Manokwari, Jubi – Polisi mengadang sejumlah aktivis yang menggelar aksi protes terhadap Perjanjian New York 1962, di Manokwari, Kamis (15/8/2024). Pengadangan terjadi di depan Asrama Mansinam, Kelurahan Amban.
Para aktivis dari berbagai organisasi pergerakan Rakyat Papua tersebut merencanakan aksi mereka berpusat di kawasan Makalo. Mereka telah menetapkan sejumlah lokasi sebagai titik kumpul sebelum bergerak bersama ke Makalo.
Erick Aleknoe, aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mnukwar mengatakan polisi sempat mendatangi lokasi titik kumpul mereka di depan Kantor Kelurahan Amban. Namun, peserta aksi tetap bergerak dengan dua baris iringan menuju Makalo.
“Polisi kemudian mengadang kami di Bukit Doa, di depan Asrama Mansinam. Negosiator lapangan telah memberi bukti pemberitahuan [rencana aksi], tetapi polisi tetap menahan, dan mengadang massa aksi,” kata Aleknoe.
Polisi melintangkan sejumlah kendaraan operasional mereka di tengah jalan untuk mengadang massa aksi. Negosiator dari massa aksi telah meminta polisi membuka blokade tersebut, tetapi tidak digubris.
“Negosiator sampai menawarkan polisi mengantar massa ke lokasi [Makalo], tetapi juga ditolak mereka. Begitu pun ketika negosiator menawarkan massa aksi menggunakan kendaraan masing-masing menuju Makalo, tetap tidak diizinkan,” kata Aleknoe.
Karena tertahan di depan Asrama Mansinam, massa aksi pun menggelar orasi di lokasi tersebut. Tidak lama setelah itu, kondisinya memanas karena polisi tidak kunjung mengizinkan massa melanjutkan perjalanan mereka.
Menurut Aleknoe, sempat terjadi aksi saling dorong antara massa aksi dengan polisi. Massa juga menolak sebuah mobil polisi yang mencoba masuk ke Asrama Mansinam.
“Karena polisi terus memblokade aksi, kami pun [kembali] berorasi, bermusik, dan berpuisi di lokasi pengadangan. Setelah itu, dilanjutkan pembacaan pernyataan sikap,” kata Aleknoe.
Depopulasi dan eksploitasi
Perjanjian New York berlangsung antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda pada 15 Agustus 1962. Perjanjian mengenai pengalihan kekuasaan di Tanah Papua, dari Belanda kepada Indonesia itu tanpa melibatkan Orang Asli Papua (OAP).
“Hari ini, Bangsa Papua memperingati 62 tahun penjajahan oleh kolonial Indonesia. Sementara itu, Indonesia [akan] merayakan kemerdekaan mereka, dan mengklaim sebagai negara antikolonial,” kata Ketua KNPB Mnukwar Alexander Nekenem, saat membacakan pernyataan sikap.
Nekedem melanjutkan depopulasi terhadap OAP masih terus berlangsung hingga sekarang. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah OAP saat ini hanya sekitar 2,9 juta dari 5,4 juta penduduk di Tanah Papua.
“Jumlah warga Non-Papua jauh lebih besar, dengan laju pertumbuhan 6,39 persen setahun. Kemiskinan dan tingkat harapan hidup yang rendah juga menempatkan Tanah Papua selalu berada pada urutan pertama dalam indikator-indikator negatif di Indonesia,” kata Nekedem.
Kondisi Rakyat Papua tersebut makin diperburuk oleh perusakan alam. Nakedem menyebut ada sekitar 793 ribu dari 34,3 juta hektare hutan primer habis dibabat di Tanah Papua pada 2021–2022.
“Operasi militer Indonesia juga menyebabkan sekitar 77 ribu warga mengungsi dan hidup dalam ketidakpastian [di Tanah Papua]. Solusi damai dan jeda kemanusiaan yang diusulkan Dewan Gereja Papua bersama United Liberation Movement for West Papua ditolak Jakarta. Mereka lebih memilih operasi berdarah [dalam menyelesaikan persoalan],” kata koordinator aksi protes terhadap Perjanjian New York, tersebut.
Karena itu, KNPB Mnukwar mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) segera meninjau kembali Perjanjian New York 1962 dan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Mereka juga menuntut PBB menggelar referendum yang benar-benar demokratis bagi Bangsa Papua.
“Kepada Melanesian Spearhead Group [Kelompok Negara Melanesia] dan Pacific Islands Forum [Forum Negara Pasifik], kami mohon memperkuat solidaritas dalam mendukung perjuangan Bangsa Papua. Kami juga minta hentikan kompromi dengan Indonesia dan menggalang dukungan dari dunia internasional,” kata Nakedem.
KNPB Mnukwar pun mendesak Pemerintah Indonesia menghormati hak-hak Bangsa Papua untuk menentukan masa depan sendiri. Mereka juga menolak kehadiran militer Indonesia karena dinilai telah menindas OAP.
“Kami menolak pandangan rasis yang menganggap Papua sebagai bangsa primitif dan terbelakang. Pandangan ini merupakan diskriminasi yang menindas hak kebangsaan dan kedaulatan Bangsa Papua,” kata Nakedem. (*)