mewujudkan Pembangunan Daerah Melalui Perencanaan Tata Ruang Wilayah Di Kabupaten Asmat. Kegiatan ini bertujuan untuk mensinergiskan kebijakan pemerintah pada berbagai level dan juga mengakomodir kebutuhan dan aspiran pemerintah daerah serta masyarakat adat dalam upaya mewujudkan tata ruang wilayah Kabupaten Asmat yang partisipatif serta sesuai dengan tujuan-tujuan strategis pembangunan kabupaten Asmat. Workshop ini diikuti oleh wakil-wakil masyarakat adat, utusan dari distrik, instansi teknis dan dinas terkait dengan menghadirkan para narasumber dari pusat, yaitu Kementirian PDT (Percepatan Daerah Tertinggal), Bappenas, Direktorat Tata Ruang Kota/Kabupaten Departemen PU RI, Kepala BPKH Papua, Balai TN Lorens, WWF Sahul, Yayasan Almamater dan Cifor. Selain kegiatan Workshop ini, CIFOR dan Pemkab Asmat melakukan kunjungan lapangan ke wilayah – wilayah distrik terpencil untuk melihat langsung interaksi kehidupan masyarakat asli dengan hutan dan alam lingkungan di sekitarnya. Suku Keroway adalah salah satu komunitas masyarakat adat yang hidup masih sangat akrab dan bergantung sepenuhnya dengan hutan dan alam lingkungan disekitarnya. Mitos wilayah keroway yang masih banyak misteri dan mitos terkenal tentang “Orang- orang kanibal”, Komunitas orang-orang yang hanya terdiri dari wanita dengan seorang pria berwujud serigala raksasa” dan Orang-orang kerdil yang menguasai duania maya disekitar alam lingkungan Keroway yang menyimpan harta karun terpendam”. Namun, disamping mitos dan misteri yang mengundang banyak ekpedisi para turis-turis petualang ke wilayah ini, yang pasti orang –orang Keroway dan suku-suku disekitarnya seperti Mamuna, Kopkaka dan Wambon adalah orang –orang yang menghuni rumah tinggi yang sangat unik dan arstistik. Keunikan rumah tinggi (rumah pohon) yang dibangun diatas batang pohon sebagai tiang utama sangat unik dan ketinggiannya bisa mencapai ± 30 meter dari permukaan tanah. Letak ketinggian rumah pohon bergantung pada rasa aman dan kekhawatiran penghuninya. Rumah yang tinggi berarti orang yang menghuninya masih khawatir akan musuh dan belum bertinteraksi langsung dengan orang-orang di luar lingkungannya, begitu penjelasan dari Sam Yensenem. Staf Distrik Suator ini juga, menerangkan bahwa masyarakat Keroway hidup bergantung pada sagu sebagai makanan pokoknya. Selain itu, ada juga pesta budaya ulat sagu yang digelar pada waktu tertentu bersamaan dengan pembuatan perisai perang suku Keroway. Potensi wisata budaya dan kekhasan kehidupan asli Suku Keroway merupakan daya tarik wisata yang dapat dijadikan prospek pengembangan industri pariwisata di Kabupaten ini,. Tentunya dengan dukungan dan penyiapan infrastruktur yang memadai oleh pemerintah, sehingga Asmat dapat menjadi kota Budaya demikian ujar peneliti CIFOR, Krystof Obidzinky. Potensi lahan Kabupaten Asmat 3.182.190 Ha dengan tutupan lahan berupa lahan kering 594.082 Ha, lahan basah 1.926.866 Ha dan tutupan lahan lainnya 661.242 Ha. Hal ini, mengisyaratkan bahwa 60 % lahan kabupaten Asmat adalah lahan basah yang didominasi pohon-pohon sagu dan nipah yang tumbuh dan terbetang sepanjang daerah aliran sungai dan sungai-sungai kecil di wilayah ini. Hutan sagu dan lahan basah ini merupakan potensi ekonomi dan peluang strategis bagi Kabupaten Asmat untuk dikelola sebagai sumber pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakatnya, demikian ujar Agus Andrianto (asst. Peneliti CIFOR). Rata-rata curah hujan 3.000 mm – 5.000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 200/tahun dan perbedaan musim kemarau dan penghujan serta geografis wilayah didominasi lahan basah yang luas serta kedekatan masyarakat adat dengan alam merupakan beberapa pertimbangan penting dalam menata pemanfaatan ruang dan wilayah di Kabupaten Asmat guna mewujudkan visi pembangunan Kabupaten Asmat, yaitu “Masyarakat Kabupaten Asmat yang maju, mandiri, damai dan sajahtera berbasis kearifan budaya lokal yang mengedepankan nilai kebersamaan sebagai manusia Asmat sejati” Akhir kata, merefleksi dan memahami motto “Membangun Asmat Di Atas Pilar-Pilar Budaya”, kiranya bukanlah semboyan dan retorika belaka. Melainkan nilai-nilai luhur yang diperjuangan dan diwujudnyatakan dalam perencanaan wilayah kabupaten yang partisipatif dan berpihak pada masyarakat adat. (Godlief Kawer/Victor Mambor)
Discussion about this post