Jayapura, Jubi – Human Rights Watch (HRW) menyurati Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, Kamis (30/1/2025), dengan sejumlah rekomendasi soal hak asasi manusia atau HAM.
Isu-isu penting yang harus ditangani, demikian surat HRW, termasuk hak-hak kelompok agama dan etnis minoritas, sejumlah ketentuan diskriminatif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, serta berbagai kebijakan termasuk penggundulan hutan yang menggusur masyarakat adat.
Pemerintah semestinya terus melanjutkan 100 hari pertama masa jabatan Presiden Prabowo, pada 28 Januari 2025, di mana ia memulangkan sejumlah terpidana hukuman mati asing ke negara asal mereka, menunjukkan komitmen untuk menegakkan hak asasi manusia di West Papua, dan menyuarakan hak-hak agama minoritas.
“Pemerintahan Prabowo, seperti halnya pemerintah baru lain yang mewarisi tantangan hak asasi manusia dari pendahulunya, semestinya bertindak cepat untuk membalikkan berbagai kebijakan bermasalah dan menerapkan reformasi,” kata wakil direktur Asia di HRW, Meenakshi Ganguly seperti dikutip dari siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Kamis (30/1/2025).
Dia mengatakan, Pemerintah Indonesia harus melakukan banyak hal guna melindungi hak-hak kalangan minoritas agama dan etnis, perempuan, masyarakat adat, dan para penyandang disabilitas, dan seharusnya menahan aparat keamanan yang bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran serius di West Papua.
Dia melanjutkan, pemerintahan Prabowo seharusnya mengakhiri penggunaan undang-undang dan peraturan yang diskriminatif, termasuk pasal penodaan agama 1965 dan peraturan “kerukunan umat beragama” 2006.
Menurut HRW, pejabat pemerintah dan aparat keamanan Indonesia telah lama memfasilitasi pelecehan dan intimidasi agama minoritas, melalui kebijakan yang bias, atau pasal penodaan agama.
“Para pejabat di daerah-daerah berpenduduk mayoritas Muslim secara terang-terangan mengeluarkan berbagai pernyataan diskriminatif, menolak izin pembangunan rumah ibadah agama minoritas, dan merelokasi paksa jemaatnya,” katanya.
Pemerintahan Prabowo, katanya, seharusnya membalikkan ketentuan yang secara serius melanggar hukum dan standar HAM internasional dalam KUHP tahun 2022 sebelum mulai diberlakukan pada Januari 2026.
Pasal-pasal dalam KUHP baru itu melanggar hak-hak perempuan, agama minoritas, dan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), dan melemahkan hak-hak untuk kebebasan berpendapat dan berserikat.
KUHP ini, lanjut HRW, memberikan hukuman pidana untuk hubungan seksual di luar pernikahan, mengancam jutaan pasangan heteroseksual Indonesia yang belum menikah. KUHP ini juga mendiskriminasi kelompok LGBT dengan menjadikan semua kegiatan seksual sesama jenis sebagai kejahatan.
“Pemerintahan Prabowo semestinya mengambil tindakan untuk menghilangkan lusinan peraturan wajib jilbab di Indonesia, yang mendiskriminasi anak perempuan dan perempuan. Peraturan yang ada saat ini menjatuhkan sanksi mulai dari peringatan lisan, pengusiran dari sekolah atau pekerjaan, hingga hukuman penjara selama tiga bulan,” katanya.
Disebutkan bahwa kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, terutama kekerasan psikologis dan pelecehan seksual terhadap perempuan yang merupakan pekerja rumah tangga, cukup lazim di Indonesia. Meskipun telah bertahun-tahun diadvokasi oleh aktivis, serikat pekerja, kelompok masyarakat sipil, dan organisasi hak asasi manusia, pemerintahan Indonesia terdahulu belum bertindak untuk melakukan reformasi yang diperlukan untuk melindungi pekerja rumah tangga.
“Pemerintahan Prabowo seharusnya berupaya untuk membahas rancangan hukum Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang lama tertunda, yang berisi perbaikan mendasar untuk mendukung hak-hak pekerja rumah tangga, termasuk perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi,” ujarnya.
Meskipun Pemerintah Indonesia pada tahun 1977 melarang orang-orang dengan kondisi kesehatan mental dipasung—keluarga dan pengobatan tradisional dan agamis masih melanjutkan praktik ini. Pada tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat meloloskan Undang-Undang Kesehatan Jiwa untuk memastikan bahwa pemerintah menyediakan akses memadai ke layanan kesehatan jiwa dari tingkat lokal hingga nasional.
Pemerintahan Prabowo, demikian HRW, semestinya memastikan penegakan hukum, termasuk dengan menyediakan lebih banyak rumah sakit dan klinik kesehatan jiwa.
HRW menyebutkan bahwa industri kelapa sawit Indonesia telah menggusur masyarakat adat di Sumatra, Kalimantan, Papua Barat dan lainnya, dan masih menjadi salah satu pendorong penggundulan hutan terbesar di Indonesia.
“Pemerintah Prabowo seharusnya memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan standar hak asasi manusia internasional yang melindungi hak-hak tanah masyarakat,” kata HRW.
Pemerintah juga seharusnya meminta pertanggungjawaban pasukan keamanan pemerintah yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat selama operasi kontra-pemberontakan di enam provinsi di West Barat, dan mencabut larangan bagi para pemantau HAM internasional dan jurnalis asing, untuk mengunjungi wilayah tersebut.
Usulan untuk memberikan amnesti kepada orang-orang Papua yang terlibat dalam gerakan pro-kemerdekaan akan mendorong hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. Pemerintah juga seharusnya mendekriminalisasi penggunaan simbol dan bendera Bintang Kejora di Papua Barat.
Pemerintahan Prabowo juga semestinya memimpin upaya untuk memajukan HAM secara global, termasuk melindungi warga sipil dalam konflik bersenjata dan mempromosikan keadilan internasional.
“Indonesia memiliki peran penting dalam urusan global, dan pemerintah Prabowo seharusnya mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak asasi manusia di luar maupun di dalam negeri,” kata Meenakshi.
“Pemerintahan Prabowo telah mengumumkan beberapa kebijakan yang baik dalam 100 hari pertama, dan kami menantikan upaya lebih lanjut untuk menegakkan hak asasi manusia bagi semua orang di Indonesia,” lanjutnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!