Jayapura, Jubi – Amnesty International Indonesia Chapter Universitas Papua atau Amnesty UNIPA mendesak Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, dan Pimpinan TNI untuk menjamin hak-hak pengungsi warga sipil yang terancam di Distrik Oksop, Kabupaten Pegunungan Bintang.
Koordinator Amnesty UNIPA, Paskalis Haluk, menuturkan keprihatinannya atas ancaman terhadap hak-hak warga sipil yang mengungsi dari Distrik Oksop ke Oksibil dan sekitarnya untuk melindungi diri dari operasi militer. Dia meminta pemerintah agar segera mengambil langkah konkret dalam memastikan perlindungan terhadap warga yang terpaksa mengungsi akibat penyisiran kampung dan rumah warga.
Menurut Haluk, yang melihat secara langsung tempat pengungsi di Kampung Mumbakon, Distrik Oksibil, pada akhir bulan Desember tahun 2024 lalu, tindakan TNI telah mengancam hak-hak hidup masyarakat di Distrik Oksop sejak bulan November sampai dengan hari ini.
“Kopassus masih menempati rumah-rumah warga dan gereja, sementara warga yang lain masih di hutan. Sebagian warga sudah masuk ke kampung yang aman. Saya sendiri turun langsung melihat di lapangan pada tanggal 29 Desember 2024 untuk membawa sumbangan donasi ke masyarakat pengungsi di desa Mumbakon Distrik Oksibil,” ungkap Paskalis Haluk kepada Jubi di Kota Jayapura, Papua pada Selasa (21/1/2025).
Koordinator Amnesty UNIPA itu menegaskan bahwa situasi yang dihadapi oleh masyarakat Oksop merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 secara tegas menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan.
Selain itu, Indonesia juga terikat dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Jenewa 1949, yang mengatur perlindungan terhadap pengungsi dan masyarakat sipil dalam situasi konflik bersenjata, ujarnya.
“Masyarakat di Distrik Oksop mengalami ancaman kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, makanan, dan layanan kesehatan. Hal ini tidak dapat diterima karena hak-hak tersebut adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara,” ujar Haluk.
Paskalis Haluk membeberkan pentingnya penghormatan terhadap prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia dalam Operasi Militer (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials), yang disahkan dalam Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan. Prinsip ini menegaskan bahwa penggunaan kekuatan oleh aparat harus dilakukan secara proporsional, tidak diskriminatif, dan menghormati martabat manusia.
Ia meminta kepada Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang dan Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan harus memastikan bahwa masyarakat pengungsi mendapatkan perlindungan penuh, termasuk akses terhadap kebutuhan dasar, pelayanan kesehatan, dan pendidikan anak-anak. Ia juga meminta pihak TNI harus mengutamakan dialog dan pendekatan humanis dalam menyelesaikan konflik di wilayah Papua.
“Semua bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan harus diselidiki secara independen, dan pelaku harus dimintai pertanggungjawaban. Kami minta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memantau situasi di lapangan terus. Dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah landasan utama dalam menjaga keutuhan bangsa. Kita tidak bisa membangun perdamaian di atas pelanggaran hak-hak manusia. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan keadilan dan keamanan bagi semua warganya, termasuk masyarakat yang di Oksop,” ujarnya.
Direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC OFM) Papua, RP Alexandro Rangga OFM mengatakan, berdasarkan temuan di lapangan pada akhir November 2024, warga dari lima kampung di Distrik Oksop melaporkan adanya peningkatan aktivitas militer di wilayah mereka.
“Ketakutan akan terjadinya konflik bersenjata mendorong masyarakat untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman, yaitu Distrik Oksibil,” kata Rangga dikutip dari siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Jumat (17/1/2025).
Hingga saat ini, lanjutnya, diperkirakan sekitar 327 orang mengungsi, dengan sebagian besar lainnya memilih bersembunyi di hutan. Terdapat data rinci mengenai jumlah pengungsi, termasuk berdasarkan gender, usia, dan asal kampung.
“Namun, demi keselamatan para pengungsi, data tersebut tidak dapat kami bagikan ke publik. Berdasarkan kesaksian para pengungsi, kehadiran militer di Distrik Oksop telah menimbulkan rasa takut dan ketidakamanan di kalangan masyarakat,” katanya.
“Beberapa tindakan yang dilakukan oleh pihak militer, seperti pendirian posko di dalam gereja dan penggunaan fasilitas masyarakat tanpa izin, semakin memperburuk situasi,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!