Jayapura, Jubi – Hingga kini, sejumlah 707 warga Distrik Oksop di Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, masih mengungsi ke hutan sejak November 2024 lalu. Pemerintah daerah diminta mengembalikan para pengungsi itu ke kampung halaman mereka.
Hal itu disampaikan Vikaris Paroki Gereja Katolik Roh Kudus Mabilabol Oksibil, Pastor Kletus Togodli Pr pada Senin (24/2/2025). “Hari Kamis dan Jumat pekan lalu kami ada naik ke Oksop, mengantar bantuan. Masyarakat sampaikan masih ada 707 orang di hutan,” ujar Pastor Kletus Togodli saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Senin.
Laporan Justice, Peace and the Integrity of Creation Order of Friars Minor atau JPIC OFM Papua menyatakan ada 327 jiwa dari lima kampung di Distrik Oksop terpaksa mengungsi ke Oksibil. Pengungsi yang terdiri dari 151 laki-laki dan 176 perempuan itu telah pulang pada Desember 2024.
Akan tetapi, Pastor Togodli mengatakan ada 707 warga dari Kampung Alutbakon dan Kampung Mimin yang masih bertahan di dalam hutan. Mereka terdiri dari anak-anak maupun orang dewasa. Terdapat 251 pengungsi yang berusia 0 tahun hingga 10 tahun. Selain itu, juga terdapat 456 orang yang berusia berumur 11 tahun hingga dewasa. “Ini warga yang mengungsi di hutan,” katanya.
Togodli mengatakan warga dari Kampung Mimin dan Alutbakon belum kembali dari pengungsian mereka di tengah hutan, karena takut dengan kehadiran tentara di kampung mereka. Sejumlah warga dari Kampung Mimin yang mencoba pulang tidak bisa memasuki kampung halaman mereka, karena dilarang oleh prajurit TNI di sana.
Menurutnya, para prajurit TNI masih memakai Kantor Distrik Oksop dan Gereja GIDI Efesus Sape di Kampung Mimin sebagai pos TNI. “Warga trauma. Warga Mimin sampai hari ini belum bisa masuk ke kampungnya. Gereja dan kampung mereka masih dikuasai oleh TNI,” ujar Pastor Togodli.
Selain melarang warga Kampung Mimin memasuki kampungnya, TNI juga membatasi aktivitas warga empat kampung yang lain. Warga yang telah kembali ke Kampung Alutbakon, Atenar, Oksop, dan Oktumi hanya diizinkan melakukan aktivitas di luar area permukiman mulai pukul 07.00 hingga pukul 17.00 WP, termasuk pergi ke hutan untuk berkebun.
“Aktivitas di kampung belum bebas. [Pembatasan aktivitas warga itu] sudah masuk tiga bulan lebih, dari akhir November 2024 sampai akhir Februari 2025,” kata Pastor Togodli.
Pemerintah diminta turun tangan
Pastor Kletus Togodli Pr mengatakan Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan maupun Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang belum mengunjungi warga di Distrik Oksop. “Pemerintah provinsi maupun kabupaten belum mengunjungi masyarakat yang mengungsi di hutan maupun mereka yang sudah masuk [kembali ke] kampung. Kenapa masih belum? Kami masih terus bertanya? Padahal mereka adalah warga masyarakat yang ada di provinsi dan kabupaten ini,” katanya.
Pastor Togodil mengatakan warga di Distrik Oksop sangat membutuhkan perhatian semua pihak. Togodil mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak baik itu bagi mahasiswa, pihak gereja, umat dan donatur yang telah memberikan bantuan bagi warga di Distrik Oksop.
“Bantuan kemanusiaan sejauh ini yang sudah didistribusikan sampai di Distrik Oksop. Bantuan bahan makanan maupun pakian itu dari mahasiswa Universitas Negeri Papua, mahasiswa Pegunungan Bintang di Jayapura, Uskup Keuskupan Jayapura, para pastor Keuskupan Jayapura bersama umat dan donatur. Terima kasih kasih banyak untuk semua orang yang membantu,” ujarnya.
Togodli sangat berharap pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan bisa mengambil kebijakan menarik pasukan TNI dari Distrik Oksop. “Tentara ditarik dari Distrik Oksop, supaya masyarakat yang masih di hutan segera masuk kembali di kampung halaman mereka dan beraktivitas bebas bersama keluarga yang sudah ada di kampung,” katanya.
Jubi telah berusaha menghubungi Komandan Distrik Militer atau Dandim 1715/Yahukimo, Letkol Inf Tommy Yudistyo dan Kepala Penerangan Kodam XVII/ Cenderawasih, Letkol Inf Candra Kurniawan untuk mendapatkan konfirmasi dan informasi pembanding. Jubi juga telah berupaya menghubungi Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III, Kolonel Inf Winaryo. Namun, hingga berita ini diturunkan upaya konfirmasi Jubi belum direspons.

Hentikan pendekatan keamanan
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, Prof Cahyo Pamungkas mengatakan pendekatan keamanan tidak dapat menyelesaikan konflik bersenjata di Tanah Papua. Cahyo mengatakan pendekatan keamanan hanya akan memperpanjang siklus kekerasan di Tanah Papua.
“[Pendekatan keamanan] berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, dan crimes against humanity [atau kejahatan kemanusiaan], memperkuat memoria passionis [atau ingatan penderitaan sebangsa],” kata Cahyo kepada Jubi, pada Selasa (25/2/2025).
Pemantauan Komnas HAM selama Januari hingga Desember 2024 terjadi 85 kasus berdimensi konflik bersenjata dan kekerasan di Tanah Papua. Berbagai konflik bersenjata itu menyebabkan 32 warga sipil meninggal dunia dan 17 lainnya luka-luka.
Sebanyak 14 anggota anggota TPNPB meninggal dunia dan 7 orang lainnya luka-luka. Konflik bersenjata juga mengakibatkan 8 anggota TNI meninggal dan 10 luka-luka. Selain itu, ada 7 anggota Polri meninggal dunia dan 5 luka-luka.
Cahyo mengatakan untuk jangka pendek yang perlu dilakukan Presiden Prabowo adalah menghentikan pendekatan keamanan dengan operasi penegakan hukum untuk sementara di Tanah Papua. Prabowo diminta untuk melakukan evaluasi terhadap semua kebijakan politik, hukum, dan keamanan di Tanah Papua.
“Menghentikan [pendekatan keamanan dengan] operasi penegakan hukum. [Harus ada] komunikasi antara aparat keamanan dengan TPNPB OPM untuk menyelamatkan pengungsi,” ujarnya.
Cahyo mengatakan evaluasi operasi militer di Tanah Papua perlu melibatkan organisasi non-pemerintah yang selama ini terlibat dalam advokasi konflik bersenjata di Tanah Papua. Cahyo meminta pemerintah membentuk tim khusus penyelesaian konflik bersenjata di Tanah Papua.
“[Langkah itu dibutuhkan] Untuk mencari berbagai alternatif penyelesaian konflik secara damai dan bermartabat,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!