Jayapura, Jubi – Sejumlah 12 buruh PT Tandan Sawita Papua yang beroperasi Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom mengadukan pemecatan yang dilakukan manajemen PT Tandan Sawita Papua kepada mereka ke Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua. Para buruh menuntut PT Tandan Sawita Papua menyatakan mereka dipecat tanpa mekanisme peringatan, dan dipecat tanpa kompensasi yang layak.
Wakil Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia atau SBSI Kabupaten Keerom Yosep Langoday menyatakan 12 buruh yang dipecat sudah bekerja untuk PT Tandan Sawita Papua antara 3 tahun hingga 11 tahun. Mereka adalah Agustinus Doko, Hendrikus Tua, Brunosius Yohanes, Beneditus Budi bersama istrinya Maria Mega Mode, Inocentius Toke Wane, Germanus Meda bersama istrinya Marsela Wonga, Krispianus Meze, Daniel Lokobal bersama istrinya Marlince Doga.
Menurut Yosep, kasus dipecatnya 12 buruh itu bermula ketika seorang buruh kebun sawit PT Tandan Sawita Papua bernama Elina Endoi (23) meninggal dunia pada 5 Mei 2023 karena dipatuk ular. Yosep menyatakan manajemen PT Tandan Sawita Papua telah berjanji akan memfasilitasi pemulangan jenazah Elina ke Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Akan tetapi, peti jenazah yang disediakan perusahan dianggap keluarga Elina terlalu kecil, hanya sebatas lutut. Pihak keluarga yang marah lalu membawa peti itu kembali ke kantor PT Tandan Sawita Papua di Kampung Amiyu, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom.
“Sampai di kantor tidak ada satu pimpinan yang dapat ditemui karena pimpinan tidak ada. Saya bilang peti itu jangan taruh di luar masukan ke dalam. Kita buka pintu, pintu tidak terbuka. Akhirnya pekerja mendorong itu pintu terbuka langsung pengrusakan dalam ruang kantor. Yang rusak itu kaca dan kursi. Kerusakan itu di taksir Rp7 juta,” ujar Yosep kepada Jubi, pada Minggu (18/6/2023) malam.
Pada 6 Mei 2023, manajemen PT Tandan Sawita Papua melaporkan peristiwa itu ke Kepolisian Resor (Polres) Keerom, dengan nomor laporan polisi LP/B/85/V/2023/ SPKT-Keerom-Papua. Pada 30 Mei 2023, , Polres Keerom memanggil 30 orang saksi untuk dimintai keterangan.
Dari 30 orang itu, 11 orang ditahan Polres Keerom. “Jam 12 malam kami dipanggil, jam 12 malam kami dijebloskan dalam penjara tanggal 30 Mei 2023,” katanya. Yosep menyatakan penahanan 11 orang itu ditangguhkan setelah ada bantuan dari Payubuhan Flobamora Keerom.
Pada 15 Juni 2023, terjadi pertemuan antara Manager HCCS PT Tandan Sawita Papua Yudi Harsono dan Yosep Langgoday yang ditemani tiga buruh lainnya. Dalam pertemuan itu, para pihak menandatangani kesepakatan bahwa manajemen PT Tandan Sawita Papua akan mencabut laporan polisi pada 6 Mei 2023.
Dalam poin kedua huruf b kesepakatan itu, para buruh dinyatakan bersedia menerima untuk dipecat bersama dengan istri mereka. Pada huruf c, dinyatakan bahwa para buruh yang akan dipecat bersedia meninggalkan perumahan (barak) dalam waktu 3 x 24 jam.
Keesokan harinya, pada 16 Juni 2023, perusahaan melayangkan surat PHK terhadap sembilan buruh dan tiga orang istri buruh yang juga bekerja di PT Tandan Sawita Papua. Yosep Langgoday menilai pemecatan tidak layak, karena tanpa didahului surat peringatan.
“Aturannya kan harus ada surat peringatan dulu. Itu langkah-langkah bijak yang harus diambil perusahaan. Ini tidak ada langsung PHK,” ujarnya.
Yosep meminta bantuan hukum ke LBH Papua dan LSM Gempur Papua lantaran merasa hak sebagai buruh dirampas dan tidak mendapat keadilan. Yosep merasa dirinya mendapat kriminalisasi sebagai pengurus serikat buruh, karena ikut ditahan di Polres Keerom. “Mereka sudah dipenjara, mereka juga di PHK,” katanya.
Yosep menyatakan dalam pemecatan itu perusahaan hanya membayar kompensasi bervariasi Rp3 juta untuk buruh dengan masa kerja sampai dengan tiga tahun, dan Rp6 juta bagi buru yang bekerja lebih tiga tahun. “[Padahal] dalam perjanjian itu disebut dengan kompensasi. Itu langsung uang [dalam] amplop di kasih di Polres Keerom hari Jumat 16 Juni 2023,” ujarnya.
Menurut Yosep pembayaran kompensasi itu tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. “Mereka ini dipenjara, tiba-tiba putusan kontrak. Perusahaan PHK terus suruh tanda tangan bayar kompensasi. Dalam Undang-undang Cipta Kerja menyebutkan [pekerja yang dipecat berhak atas] pesangon [dan] penghargaan masa kerja. Nilai kompensasi Rp6 juta itu dari mana perhitungannya?” Yosep bertanya.
Salah satu buruh, Marsela Wonga menyatakan ia juga dipanggil manajer perusahaan untuk menandatangani surat PHK. Wonga menolak dengan alasan dirinya tidak terlibat dalam peristiwa perusakan kantor.
“Saya ingin kembali bekerja, tapi perusahaan bilang kalau tidak mau tandatangan juga tidak apa-apa. Sekarang [saya] tidak tahu harus tinggal di mana,” ujarnya.
Buruh lainnya, Daniel Lokobal menyatakan telah bekerja di PT Tandan Sawita Papua sejak 2013. Ia memilih bekerja buruh harian lepas karena status itu tidak memerlukan administrasi yang rumit. Saat dipecat pada 16 Juni 2023, ia hanya menerima uang Rp6 juta untuk masa kerjanya sejak 2013.
Lokobal kini belum mengetahui harus mencari pekerjaan di mana, serta untuk sementara tinggal di Arso 6. “Selama ini tinggal di rumah [barak] perusahaan,” katanya kepada Jubi.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menyatakan pemecatan yang dilakukan PT Tandan Sawita Papua tidak sah. Ia juga menegaskan surat kesepakatan yang dibuat pada 15 Juni 2023 tidak sah dan tidak dapat dijadikan dasar pemecatan 12 karyawan PT Tandan Sawita Papua.
Gobay menyatakan syarat sahnya perjanjian tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian sah jika dibuat berdasarkan kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan berdasarkan suatu sebab yang tidak terlarang.
“Kami lihat fakta kriminalisasi, di mana para buruh tidak melakukan tindak pidana, namun perusahaan secara sepihak menuduh mereka dan memaksa menandatangani surat PHK dengan iming-iming akan dicabut laporan polisi. Perjanjian itu bertentangan dengan prinsip perjanjian yang diakui pada Pasal 1320 KUHPerdata,” kata Gobay.
Gobay menyatakan PHK yang dilakukan PT Tandan Sawita Papua itu tidak sejalan dengan Prinsip Pembangunan Ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurutnya, perusahaan wajib mengupayakan agar tidak terjadi PHK.
“Jadi bisa disiasati dengan mekanisme surat peringatan [atau SP]. [Dalam kasus] ini, tidak ada SP1, SP2, SP3, tapi langsung PHK. Itu menunjukkan bahwa perusahaan tidak menghargai orang yang bekerja bertahun-tahun untuk perusahaan,” katanya.
Gobay menyatakan pihak akan melaporkan persoalan ini ke Dinas Ketenagakerjaan Keerom. “Itu persoalan hubungan industrial. [Berawal dari] kecelakaan kerja [tetapi] tidak ada penanganan secara profesional terhadap buruh, dan akhirnya melahirkan amarah. Semestinya itu difasilitasi saja oleh HRD manajemen. Kok langsung bawa ke polisi. Kita akan mengadukan ke Dinas Ketenagakerjaan Keerom,” ujarnya.
Manajer HCCS Region Papua PT. Tanda Sawita Papua Yudhi Harsono menyatakan belum bisa memberikan keterangan lantaran sedang sakit. “Lagi sakit [demam]. Akan saya kasih keterangan kalau sudah membaik,” kata Yudhi melalui panggilan whatsapp, pada Senin (19/6/2023). (*)