Jayapura, Jubi – Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua menyatakan 13 anggota prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penyiksaan tiga warga sipil Kabupaten Puncak di Provinsi Papua Tengah belum menjalani persidangan. Mereka masih ditahan di Markas Komandan Daerah Militer III/Siliwangi di Jawa Barat.
Hal itu disampaikan Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey sebagai hasil pertemuannya dengan Komandan Polisi Militer Komando Daerah Militer (Danpomdam) XVII/Cenderawasih di Kota Jayapura pada Senin (12/8/2024). Ramandey mengatakan Pomdam XVII/Cenderawasih dan Pomdam III/Siliwangi telah melakukan penyidikan perkara itu sejak 23 Maret 2024.
“Kami datang ke Danpomdam XVII/Cenderawasih, bertemu dengan penyidik di sana untuk memastikan bahwa proses penyidikannya sudah selesai. Mereka [sudah] datang ke Puncak, mencari alat-alat bukti, meminta keterangan saksi korban, termasuk [meminta keterangan dari] anggota satuan tugas yang terlibat dalam penyiksaan,” ujar Ramandey.
Ramandey mengatakan Tim Penyidik Pomdam XVII Cenderawasih telah meminta keterangan 17 orang saksi yang terdiri dari dua warga sipil (YK dan EK) dan 15 prajurit TNI. Ramandey Tim Penyidik Pomdam XVII Cenderawasih menetapkan 13 prajurit TNI sebagai tersangka delik penganiayaan secara bersama-sama, sebagaimana diatur Pasal 170 jo Pasal 35 jo Pasal 55 KUHP.
“Kami melihat dokumen pemeriksaan mereka, [13 prajurit TNI] sudah ditetapkan sebagai tersangka. Pomdam XVII/Cenderawasih yang menetapkan mereka sebagai tersangka, walaupun pemeriksaan dilakukan secara paralel. Ini [proses penyidikan] dikerjakan secara paralel antara penyidik Pomdam XVII/Cenderawasih, [penyidik] Pomdam III Siliwangi, tapi juga [penyidik] Pusat Polisi Militer di Mabes TNI,” katanya.
Ramandey mengatakan berkas perkara 13 prajurit TNI itu, berikut sejumlah barang bukti, telah dilimpahkan ke Oditurat Militer IV-20 Jayapura pada 23 April 2024. Menurutnya, berkas perkara itu telah dinyatakan rampung (P21). Seharusnya, setelah berkas perkara penyidik dinyatakan lengkap, para tersangka segera dilimpahkan ke pengadilan dan menjalani persidangan. “Ini sudah hampir empat bulan [sejak] berkas sudah dikirim, [tetapi sidang belum digelar],” kata Ramandey.
Ia mengatakan Komnas HAM sedang berupaya melakukan pemantauan untuk memastikan 13 tersangka itu ada di dalam tahanan. “Kami ada koordinasi dengan Komnas HAM di Jakarta, agar Komnas HAM RI bisa memastikan pemantauan terhadap para tersangka,” ujarnya.
Ramandey meminta Oditurat Militer IV-20 Jayapura segera mengumumkan jadwal persidangan perkara penyiksaan warga sipil di Kabupaten Puncak itu, agar publik dapat mengikuti proses persidangan. Ia juga meminta TNI memastikan bahwa persidangan perkara itu akan digelar di Pengadilan Militer yang ada di Papua. Jika tidak, maka TNI harus menjelaskannya kepada publik di Tanah Papua.
“Bahwa [ada rencana] mereka disidangkan di [wilayah hukum Kodam] Siliwangi, itu perlu penjelasan. Oditur Militer harus beri penjelasan, mereka sidang di sana untuk apa, itu perlu dijelaskan ke publik. Komnas HAM berharap [perkara itu] sidang terjadi di Papua. Komnas HAM sudah memberikan rekomendasi kepada Panglima TNI. Sidang itu harus diketahui publik, supaya publik mengawasi secara khusus di Papua,” katanya.
Indikasi melindungi tersangka
Direktur Aliansi untuk Demokrasi Papua, Latifah Anum Siregar menilai berlarut-larutnya proses hukum terhadap 13 prajurit TNI tersangka kasus penyiksaan warga sipil Puncak itu mengindikasikan ada upaya melindungi para pelaku. “Kalau mereka mau jalan sesuai hukum, [perkara itu harus] diproses dengan cepat. Tapi [prosesnya] malahan disengaja ditahan [jadi lama] seperti itu,” ujarnya.
Anum juga khawatir 13 prajurit TNI Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya sudah tidak ditahan lagi. “Kalau ditahan dari 25 Maret 2024, [waktu terus berjalan], April, Mei, Juni, Juli, Agustus, sudah melewati [batas waktu] masa penahanan 120 hari dari Maret 2024. Seharusnya [perkara itu] sudah masuk persidangan,” ujar Anum pada Rabu (14/8/2024).
Menurut Anum, setelah lewat batas waktu 120 hari, maka penahanan 13 prajurit TNI itu hanya dapat diperpanjang jika perkara mereka telah dilimpahkan ke pengadilan. “Penahanan lebih 120 hari itu hanya bisa dilakukan dengan adanya persidangan. Jadi [saya menduga] dia tidak ditahan penuh, ditahan [hanya] waktu [videonya] viral itu,” kata Anum.
Anum mengatakan kasus penyiksaan itu adalah tindakan yang tidak manusiawi. Anum meminta pimpinan TNI tidak mencari alasan untuk memindahkan persidangan ke asal kesatuan masing-masing, karena penyiksaan itu terjadi di Tanah Papua. Ia tidak ingin TNI mengulangi proses persidangan kasus pembunuhan Eden Bebari yang terjadi di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, pada 2020, di mana para terdakwa kasus itu diadili di luar Tanah Papua.
“Kasus yang melibatkan anggota TNI sering kali begitu. Jadi intinya di setiap tahapan itu pimpinan mencoba untuk melindungi anak buahnya. Nanti dikirimkan surat ke Mahkamah Militer, meminta persidangan dipindahkan ke tempat asal kesatuannya. Pola akan tetap sama seperti begitu,” ujarnya.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga mengatakan 13 prajurit TNI yang menjadi tersangka penyiksaan warga sipil Puncak itu harus disidang dan diadili di Tanah Papua. Menurut Usman, apabila persidangan digelar di luar Papua, pemindahan lokasi persidangan itu malah memunculkan kecurigaan bahwa negara tidak berupaya memberikan keadilan bagi orang Papua.
“Jadi kalau yang membutuhkan keadilan itu dan paling terdampak keadilan itu ada di Papua, ya [sidangnya] harus di Papua. Kenapa Papua harus [diperlakukan] berbeda? Bukankah itu tidak adil? Jangan sampai mengulangi lagi peradilan [pelanggaran HAM berat Paniai] di gelar di Makassar, itu jauh sekali,” kata Usman pada Selasa (13/8/2024).
Usman mengatakan proses persidangan perkara penyiksaan warga sipil Puncak itu harus segera digelar. Menurutnya, penundaan proses hukum terhadap 13 prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya bisa menimbulkan masalah baru, karena Indonesia bisa dianggap melanggar Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
“Itu melanggar asas-asas peradilan yang adil. Jadi orang tidak boleh mengalami proses persidangan yang terus ditunda, itu pelanggaran terhadap proses peradilan yang benar dan adil. Di tingkat tertentu, itu bisa dianggap pelanggaran terhadap konvensi penyiksaan, khususnya dalam bentuk perlakuan, penghukuman yang tidak adil,” ujar Usman.
Usman mengatakan pihaknya mendesak negara untuk menghormati asas peradilan yang adil. Negara harus berupaya mendekatkan keadilan sedekat mungkin dengan masyarakat orang asli Papua.
“Itu untuk memastikan bahwa masyarakat bisa mengawasi dan melihat proses keadilan itu dijalankan. Keadilan itu bukan saja hasil akhirnya, bahwa seseorang itu dihukum atau tidak, tapi juga proses berjalannya hukum itu bagian dari keadilan. Karena itu, [proses persidangan itu] harus terbuka, transparan, dan bisa diakses masyarakat yang membutuhkan keadilan,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!