Jayapura, Jubi – Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua menyatakan kondisi Hak Asasi Manusia atau HAM di Tanah Papua buruk. Pemerintah Indonesia diminta untuk serius menyelesaikan persoalan di Tanah Papua melalui dialog.
Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengatakan kondisi HAM yang buruk disebabkan beberapa hal, di antaranya konflik bersenjata yang terus mengorbankan warga sipil di Papua. Ramandey mengatakan kasus pembunuhan pilot helikopter PT Intan Angkasa Air Service, Glen Malcolm Conning, di Bandara Distrik Alama, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, pada 5 Agustus 2024 menunjukkan semakin buruknya kondisi HAM di Papua.
“Peristiwa [pembunuhan pilot itu] menunjukan kepada masyarakat internasional secara umum situasi HAM [di Papua] buruk,” kata Ramandey.
Ramandey mengatakan belum ada penanganan secara serius terhadap pengungsi Nduga maupun pengungsi Maybrat. Laporan pemantauan Komnas HAM pada Juli 2023 mencatat sebanyak 3.387 warga sipil Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya masih berada di pengungsian sejak 2021.
“Pengungsi Nduga, Maybrat, hingga kini belum diselesaikan. Jadi situasi HAM di Papua secara umum itu buruk,” ujarnya.
Pendekatan keamanan perpanjang konflik
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth juga mengatakan kondisi HAM di Tanah Papua memburuk karena konflik bersenjata yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Menurut Adriana konflik bersenjata terus terjadi lantaran pemerintah terus memakai pendekatan keamanan.
Adriana mengatakan pendekatan keamanan pemerintah belum selaras dengan pendekatan keamanan manusia. Ia menegaskan bahwa pendekatan keamanan manusia termasuk memastikan pemenuhan hak untuk mendapatkan rasa aman.
Dalam praktik di Tanah Papua, kata Adriana, penyelesaian konflik bersenjata dengan pendekatan keamanan justru memperpanjang konflik bersenjata di Tanah Papua. “Selain itu, jual beli senjata api secara ilegal membuat konflik terus berlangsung, karena ada keuntungan finansial dari perdagangan ilegal itu,” kata Adriana kepada Jubi melalui layanan pesan WhatsApp, pada Rabu (28/8/2024).
Adriana mengatakan pendekatan transformasi konflik perlu dirancang untuk mengakhiri konflik kekerasan. Upaya itu termasuk memulihkan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi di Tanah Papua.
“Selama ini Otonomi Khusus [Papua] hanya fokus pada resolusi pembangunan. Sementara konflik bersenjata dengan pendekatan militer justru memperpanjang konflik,” ujarnya.
Juru Bicara Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy mengatakan pendekatan keamanan/militer (security approach) dalam upaya menyelesaikan konflik di Tanah Papua tidak akan berhasil. Menurut Warinussy, pendekatan keamanan itu justru membuat cakupan konflik kian meluas, hingga menyentuh wilayah yang menjadi akses warga sipil.
“Eskalasi kekerasan [konflik bersenjata] terus meningkat dan berakibat lahirnya korban yang terus bertambah dari sisi jumlah. Tak pernah ada upaya penyelesaian damai maupun penegakan hukum,” katanya.
Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengatakan perlu ada evaluasi total terhadap pendekatan keamanan yang diterapkan pemerintah. Ramandey juga meminta TPNPB tidak melakukan pembunuhan, karena tidak akan menyelesaikan masalah Papua.
“Evaluasi total oleh otoritas keamanan. Kami juga mengingatkan TPNPB, bahwa membunuh itu tidak menyelesaikan masalah, tidak manusiawi, tidak martabat. Kami ingatkan atas nama kemanusian, hentikan cara kekerasan yang menebarkan ketakutan kepada warga setempat maupun [warga] negara asing,” ujarnya.
Terus dorong dialog
Peneliti BRIN, Cahyo Pamungkas mengatakan dialog merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Tanah Papua. Cahyo mengatakan dialog hanya dapat dimulai jika ada kesepakatan jeda kemanusian.
“Saya kira tidak ada cara lain kecuali dialog. Dialog itu kan sifatnya non-kekerasan. Menyelesaikan masalah perbedaan pendapat dengan menggunakan cara musyawarah. Dialog itu kan bertingkat. Syarat dialog, harus ada secession of hostilities, harus ada jeda kemanusian kemanusiaan,” kata Cahyo kepada Jubi, pada Rabu.
Menurut Cahyo, setelah ada jeda kemanusian, barulah para pihak bisa membahas model dialog, materi dialog, lokasi dialog, hingga mediator dialog. Cahyo mengatakan proses itu tentu harus melibatkan semua pihak yang berkonflik dan para pihak yang terdampak konflik tersebut.
“Baik itu kelompok sipil maupun kelompok militer, [harus dilibatkan]. Apakah itu ULMWP, TPNPB OPM, atau West Papuan Army. Kerangka kerja dialog harus disepakati oleh kedua belah pihak. Agendanya apa? Siapa mediatornya? Di mana tempatnya? [Semua hal itu] harus disepakati oleh kedua belah pihak. [Setelah itu] baru kita bisa melakukan dialog untuk menyelesaikan konflik Papua yang berkepanjangan ini,” ujarnya.
Yan Christian Warinussy mengatakan dialog harus mendapatkan dukungan struktural dari negara dan pemerintah. Misalnya, melalui regulasi setingkat Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres), agar dialog bisa terus berjalan dan bisa dievaluasi.
“[Harus ada regulasi] agar tidak ada langkah by pass dari siapapun untuk mengurangi dan atau menafikannya, karena [proses dialog] dijalankan secara terukur, dapat dievaluasi. Tapi kalau sekadar perintah dari Presiden, seperti dahulu disampaikan Presiden Jokowi [yang menetapkan] tokoh kunci seperti [mendiang] Pater Neles Tebay dan Teten Masduki, tetap tidak bisa jalan,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!