Jayapura, Jubi – Wacana Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada Tahanan politik atau narapidana politik Pro Papua dinilai niat baik. Namun wacana tersebut diharapkan tidak jadi pencitraan belaka seperti Presiden RI sebelumnya.
Para aktivis Hak Asasi Manusia atau HAM melihat ada hal yang lebih penting dan mendesak. Yaitu menyelesaikan status politik dan Sejarah Papua. Presiden Prabowo Subianto diminta lebih serius menyentuh dan menyelesaikan akar persoalan Papua.
Peneliti Human Rights Watch atau HRW Andreas Harsono mengatakan menurut UUD 1945, Presiden Republik Indonesia berhak memberikan amnesti dan abolisi kepada siapapun yang dianggap perlu, dengan konsultasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau DPR-RI. Perkiraan Harsono, Presiden Prabowo mau memberikan amnesti dan abolisi, mengingat koalisinya itu menguasai lebih dari separuh DPR. Tidak akan sulit melakukannya.
“Nah pemberian amnesti dan abolisi itu beda dengan grasi dan remisi. Kalau grasi dan remisi itu diberikan Presiden dengan persetujuan Mahkamah Agung. Jadi beda kalau amnesti dan abolisi itu keputusan politik, kalau grasi dan remisi itu keputusan hukum yang ada di tangan Presiden”, kata Andreas Harsono melalui panggilan telepon seluler di Kota Jayapura, Papua, Senin (27/1/2025).
Pada 2015 silam, Presiden Jokowi memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua yaitu Linus Hiluka dan kawan-kawan. Tetapi grasi seharusnya mengajukan permohonan terlebih dahulu. Waktu itu almarhum Filep Karma menolak. Karena di dalam surat itu secara eksplisit atau implisit dia mengaku salah, karena itu memohon pengampunan. Filep Karma konsisten menolak grasi maupun remisi. Karena dia merasa tidak bersalah dan dia pernah menang di pengadilan.
“Namun pada tahun 2000 Filep Karma dapat amnesti atau abolisi dari Presiden Gus Dur dan dia menerima. Kenapa dia menerima karena dia tidak meminta, pada prinsipnya amnesti dan abolisi itu diberikan oleh presiden. Beda grasi dengan remisi itu meminta, ajukan permohonan ke Mahkamah Agung RI,” katanya.
Bedanya amnesti dan abolisi itu, lanjut Harsono, bahwa Kalau amnesti beri pengampunan walaupun tidak meminta, sedangkan abolisi dari kata abolish (menghapuskan) , membebaskan dari semua tuntutan hukum dengan kata lain tidak dianggap melakukan kesalahan. Jadi waktu itu Filep Karma minta syarat mau dibebaskan harus dapat abolisi.
“Presiden Jokowi waktu itu minta kepada DPR agar menyetujui pemberian abolisi kepada Filep Karma, tetapi DPR tidak pernah menjawab surat dari Presiden. Sehingga dia tidak diberikan abolisi oleh Presiden Joko Widodo, tapi oleh Presiden Gus Dur dia menerima,” kata Peneliti HRW itu.
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua Gustaf Kawer mengatakan dirinya mengapresiasi keinginan baik dari pemerintah pusat mau memberikan amnesti dan abolisi. Karena itu bagian dari penegakkan HAM dan kemanusiaan di Papua. Menurut Kawer, seharusnya hal seperti itu seharusnya dilakukan pemerintah sejak reformasi. Kenapa baru sekarang .
“Kalau kita bicara lagi soal penyelesaian masalah Papua, mestinya dari jauh-jauh hari pemerintah berpikir melihat persoalan-persoalan tahanan politik, tapi juga yang penting sekali adalah persoalan penegakan HAM secara komprehensif baik penyelesaian HAM, hak Sipol (sipil dan politik) maupun Ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) . Papua sejak gabung dengan Indonesia, persoalan itu terjadi secara kontinu. Harus melihat Papua ini secara utuh,” kata aktivis HAM itu.
Antara pencitraan dan niat baik negara
Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP, Markus Haluk mengatakan pada 2015 ada pemberian amnesti atau grasi oleh Presiden Jokowi. Menurutnya itu sebenarnya bagian dari politik pencitraan dan karena tekanan internasional, khususnya menguatnya dukungan kepada ULMWP di tingkat Melanesia dan Pasifik. Sebab setelah dibebaskan pada 2015 pun, faktanya tetap ada Tapol dan Napol aktivis Papua.
“Jadi program amnesti maupun abolisi oleh presiden Prabowo mengulangi apa yang dibuat oleh Presiden Jokowi dan ini bagian dari politik pencitraan. Maka tanpa menyelesaikan akar masalah konflik Politik Bangsa Papua, konflik tetap akan ada, Tapol Napol baru tetap akan lahir,” kata Haluk.
Peneliti Human Rights Watch atau HRW, Andreas Harsono menuturkan, wacana pemberian amnesti dan abolisi kepada Tapol, Napol dan orang-orang Papua yang masuk dalam daftar pencarian orang atau DPO itu, kalau dijalankan tentu baik sekali. Ia yakin, orang-orang Papua hanya membela dan memperjuangkan hak mereka yang sudah dirampas selama berpuluh-puluh tahun oleh negara Indonesia.
“Orang Papua selama 60 tahun ikut Indonesia mengalami diskriminasi dalam hal kesehatan, pendidikan, hak atas tanah dan rumah, hak masyarakat adat mereka dan seterusnya. Jadi siapa pun yang memiliki niat baik perlu dihargai, karena mereka yang sudah dihukum harus diberikan abolisi, sementara yang masih dicurigai atau dalam DPO perlu diberikan amnesti, agar mereka hidupnya merdeka atau bebas, tidak harus sembunyi atau lari kesana kemari,” ujarnya.
Dia mengatakan perlu ada dialog yang lebih substansial lagi dengan orang-orang Papua dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Presiden Gus Dur dahulu.
“Menyelesaikan akar masalah papua harus melalui dialog yang melibatkan baik laki-laki, perempuan, masyarakat adat, aktivis, tokoh agama, termasuk mereka yang lama tinggal di luar negeri seperti Australia, Amerika, Inggris dan lain-lain. Itu awal dari upaya yang seperti dulu pernah dilakukan oleh Gus Dur, tapi sayangnya Gus Dur tidak lama menjadi Presiden,” katanya.
Direktur PAHAM Papua Gustaf Kawer, menyampaikan yang diketahui pihaknya, hanya Tapol dan Napol kasus makar saja akan diberikan amnesti dan abolisi. Tapi tidak bagi pelaku kasus kekerasan bersenjata. Tapi tiba-tiba muncul lagi wacana semua tahanan politik akan diberikan amnesti dan abolisi.
Menurutnya ini jangan hanya jadi wacana saja untuk pencitraan karena tekanan dari luar.
“Saya pikir kalau pemerintah mau bebaskan semua, jangan ada syarat-syarat yang mengikat. Syarat-syarat yang mengikat itu yang berkaitan dengan ideologi mereka. Jadi kalaupun ada pengampunan, itu diikuti dengan kesadaran pemerintah, ada yang salah dari sisi sejarah dan penegakan hukum, lalu kemudian ada syarat yang mengikat itu tidak akan menyelesaikan persoalan Papua ke depan. Jadi Amnesti itu diberikan kepada mereka yang terpidana semua,” ujarnya.
Presiden Prabowo harus selesaikan akar persoalan Papua
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua atau PGBWP Gembala Dr. Socratez Yoman mengatakan rencana Presiden Prabowo memberikan amnesti dan abolisi kepada pihak pro Papua, merupakan niat baik seorang Presiden untuk penyelesaian konflik Papua Barat yang sudah menahun atau kronis.
“Persoalan akar konflik Papua Barat tidak bisa diselesaikan dengan hanya amnesti dan abolisi, tapi hal yang fundamental ialah dengan perundingan, dialog dan negosiasi setara antar pemerintah Indonesia dan rakyat Papua Barat,” kata Socratez melalui pesan eletronik kepada Jubi di Kota Jayapura, Papua pada Selasa (28/1/2025).
Socratez Yoman menuturkan, akar konflik Papua Barat sudah jelas di depan mata dan sudah jadi rahasia umum. Yaitu 4 akar konflik yang sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI- kini BRIN). Pertama, Masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia.Kedua, Kekerasan dan pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua dari 1965 melalui operasi militer nyaris tak ada pertanggungjawaban dari negara.Ketiga, Perasaan terdiskriminasi dan termarjinalkan yang diakibatkan oleh penyingkiran orang-orang Papua dalam rumusan pembangunan di tanahnya. Keempat, kegagalan pembangunan di Papua
“Persoalan akar konflik Papua Barat adalah persoalan yang berdimensi kemanusiaan, politik, ketidakadilan, kolonialisme, operasi militer, kapitalisme, rasisme, pelanggaran HAM berat, pemusnahan etnis Papua, marginalisasi, diskriminasi rasial dan dominasi pendatang. Dialog, negosiasi, perundingan damai untuk lasting peace (perdamaian abadi) di Indonesia dan juga di Papua Barat,” kata Gembala Persekutuan Gereja Baptis West Papua itu.
Sekretaris Eksekutif ULMWP Markus Haluk, mengatakan para aktivis dan pejuang Papua Merdeka tidak meminta belas kasihan negara kolonial Indonesia. Jadi menurutnya, pemberian amnesti dan abolisi tidak menyelesaikan apa sesungguhnya yang menjadi perjuangan dan tuntutan hak penentuan nasib sendiri, kemerdekaan Politik Bangsa Papua.
“Tidak ada niat baik dari negara Indonesia untuk Papua. Tetapi ini pencitraan kepada publik internasional dan merupakan pengalihan dari akar masalah konflik di West Papua versus Indonesia,” kata Haluk di Kota Jayapura.
Markus Haluk berpendapat, pembebasan Tapol itu, sesuai praktik internasional, harusnya dicapai setelah adanya kesepakatan para pihak dalam penyelesaian apa yang menjadi akar masalah di West Papua. Bukan dilakukan sepihak.Seakan diberikan karena kebaikan hati presiden. Ini keliru.
Direktur PAHAM Papua Gustaf Kawer mengatakan keinginan baik pemerintah ini perlu dilihat secara komprehensif. Jangan dilihat sebagai pembebasan tahanan politik atau hal-hal pidana politik. Tapi harus dilihat bagaimana awal penegakan hukumnya. Persoalan tahanan-tahanan politik atau narapidana politik ini berkaitan dengan ideologi.
“Jadi penegakannya bukan saja hukum, tapi penyelesaiannya perlu ada dialog. Penyelesaian harus dari akar masalah Papua. Pemerintah perlu mengedepankan penyelesaian akar persoalan mendasar di Papua. Itu lebih penting,” ujarnya.
75 Tapol dan Napol di Papua
Gustaf Kawer mengutip data koalisi ‘Papua Behind Bars’ yang menyebutkan, tahanan politik dan narapidana politik Papua ada 75 orang. Tapol kasus makar ada 24 orang, sedangkan yang ada kaitan dengan kriminal bersenjata api itu ada sekitar 51 orang. Mereka tersebar mulai dari Lapas Makassar, Sorong Nabire, Wamena, Jayapura dan Merauke.
“Kalau pemerintah bebaskan jangan juga setengah-setengah, jangan ada syarat-syarat yang mengikat,” katanya.
Menurut Kawer negara sejauh ini hanya disibukkan dengan tahanan politik atau narapidana politik. Seharusnya negara perlu lihat masalah Papuasecara utuh. Sentuh akar persoalannya, penegakan hukumnya yang berjalan, apakah aparatnya bersih atau tidak. Sampai terakhir di tingkat penegakan hukum.
“Karena kadang dalam penegakan hukum ini, mereka yang aktivis ini menjadi tumbal dalam penegakan hukum yang tidak tuntas dari akarnya itu,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!