Jayapura, Jubi – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih atau Uncen Jayapura, Papua, Profesor Melkias Hetharia menyatakan, hal yang paling urgen dan mesti dilakukan pemerintah di Tanah Papua adalah menyelesaikan empat akar masalah.
Katanya, beberapa tahun lalu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI yang kini berganti nama menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN telah menyampaikan empat akar masalah di Tanah Papua, yang mesti diselesaikan pemerintah.
Empat akar masalah itu adalah marginalisasi orang asli Papua atau OAP, persoalan pembangunan, persoalan penyelesaian masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM dan klarifikasi atau pelurusan sejarah Papua.
“Kalau kita lihat, empat akar masalah yang diungkapkan oleh LIPI itu sebenarnya sudah tercover dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Bagaimana sekarang ini diimplementasikannya,” kata Profesor Melkias Hetharia kepada Jubi di ruang kerjanya di Rektorat Uncen, Selasa (8/7/2025).
Menurutnya, dalam UU Otsus Papua telah diatur mengenai keberpihakan atau afirmasi terhadap OAP dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, penerimaan pegawai, penerimaan anggota TNI Polri, kejaksaan, kehakiman dan berbagai bidang lainnya.
Di Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua ada kursi pengangkatan untuk orang asli Papua. Begitu pula untuk jabatan gubernur dan wakil gubernur harus diisi oleh orang asli Papua.
“Itu semua sudah [dilaksanakan] sehingga soal marginalisasi itu sementara berjalan cukup bagus. Persoalan pembangunan pun sama sudah berjalan dan itu akan terus dikembangkan. Untuk pelanggaran HAM, ini yang menjadi persoalan di Tanah Papua ini. Pengadilan HAM sudah menangani dua kasus pelanggaran HAM berat, tetapi tidak memuaskan rasa keadilan bagi masyarakat Papua,” ujarnya.
Menurutnya, masalah pelanggaran HAM juga bisa diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Namun hingga kini belum terlaksana. Karenanya, apabila Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka benar-benar ditugaskan menangani masalah di Tanah Papua, ia perlu melihat aspek penyelesaian pelanggaran HAM lewat KKR.
“Mengapa ini penting dan strategis, karena penyelesaian pelanggaran HAM lewat KKR ini sedikit banyak dapat mengatasi persoalan Papua yang tercover dalam apa yang kita sebut memoria pasionis itu. Jadi mungkin sedikit banyak penyelesaian pelanggaran HAM lewat KKR ini bisa mengatasi masalah, karena penyelesaian lewat pengadilan HAM sampai hari ini kurang memuaskan,” ucapnya.
Mengenai klarifikasi sejarah Papua lanjut Hataria, sebenarnya kalarifikasi sejarah juga sudah diatur dalam UU Otsus yaitu pada pasal 46 yang dijadikan satu dengan KKR. Karena itu ada empat sub komisi di dalam penyelesaian pelanggaran HAM secara non yudisial.
Katanya, sub komisi pertama berkaitan dengan bagaimana penyelesaian masalah pelanggaran HAM itu, mulai dari pengungkapan peristiwa dan kebenaran yang terjadi mengenai pelanggaran HAM itu.
Sub komisi kedua mengenai rehabilitasi dan kompensasi, termasuk menaksir biaya rehabilitasi, dan apa yang harus diberikan kepada korban pelanggaran HAM. Sub komisi ketiga mengenai amnesti, bagaimana pemberian pengampunan kepada mereka yang telah mengakui atau pelaku yang telah mengakui peristiwa pelanggaran HAM itu.
“Tuga sub komisi [itu] yang terdapat dalam semua KKR di dunia dan yang diakui secara internasional. Namun di Papua ini ditambah lagi yang disebut sub komisi klarifikasi sejarah Papua,” katanya.
Ia mengatakan, tugas dari sub komisi klarifikasi sejarah adalah pengungkapan sejarah Papua. Sub komisi ini akan lebih banyak mengadakan riset. Penelitian sejarah yang berkaitan dengan persoalan di Tanah Papua.
“Hasil dari sub komisi ini nanti disampaikan kepada presiden untuk ditindaklanjuti,” ucap Melkias Hetharia.
Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua Pdt Dr. Socrates Sofyan Yoman mengatakan, Indonesia menghadapi persoalan serius, karena persoalan konflik di Tanah Papua itu seperti luka yang membusuk dan bernana dalam tubuh bangsa Indonesia.
Menurutnya akar masalah Papua yang harus disentuh Pemerintah Indonesia. Bukan menghindari lalu memberikan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.
“Karena itu, solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah Papua itu sebagaimana yang ditawarkan LIPI kepada pemerintah Indonesia tentang empat akar persoalan itu,” kata Yoman. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!