Jayapura, Jubi – Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC dinilai tak mampu menggembalakan umatnya di Kampung Wogekel dan Wanam, Distrik Ilwayab, Merauke, Papua Selatan. Hal itu ditegaskan Suara Kaum Awam Katolik Papua melalui siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Rabu (6/11/2024).
Penilaian terhadap Uskup Merauke, Mgr. Petrus Mandagi, MSC, merupakan respons Kristianus Dogopia dan Stenly Dambujai–perwakilan “Suara Kaum Awam Katolik Papua”, terhadap pernyataan sang uskup pada “Seminar Nasional PSN Merauke: Dampaknya pada Masyarakat Adat dan Alam Papua”, Senin (4/11/2024), yang dibacakan Romo Ferry.
Romo Ferry dalam seminar tersebut, demikian siaran pers itu, mengakui telah berkomunikasi dengan Uskup Mandagi dan membacakan teks yang didapatkan langsung dari Uskup Mandagi.
Suara Kaum Awam Katolik kemudian menanggapi pernyataan Uskup Merauke, bahwa:
Pertama, pernyataan Uskup Mandagi yang mengatakan “kalau proyek food state adalah sebuah cara yang bagus untuk menyediakan makanan untuk orang banyak, baik yang ada di Papua dan di luar Papua, maka saya setuju” adalah keliru besar.
Kami sebagai orang Katolik memahami dan setuju soal dogma Gereja Katolik, yang mengutamakan kepentingan banyak orang (bonum commune). Tetapi food state bukan segala-galanya. Dari keutuhan alam, dengan cara bercocok tanam, berburu, meramu dan lainnya, juga bisa menjamin kesejahteraan bersama.
Alam adalah sumber kehidupan tak terbatas. Dia menyediakan segala macam. Keutuhan alam juga justru mampu menyediakan makanan bagi orang banyak, lantas mengapa harus bergantung pada food state dengan menggundulkan hutan dan menghancurkannya dengan alat berat?
Di sini menunjukkan bahwa Uskup Mandagi belum memahami konteks pastoral lokal, terutama nilai-nilai kebudayaan masyarakat adat, yang bergantung pada alam. Bahkan menunjukkan sebuah sikap ketidakmampuan dalam mengkontektualisasikan karya pastoralnya;
Kedua, kami mengkritisi pernyataan Uskup Mandagi yang mengatakan “Papua Selatan diciptakan oleh Tuhan untuk banyak orang. Itulah berkat untuk orang Papua Selatan. Transmigrasi sudah lama, kalau ada berita, bahwa Pak Prabowo melihat buah panen banyak, benih.”
Apakah dengan dalil Papua Selatan diciptakan oleh Tuhan untuk banyak orang, berarti siapa saja, termasuk transmigran, boleh masuk dan melakukan apa saja sebebas-bebasnya, berdasarkan pengalaman tahun 1960 sampai 1970-an?
Uskup Mandagi harus bertanggung jawab atas pernyataannya ini. Kebetulan saat ini juga isu transmigrasi kembali nampak dalam pemerintahan Prabowo guna menempatkan di Tanah Papua, termasuk di Papua Selatan;
Ketiga, Suara Kaum Awam Katolik Papua mengecam pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan: “[orang] Papua Selatan boleh berbanggalah telah memberi keuntungan baik bagi diri sendiri maupun untuk banyak orang. Banyak orang harus diutamakan, bukan segelintir orang.”
Sekali lagi, soal kepentingan umum itu baik adanya. Tapi logikanya seperti apa? Orang hidup sekarat; tanah adatnya dicaplok tanpa kompromi dengan baik, lalu mau berbangga seperti apa?
Apakah Uskup Mandagi berbicara dengan bahasa roh dan suara kenabian atau mengikuti relasi kepentingan khusus? Uskup Mandagi harus bertanggung jawab terhadap umat dan masyarakat di Papua Selatan;
Keempat, menyayangkan pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan “baik yang ada di Papua ataupun di luar Papua, yang berteriak-teriak diberlakukan tidak adil, padahal tidak buat apa-apa untuk orang asli Papua Selatan.”
Uskup Mandagi tidak perlu menunjuk jari kepada orang yang ada di luar. Orang luar, termasuk Suara Kaum Awam Katolik Papua, mengkritisi pernyataan kontroversialnya. Harus memperhatikan dua hal, yakni; (1) hati, sikap, keberpihakan dan kepeduliannya sebagai gembala terhadap umatnya dan; (2) turun ke lapangan langsung atau mempersilakan umat dan masyarakat datang, guna mendengarkan kegelisahan dan harapan mereka.
Bukan malah titip berita sama orang, apalagi suruh aparat untuk menghalangi umat di jalan dan menerima mereka di tengah jalan yang penuh debu dan bau sampah, yang seolah-olah orang Malind adalah orang asing yang tidak mempunyai harga diri di mata gereja Katolik dan Mandagi sebagai pimpinan gerejanya;
Kelima, pada kesempatan ini juga kami menyikapi pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan: “saya tegaskan, Keuskupan Agung Merauke sama sekali tidak pernah menjual tanah milik masyarakat adat untuk proyek food state. Tetapi kini uskup kini difitnah bahwa telah jual tanah milik masyarakat adat.”
Uskup Mandagi boleh membenarkan diri bahwa dia tidak (dinilai) menjual tanah. Namun, legitimasi yang diberikan Uskup Merauke memiliki indikasi relasi khusus, dimana, mempermudah proses agar masyarakat dan umat kehilangan basis-basis sumber ketergantungan hidup, yang berpusat pada tanah adat dan hutan adat.
Dengan terang-terangan Uskup Mandagi membuka pintu gereja bagi penguasa dan perusahaan. Sebaliknya dia membatasi ruang bagi masyarakat dan umat.
Ini menunjukkan sikap gembala yang sangat diskriminatif. Tidak perlu menuding orang lain dengan kata fitnah, justru lebih elok apabila mengakui kesalahan dan meminta maaf atas perbuatannya atas nama gereja Katolik dan Tuhan;
Keenam, menanggapi pernyataan Uskup Mandagi yang mengatakan: “[pelaksanaan praktis food state bukan urusan Keuskupan Agung Merauke, itu urusan pemerintah. Gereja hanya mengingatkan bahwa proyek food state seharusnya untuk kemanusiaan dan bagi banyak orang.”
Semua orang telah memahami bahwa gereja tidak memiliki otoritas untuk menjalankan PSN ini. Tetapi pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan PSN atas nama kemanusiaan dan kesejahteraan banyak orang, walaupun benar, bertentangan dengan manusia yang adalah pemilik hak ulayat juga umat Katolik.
Bagaimana umat sendiri menolak, sementara uskup sebagai pimpinan Gereja terkesan memaksakan ataupun merayu umat, agar menerima PSN atas nama kebaikan, kemanusiaan dan kesejahteraan umum?
Pernyataan semacam ini tidak masuk di akal sama sekali. Seorang gembala tidak patut mengeluarkan pernyataan yang berat sebelah. Sebaliknya mayoritas umat menolaknya;
Ketujuh, setuju dengan pernyataan Uskup Merauke bahwa “di balik proyek strategis ini harus ada kejujuran, baik yang mendukung maupun yang menolak. Jangan ada dusta dalam perjuangan kepentingan dalam kepentingan pribadi atau mencari kekuasaan.”
Untuk menemukan kejujuran, harus ada ruang dialog. Dialog harus didorong agar semua pihak menemukan benang merahnya.
Uskup Mandagi memiliki tanggung jawab moral dan memiliki kapasitas untuk memediasi semua pihak, baik yang pro, maupun kontra, untuk bicara baik-baik.
Dialog tidak membunuh, tidak melukai dan tidak juga menyakiti. Dialog ini salah satu cara yang tepat dalam menggembalakan umat yang kontekstual, yakni; merangkul, mendengarkan, melihat, merasakan dan mencari jalan keluar secara damai dan bermartabat.
Dialog juga bisa mendekati orang dengan empati dan solidaritas guna membangun relasi yang harmoni dan memulihkan kepercayaan umat. Dialog menjadi kunci untuk melawan kesan ketidakmampuan Uskup Mandagi.
“Harapan kami, (Uskup) Mandagi hendaknya meniru sikap Paus Fransiskus yang rendah hati, ramah pada manusia dan alam semesta, yang mengutamakan pola dialogis.” (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!