Jayapura, Jubi – Hingga 2024 ada 2.955 Hak atas Kekayaan Intelektual atau HAKI yang telah didaftarkan ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM atau Kanwil Kemenkumham Provinsi Papua. Jumlah itu dinilai masih jauh lebih kecil dibanding potensi pendaftaran HAKI yang ada di Papua.
Data Kanwil Kemenkumham Papua menunjukkan 2.955 HAKI yang telah didaftarkan itu antara lain terdiri dari 1.898 sertifikat untuk Hak Cipta, 939 Merek, 10 Paten, dan tiga Desain Industri. Selain itu, juga ada 100 sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal serta lima sertifikat Indikasi Geografis.
Sebagian besar sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal, mencapai 96 sertifikat, diterbitkan untuk Ekspresi Budaya, Pengetahuan Tradisional, Potensi Indikasi Geografis dan Sumber Daya Identik yang ada di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Penelitian yang mahal
Kepala Kanwil Kemenkumham Papua, Anthonius M. Ayorbaba menjelaskan bahwa tahun 2024 telah ditetapkan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual sebagai tahun tematis Indikasi Geografis. Ada empat Indikasi Geografis unggulan Papua yang sedang diproses Kanwil Kemenkumham Papua yaitu beras Merauke, kopi Tolikara, kopi Dogiyai, dan madu Wamena.
“Ke empat unsur indikasi geografis itu memang harus diteliti oleh peneliti. Biaya sertifikasi HAKI dari sisi PNPB [atau Penerimaan Negara Bukan Pajak] itu murah. Yang mahal adalah biaya penelitian yang harus dilakukan akademisi. Selama ini,[perguruan tinggi di Tanah Papua] yang mempunyai riset HAKI [yang] berjalan dengan baik [adalah] Universitas Negeri Papua atau Unipa. Dosen-dosennya sudah sering melakukan penelitian,” kata Ayorbaba, Senin (24/6/2024).
Menurutnya, Papua memiliki banyak unggulan untuk yang dapat didaftarkan untuk memperoleh sertifikat HAKI. Proses keabsahan pendaftaran HAKI di Tanah Papua memang menghadapi tantang yang tidak mudah, karena pemerintah daerah belum mengalokasikan anggaran untuk membantu masyarakat melakukan pendaftaran HAKI.
Padahal, regulasi perlindungan kekayaan intelektual telah dituangkan dalam Peraturan Daerah Khusus atau Perdasus nomor 19 tahun 2008 sejak Majelis Rakyat Papua (MRP) periode pertama terbentuk. Seharusnya, demikian menurut Ayorbaba, setiap pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggarannya untuk mengidentifikasi potensi kekayaan intelektual di Tanah Papua.
Menurut Ayorbaba, kekayaan intelektual terdiri dari dua bagian. Pertama, kekayaan intelektual komunal, baik itu ekspresi budaya tradisional yang di dalamnya ada cerita rakyat, tarian dan permainan tradisional. “Kedua, disebut dengan pengetahuan tradisional. Banyak pengetahuan-pengetahuan tradisional nanti dikembangkan menjadi paten oleh para peneliti,” kata Ayorbaba.
Potensi HAKI di Tanah Papua
Hingga kini banyak pengetahuan tradisional di Papua yang belum dilindungi dari sisi HAKI. Misalnya sumber daya genetik atau hewan-hewan tertentu seperti cenderawasih, buaya, burung mambruk, dan jenis tumbuh-tumbuhan tertentu. Berbagai keanekaragaman hayati itu seharusnya bisa dilindungi dari sisi HAKI.
Potensi Indikasi Geografis—terkait komoditas tertentu yang memiliki keunggulan yang berkaitan dengan faktor lingkungan dan tanah—di Tanah Papua juga sangat besar. “Kita sedang bekerja keras untuk meyakinkan pemerintah daerah, potensi kekayaan intelektual itu juga perlu dilindungi,” ujar Ayorbaba.
Salah satu kekayaan alam di Tanah Papua yaitu dengan komoditas kopi. Dari data yang ada, baru kopi Jayawijaya/Baliem yang sudah memiliki sertifikat Indikasi Geografis. Kanwil Kemenkumham Papua kini sedang memproses pengajuan Indikasi Geografis untuk kopi yang tumbuh di Dogiyai, Provinsi Papua Tengah, dan Tolikara, Provinsi Papua Pegunungan.
Kanwil Kemenkumham Papua masih melakukan sosialisasi dan penguatan kepada pemerintah daerah, agar pemerintah daerah mau memfasilitasi pendaftaran Indikasi Geografis.
“Kita ingin menggerakkan sektor usaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pemerintah daerah juga harus bantu dalam urusan pelabelan merek tertentu, misalnya. Jangan terkesan orang yang ke Jayapura itu hanya membawa satu produk unggulan saja yang sudah cukup terkenal, Pemerintah daerah dapat menciptakan berbagai produk unggulan lainya,” katanya.
Menurut Ayorbaba, masyarakat adat juga mendapatkan keuntungan mendaftarkan kekayaan intelektual komunalnya. Pendaftaran itu akan meningkatkan posisi tawar masyarakat adat.
“Contohnya, orang Papuadi Kota Jayapura, kalau ekspresi budaya tradisionalnya sudah dilindungi dalam regulasi, [penggunaan motif Port Numbay harus seizin masyarakat adat]. Jika seluruh perkantoran di Kota Jayapuramenggunakan motif dan ukiran Port Numbay, dapat dibayangkan setiap kantor harus meminta izin ke masyarakat pemilik kekayaan intelektual komunal. Dengan begitu, masyarakat juga mendapat hak [manfaat dari penggunaan] tersebut,” kata Ayorbaba.
Pengembangan kekayaan intelektual komunal agar bisa melahirkan kekayaan intelektual personal seperti Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, Rahasia Dagang, ataupun hasil pemuliaan varietas tanaman, setiap kekayaan intelektual komunal harus didalami, diamati, dan diteliti. Jika penelitian itu berhasil, maka HAKI yang baru dapat meningkatkan daya saing dan investasi daerah.
Menurut Ayorbaba, pendaftaran hak kekayaan intelektual komunal juga akan melindungi masyarakat adat atas segala upaya pengembangan hak paten perorangan seperti hak cipta, hak paten, dan lain-lain. Jika pemerintah daerah tidak memfasilitasi masyarakat adat mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual komunal, masyarakat adat tidak akan mendapat perlindungan dan manfaat dari pengembangan berbagai hak kekayaan intelektual komunal itu.
Kanwil Kemenkumham Papua berharap tidak hanya pemerintah daerah yang mendorong kesadaran HAKI di Tanah Papua. Pemerintah daerah juga harus didorong untuk memfasilitasi masyarakat adat agar mendapat manfaat dari perlindungan HAKI.
Butuh pendampingan
Ketua Koperasi Peran Serta Wanita atau Koperwan untuk Papua, Margrit Linda Tokoro selama ini mendampingi para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) olahan sagu di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Ia menyatakan kepemilikan sertifikat HAKI sangat penting bagi masyarakat adat.
Akan tetapi, selama ini pendampingan kepada para pelaku UMKM hanya berfokus pada pengurusan dokumen Pangan Industri Rumah Tangga atau PIRT, ataupun pengurusan Nomor Induk Berusaha atau NIB.
“Kami juga mengarahkan pelaku UMKM ini untuk mendaftarkan [merek usahanya] ke Kanwil Kemenkumham Papua. Namun, masih banyak yang belum berminat mendaftarkan merek dagangnya,” kata Linda Tokoro.
Salah satu pengusaha Kopi dari Kabupaten Pegunungan Bintang, Haniel Uopmabin yang memproduksi kopi Kiwirok dalam kemasan. Ia mulai menyadari pentingnya mendaftarkan Hak atas Kekayaan Intelektual atas usahanya ke Kanwil Kemenkumham Papua.
Kini, ia telah memiliki logo usahanya, dan mengurus dokumen Pangan Industri Rumah Tangga atau PIRT. Uopmabin juga telah mengurus Nomor Induk Berusaha atau NIB, dan kini berupaya mengurus label halal dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
“Mungkin setelah semua urusan izin ini selesai, baru kami akan coba daftarkan [HAKI kami] ke Kanwil Kemenkumham Papua. Saya dengar juga hal itu penting, sehingga memang ada rencana mengurus itu semua,” kata Uopmabin pada Kamis (27/6/2024). (*)
Discussion about this post