Jayapura, Jubi – Lembaga Masyarakat Adat atau LMA Ibele, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan menyatakan aktivitas masyarakat di distrik itu terganggu sejak kehadiran militer non organik di sana akhir Juni 2025.
Ketua LMA Ibele, Loudwik Mosip mengatakan anggota militer menggunakan dua mobil melakukan pemantauan atau survei di sana pada Senin, 23 Juni 2025. Kemudian ratusan anggota militer dikirim ke Ibele sekitar pukul 22.00 Waktu Papua (WP) pada Rabu, 25 Juni 2025.
“Mereka tidak sampai di [pusat] distrik. Akan tetapi pas di ujung aspal sebelum tanjakan ke Distrik Ibele. Dari situ mereka menyebar dan bagi jalan kiri-kanan baru mereka masuk ke hutan-hutan. Jadi hari Kamis (26/6/2025) itu mereka bermalam di hutan-hutan,” kata Loudwik Mosip kepada Jubi melalui panggilan telepon, Kamis (17/7/2025).
Menurut Mosip, saat pagi hari masyarakat yang sudah bangun dan keluar dari honai hendak mulai beraktivitas, melihat personel militer bersenjata di hutan-hutan sekitar permukiman mereka.
“Sejak itu, aktivis masyarakat di Distrik Ibelle dan Tailarek sangat terganggu. Masyarakat merasa tertekan dan takut, sehingga sampai saat ini aktivitas warga tidak berjalan dengan baik. Bagaimana tidak takut, anggota (militer) bersenjata lengkap ada menyebar di hutan-hutan seperti dalam suasana perang begitu,” ujarnya.
Katanya, pada Jumat, 27 Juli 2025, ada pengiriman pasukan dari Batalyon 765 Wamena ke Distrik Ibele. Saat bersamaan, personel militer dari hutan-hutan di sekitar distrik masuk ke kantor halaman distrik Ibele.
Mereka meminta izin kepada kepala distrik untuk diberikan tempat. Namun kepala distrik menyampaikan hal itu perlu dibicarakan dan disepakati bersama masyarakat Ibele.
Pertemuan dengan berbagai pihak membicarakan permintaan itu dilakukan pada Sabtu, 27 Juni 2025. Pertemuan itu dihadiri toko agama, pemuda, perempuan, kepala suku, masyarakat delapan kampung di Distril Ibelle dan beberapa kepala distrik dari distrik tetangga.
“Kami diskusikan menyangkut klarifikasi terkait kehadiran TNI itu. Kami lakukan di halaman kantor distrik Ibele,” ucapnya.
Loudwik Mosip mengatakan, dalam pertemuan itu pihaknya menanyakan tujuan kehadiran TNI di kampung mereka, dan apa yang mendasari. Pihak TNI menyatakan mereka masuk Distrik Ibele karena perintah presiden melalui koordinasi dengan BupatiJayawijaya.
“Mereka punya alasan juga. Katanya mereka hadir untuk pengawalan jalan atau pengawasan pembangunan jalan dari Ibele, Tailarek, dan menyangkut pelayanan kesehatan dan lain-lainnya,” kata Mosip.
Setelah pertemuan itu lanjut Mosip, pihaknya menanyakan kebenaran apa yang disampaikan para militer itu kepada Bupati Jayawijaya. Namun bupati menyatakan ia tidak menempatkan militer non organik di Distrik Ibele.
Para pihak dari Distrik Ibele pun meminta Bupati Jayawijaya berkoordinasi dengan pimpinan TNI di sana, atau dengan pihak terkait, agar pasukan militer ditarik dari Distrik Ibele.
“Kami minta segera menarik anggota [militer] non organik yang hadir ini. Di sini kami tidak butuh kehadiran TNI karena jalan lintas dari Wamena-Lani Jaya sepanjang naik-turun saja aman. Distrik ini dibuat pengaspalan [jalan] saja, kita tidak butuh pengamanan dari TNI. Kami aman dan kami bisa menjamin keamanan diri kami ini,” kata Mosip.
Katanya, personel TNI yang ada di Distrik Ibele tetap berpegang pada alasan mereka, hadir di wilayah itu karena perintah pusat. Para pihak dari Distri Ibele pun terus melalukan berbagai upaya, agar militer non organik itu ditarik dari wilayah tersebut.
Selain bupati, mereka bertemu berbagai pemangku kepentingan di daerah, diantaranya Komandan Kodim dan beraudiensi dengan Kabupaten Jayawijaya. Menanyakan status Jayawijaya khususnya di Distrik Ibele, apakah darurat militer atau seperti apa. Namun hingga kini belum ada penjelasan.
“Kami ketemu bupati [untuk] kedua kalinya. Bupati sampaikan akan berkoordinasi kepada presiden dan Panglima TNI terkait kehadiran militer non organik ini. Kami minta bupati, tolong harus tarik kembali militer itu,” ujar Mosip.
Sementara itu, Ketua Forum Peduli Masyarakat Peleima, Iberanus Hilapok menyatakan pihaknya menolak kehadiran militer non organik di sana.
Menurutnya, sejak dulu situasi di Distrik Ibele aman-aman dan kondusif. Tidak seperti daerah lain. Ia mempertanyakan status kehadiran militer non organik yang diperintahkan dari pusat ke Ibele. Apakah wilayah itu kini dalam status darurat militer.
“Statusnya dasar kehadiran TNI non organik ini belum jelas. Mereka itu setelah datang ke Ibele menyebar di hutan-hutan kayak mau perang. Padahal kita di sini aman-aman. Kehadiran militer tidak ada dasar dan mereka juga tidak ada surat izin untuk masuk di wilayah administrasi Distrik Ibele, karena itu kami minta ditarik kembali dari Ibele,” kata Hilapok.
Katanya, sejak kehadiran militer di Distrik Ibela, masyarakat merasa tidak nyaman. Sebab, setiap kali bertemu aparat keamanan itu, mereka selalu ditanyai hendak ke mana atau dari mana.
“Kamu bikin apa tanya-tanya..Padahal mereka ini mereka punya rumah di situ. Punya tanah situ, punya tempat berkebun cari makan, mereka hidup sehari-hari di situ..Yang harus bertanya itu, masyarakat dari mana militer nonorganik ini, mau ke mana, bikin apa, cari apa,” ujarnya.
Menurutnya, sesuai kesepakatan para yang tergabung dalam Forum Peduli Masyarakat Peleima, mereka meminta personel Satgas Yonif 644/WS, ditarik dari Distrik Ibele.
Para pihak yang tergabung dalam Forum ini adalah tokoh agama, tokoh perempuan tokoh pemuda, tokoh adat, intelektual, pemerintah distrik, pemerintah kampung, masyarakat delapan kampung di Distrik Ibele, masyarakat 10 kampung di Distrik Tailarek dan LMA Ibele. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!