Jayapura, Jubi – Dosen Filsafat dan Antropologi Sekolah Tinggi Filsafat atau STF Driyarkara, Budi Hernawan, menyatakan bahwa dampak dari adanya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang paling serius namun sampai hari ini belum banyak dipahami adalah kekerasan terhadap kosmos orang Marind.
Dirinya mencoba menangkap apa yang sebenarnya dikeluhkan masyarakat adat Marind terkait alam ciptaan yang rusak, manusia yang rusak namun tidak pernah diucapkan secara terang yaitu Dema. Dema hanya bisa diucapkan dalam situasi khusus, sebab Dema berkaitan dengan tempat roh-roh leluhur, tempat sakral dan dunia mistis bagi orang Marind.
“Déma adalah adaan yang hidup di zaman mistis. Biasanya mereka berwujud manusia tetapi kadangkala berubah menjadi binatang atau muncul dalam wujud binatang. Dema adalah nenek moyang klan dan sub-klan yang diwujudkan dengan totem-totem mereka” ujar Hernawan dalam Seminar Nasional ‘PSN Merauke: Dampaknya pada Masyarakat Adat dan Alam Papua’ yang digelar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Rawasari, Jakarta pada Senin (4/11/2024). Dia mengutip ‘Dema’ dalam tulisan Van Ball, Gubernur Hindia Belanda terakhir tahun 1966, (Van Baal 1966:179).
Menurut Budi Hernawan, Dema bagi orang Marind itu sangat bernilai. Ia mengambil contoh Simon Balagaize, yang bermarga Balagaize maka totemnya adalah buaya. Sementara Gebze totemnya adalah matahari, demikian pula marga lain orang Marind memiliki totem yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, lanjutnya, Dema orang Marind sebenarnya tidak semua bisa dipahami oleh ilmu-ilmu, karena ilmu-ilmu bersifat positivisme, termasuk ilmu-ilmu konservasi. Merujuk pada pengertian yang dikutip oleh Wikipedia.org, positivisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar hanya berasal dari ilmu alam dan tidak berkaitan dengan metafisika.
Dema, menurut Hernawan, masuk di ranah F
filsafat karena kosmologi ini tidak akan bisa dimengerti oleh para pengambil kebijakan, terlebih karena kosmologi itu bertentangan dengan logika pasar.
“Kata Dema ini diucapkan dalam upacara-upacara khusus, anak-anak muda saat ini barangkali tidak mengalami lagi, karena mereka tidak sampai saat inisiasi, dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat adat hanya orang yang melewati tahap inisiasi yang bertemu dengan mantra-mantra ini. Dan ketika Van Ball menulis, dibantu oleh Pater Petrus Vertenten MSC, orang Marind berhenti menceritakan rahasianya pada saat itu tahun 1966 ketika dia menerbitkan buku yang berjudul ‘Dema’ itu,” katanya.
Hernawan menjelaskan bahwa orang Marind mengalami kekosongan pemahaman semenjak itu. Dan sampai hari ini antropolog Indonesia dan antropolog Papua tidak berminat dan tidak ada yang menulis tentang Dema ini. Terakhir, hanya antropolog dari Sydney yang menulis terkait orang Marind dan kelapa sawit dengan memakai istilah Tension Ekologi, tapi tidak secara khusus membahas Dema, sistem kepercayaan orang Marind itu.
“Nah celakanya, yang mengagumkan sekaligus menakutkan dan menggetarkan ini di luar bahasa positivisme, tapi bahasa aktivis yang kita alami sehari-hari. Bagaimana ini diterjemahkan, bagaimana ini dialami dalam bahasa advokasi,” katanya.
Budi menjelaskan bahwa dunia Dema adalah dunia kebanggaan orang Marind, kekaguman yang menginspirasi, tidak semata-mata dunia yang menakutkan. Dema bukanlah semata-mata monster, meski aneh dan penuh kehendak, mereka adalah asal usul adat dan menyebarkan segala hal yang baik. Kemuliaan dan kebesaran mereka adalah tema utama pesta-pesta dan upacara. Sebagai personifikasi makna dan intensi kedalaman dunia, mereka adalah personifikasi kejayaan dan keindahan sekaligus keinginan.
“Tak ada lagi tempat yang lebih baik untuk menggambarkan kebanggaan orang Marind dalam kontras tajam antara kemegahan Dema dengan kekumuhan desa. Dan Dema menggambarkan dunia kebanggaan orang Marind, sedangkan bangunan rumah tak penting baginya. Ketika keanekaragaman hayati itu semua rusak tinggal segelintir species itu maka maka dunia batinnya atau Dema sudah runtuh,” katanya mengutip bagian dari buku Van Baal (1966: 933).
Anggota Komisi Perdamaian dan Keadilan Keuskupan Agung Merauke, Pius Cornelis Manu, juga menyampaikan bahwa Dema sangat bernilai religi. Bagi mereka Dema adalah kehidupan yang merupakan dua lingkaran berpadu dan membentuk lingkaran ketiga dalam pertemuan ekuivalen. Pertemuan lingkaran ekuivalen di tengah itu yang membentuk perpaduan antara lingkaran nyata dan lingkaran sakral sehingga dalam hidup manusia bisa membedakan secara nyata, ada lingkaran sakral dan lingkaran nyata.
“Dan tiga kehidupan ini kami alami di dunia ini, maka tidak heran kami dari masyarakat Marind melihat hidup ini, di dalam dunia kita, sebagai keterpaduan hidup dimana pertemuan antara nyata dan sakral berjalan bersama. Maka hidup kami atau hidup kita sebagai masyarakat setempat melihat alam ini menjadi bagian dari hidup yang nyata dan hidup yang tidak nyata,” katanya.
Pastor Pius menjelaskan bahwa marga-marga dari masyarakat adat Marind berpegang pada totem-totem dari alam. Misalnya kalau Simon Petrus Balagaize totemnya adalah buaya. “Tapi kalau saya totemnya kelapa, dan kelapa ini terbentuk dan terbagi dalam beberapa marga-marga kecil. Maka ketika alam kami digusur begitu, kami akan hadapi banyak permasalahan, baik permasalahan lahir, permasalahan psikologis maupun permasalahan lingkungan,” ujarnya.
Manu membeberkan fakta bahwa wilayah-wilayah yang sudah digusur terlebih dulu dengan kehadiran transmigrasi gelombang manusia yang lebih besar dari luar Papua, disitulah pertumbuhan orang Marind ini melambat hingga menjadi kelompok yang amat minoritas.
“Pertumbuhan mereka secara lahiriah itu atau populasi mereka itu jalannya tertatih-tatih, dan itu kelompok yang paling rentan dalam proses genosida yang tanpa disadari,” ujar Pastor Manu.
Dia menyebutkan genosida perlahan bisa terjadi dalam bentuk salah kebijakan. “Maaf ya genosida disini, saya tidak menuding siapa-siapa tapi genosida itu kan bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya seperti yang dilakukan Israel itu [jika memang mereka lakukan] kepada orang-orang Palestina, tetapi hal seperti itu kan tidak dilakukan atau tidak pernah dilakukan di Indonesia. Namun tentu saja bisa dilakukan dalam bentuk salah atur dalam kebijakan juga ya, ketika salah atur dalam pembangunan dimana kelompok yang rentan dan tidak bisa berkompetisi dalam pembangunan itu malah bisa tergenosida,” kata Pastor Manu.
Sementara baginya sendiri, orang tuanya memiliki keyakinan terhadap hutan tempat sakral. Sekalipun orang tuanya sudah menjadi guru dan bidan, bukan orang kampung kebanyakan, tetapi mereka tetap menjadikan hutan sebagai tempat Dema dan tempat kehidupan.
“Saya lahir batin di hutan dan ari-ari saya juga di kubur di hutan sakral, maka ketika alam ini dihancurkan, semua itu sama dengan menghancurkan kami. Karena tempat tanah dimana kami hidup, hutan di mana kami berasal adalah btempat kehidupan, disitulah tempat tinggal kami,” katanya.
Simon Petrus Balagaize, pemuda adat setempat yang juga Ketua Forum Masyarakat Adat Marind, mengatakan bahwa dasar penolakan penuh mereka terhadap PSN khususnya karena hutan yang sedang digusur itu adalah hutan yang tersisa di Kabupaten Merauke.
Forum masyarakat sangat membela mati-matian supaya kawasan itu tidak boleh dirusak atau digusur sebab di dalamnya itu ada satwa rusa, cendrawasih, babi, kanguru, ada kasuari, buaya dan banyak keanekaragaman hayati yang akan terancam punah.
“Perusahaan yang sedang menggusur hutan-hutan adat dan sakral ini merupakan ancaman serius bagi masyarakat adat karena di dalam hutan-hutan sakral itu ada roh dan jiwa leluhur dan moyangnya. Karena di kampung-kampung di hutan sakral itu ada ari-ari yang dikuburkan, Mama Bapak kita itu dikuburkan di kampung hutan itu, maka roh-roh orang kita juga dirusak dan akan dipunahkan,” katanya.
Tanah masyarakat adat, khususnya hutan, harus dipertahankan karena ada Dema, roh leluhur dan nenek moyang, termasuk semua isi hutan dalam semua satwa dan tumbuhan. “Masyarakat adat tidak bisa dipisahkan dari hutan. Tanpa hutan masyarakat tidak bisa hidup dan akan punah,” ucap Balagaize. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!