Jayapura, Jubi – Status Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia membutuhkan pelurusan sejarah.
Hal itu disampaikan Pastor Alexandro Rangga OFM dari Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua dalam webinar “Tindakan Politik Papua” yang diselenggarakan Philojustice JPIC OFM Indonesia, pada Minggu kemarin (15/05/2022).
Rangga mengatakan yang perlu diluruskan salah satunya adalah status Papua yang berbeda. Itu Karena Pemerintah Indonesia mengklaim Papua sudah sah menjadi bagian dari NKRI. Sebaliknya masyarakat Papua menyatakan mereka telah merdeka sejak 1961.
“Hal ini selalu diangkat orang Papua. Artinya kita (Indonesia) boleh mengklaim bahwa sudah sah tapi jika itu masih menjadi persoalan di akar rumput (masyarakat Papua) yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pembangunan, misalnya kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua,” ujarnya.
Menurut Rangga solusi yang dapat dipakai guna meluruskan sejarah adalah melalui jalan dialog damai Jakarta – Papua yang selama ini sudah diperjuangkan oleh tokoh-tokoh gereja maupun tokoh-tokoh Papua. Akan tetapi dalam dialog semua harus dibicarakan dengan bisa merujuk dari hasil penelitian LIPI termasuk status Papua dalam bingkai NKRI.
“Yang terakhir (dialog) yang dibangun pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam, Mahfud MD dengan menjadikan Komnas HAM sebagai mediator. Dialog ini pun akan susah terealisasi karena pemerintah Indonesia mau berdialog tetapi jangan minta merdeka. Padahal dalam banyak hal isu ini (Papua merdeka) menjadi salah satu isu yang harus dimasukan dalam dialog,” katanya.
Peserta diskusi, Paulus Laratmase mengatakan demokrasi yang berkeadilan tidak diperoleh dalam jajak pendapat itu sebabnya perlu diluruskan sejarah. Generasi Papua kini hanya meminta sebuah kejujuran negara terhadap masa lalu yang tidak demokratis.
“Konflik akan tetap ada jika kejujuran terhadap sejarah tidak diluruskan,” ujarnya.
Menurut Laratmase perlu rekonsiliasi nasional terhadap sikap negara yang tidak demokratis. Memang dibenak banyak kaum intelektual Papua kecenderungan memilih Papua merdeka adalah pilihan utama biarpun kini menjadi pejabat birokrasi, politisi bahkan akademisi.
“Ini artinya perlu pendekatan yang lebih humanis dalam konteks Arend pada ranah publik yang merupakan wujud keadilan dari aspirasi rakyat Papua sendiri,” katanya. (*)
