Jayapura, Jubi- Kulit kayu dari Pohon Khombouw saat ini sudah semakin susah ditemukan di pinggiran danau atau wilayah Sentani.
Pohon Khombouw merupakan salah satu pohon yang kulitnya digunakan masyarakat Kampung Asei Besar Distrik Sentani Timur, untuk membuat lukisan khas Papua karena memiliki tekstur yang bagus .
Berta Pepoho salah satu perajin lukisan kulit kayu dari Kampung Asei mengatakan, kulit kayu Khombouw sudah sangat susah ditemukan, di sekitaran Sentani sehingga para perajin biasa mengambil kulit kayu ke daerah Rere, Taja dan juga Genyem.
“Kulit kayu sudah mulai agak susah didapat di pinggiran danau karena semua kerja kulit kayu, pembangunan juga semakin padat. Sekarang itu kami bayar tenaga ke anak-anak laki-laki untuk ambil (kulit kayu) di Rere, Taja tapi juga di Genyem. Biasa Mama dong bayar per kepala 250 ribu per orang untuk pergi ambil kulit kayu, disini mulai tidak ada cuma yang ada masih kecil-kecil,”katanya baru -baru ini di ajang Festival Danau Sentani atau FDS ke-XIV Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Pepoho juga menceritakan proses pembuatan lukisan pada kulit kayu. Dimulai dari mengambil bahan di hutan kemudian dikuliti. Lalu direndam selama dua hari dalam air sampai getahnya hilang.
Kulit kayu lantas dijemur di atas papan yang rata agar hasilnya bagus. Setelah itu baru dilukis dan diwarnai. Proses yang terakhir ini dilakukan mama Berta Pepoho sekeluarga.
“Kalau untuk melukis kami punya adat di Sentani atau Kampung Asei perempuan tidak boleh melukis diatas kulit kayu. Kalau laki-laki boleh. Tapi untuk yang sudah berkeluarga dan punya keturunan, boleh mewarnai ,” katanya.
Ada kepercayaan, bagi orang yang berkeluarga tapi yang belum punya keturunan, jika melukis di atas kayu karena akan menjadi penghalang dalam masa depan, saat mereka sudah punya keluarga.
Menurutnya kisaran harga lukisan kulit kayu tergantung dari motif dan ukurannya mulai dari Rp10 ribu – Rp1 juta.
Kulit kayu Khombouw bisa dibuat tas, dompet, mahkota, anting dan lukisan untuk dipajang dirumah. Dan motif yang ada dalam lukisan tersebut memiliki motif yang beragama dari fauna yang ada di sentani hingga simbol kebesaran serta keperkasaan Keondoafian.
Motif-motif yang biasa dilukis antar alain burung camar, perahu, dan ikan yang menggambarkan danau dan manusia. “Kalau disini kita pakai dalam bahasa sentani lukisan falei. Dan ada juga motif yoniki itu melambangkan kebesaran keperkasaan laki-laki di kampung Asei besar,”katanya
dalam satu hari, dia bisa membuat lembaran kulit kayu sebanyak 20-50 lembar. Setelah itu dipilah mana lembaran untuk bahan tas, dompet, mahkota dan buat lukisan.
Pendapatan dari penjualan lukisan, bisa mencapai Rp1 juta lebih. Perbulan, rata rata dia mendapat keuntungan Rp5 juta. Suvenir buatannya iru biasanya dikirim ke langganan, di Raja Ampat. “Jadi setiap bulan kami kirim sekitar 30 sampai 50 lembar ke sana, selain ke Raja Ampat kami juga antar ke Pasar Hamadi,”katanya.
Adeli Monim juga salah satu perajin kulit kayu dari Kampung Asei mengatakan, sekarang ini bahan kulit kayu sudah semakin sulit ditemukan. Karena banyak penrajin lukisan atau semakin banyaknya pembangunan, kulit kayu Pohon Khombouw sudah hampir hilang.
“Sekarang kita ambil kulit kayu itu sudah jauh, kadang sampai di Genyem, Rere, disini sudah tidak ada. dan ini juga akan berdampak pada hilangnya budaya ini atau lukisan dari kulit kayu ini,”katanya
Harapannya agar kulit kayu ini jangan sampai hilang dengan adanya pembangunan yang semakin pesat dan juga budaya melukis kulit kayu ini terus dikembangkan.
Dia juga berharap bisa buka usaha sendiri dan pemerintah juga bisa membantu dalam membangun sebuah toko, agar penghasilan bisa bertambah. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!