Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Victor Yeimo mengikuti sidang pembacaan dakwaan terhadap dirinya di Pengadilan Negeri Jayapura, Senin (21/2/2022). Usai mengikuti pembacaan dakwaan itu, Victor Yeimo menegaskan dirinya tidak menggalang unjuk rasa anti rasisme yang terjadi di Kota Jayapura pada 19 Agustus 2019.
“Saya [datang] sebagai peserta aksi yang dipimpin oleh mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih di dekat Perumnas III dan II Waena. Saya tidak merencanakan dan mengkoordinir aksi itu. Akan tetapi, sampai di Lingkaran Abepura, saya diminta koordinator lapangan untuk mengarahkan massa [agar berunjuk rasa] dengan damai dan tidak melakukan aksi kekerasan seperti daerah lain,” kata Yeimo saat menghadiri sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jayapura, Senin.
Victor Yeimo diadili di PN Jayapura dalam perkara nomor 376/Pid.Sus/2021/PN Jap. Sidang perkara itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Eddy Soeprayitno S Putra SH MH bersama hakim anggota Mathius SH MH dan Andi Asmuruf SH.
Dalam pembacaan dakwaan pada Senin, Jaksa Penuntut Umum Achmad Kobarubun, Janwar, dan Piter Dawir mendakwakan Victor Yeimo dengan empat pasal. Keempat pasal yang didakwakan kepada Yeimo adalah Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ( bersama-sama melakukan makar), Pasal 110 ayat (1) KUHP (permufakatan untuk melakukan makar), Pasal 110 ayat (2) ke (1) KUHP (menggerakkan orang untuk melakukan makar), dan Pasal 160 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP (penghasutan dengan lisan atau tulisan untuk melawan penguasa).
Yeimo mengatakan aksi unjuk rasa anti rasisme terhadap orang Papua terjadi karena akumulasi rasa marah orang Papua mengalami rasisme yang disampaikan secara lisan, tulisan, maupun perbuatan. Yeimo menegaskan aksi 19 Agustus 2019 terjadi karena negara lambat menangkap para pelaku rasisme terhadap mahasiswa Papua yang berada di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 Agustus 2019.
“Saya terlibat dalam aksi demonstrasi pada tanggal 19 Agustus 2019, karena nurani saya terpukul. Orang menghina bangsa saya, saya merasa harga diri sebagai orang Papua hancur dengan ucapan teriakan ‘monyet’ dan ‘usir Papua’ terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019 di Surabaya,” katanya.
Yeimo mengatakan, pada 19 Agutsus 2019, semua orang tanpa terkecuali terpukul dengan rasisme yang terjadi di Surabaya. Mereka yang terpukul itu termasuk pemain Persipura Boaz Salossa, para pegawai negeri sipil, DPR Papua, Majelis Rakyat Papua, Gubernur Papua, para Bupati, dan banyak kelompok warga lainnya. Mereka turut merasakan ujaran rasisme di Surabaya, dan menyampaikan protes di seluruh Papua.
“Saya diminta melakukan orasi di Abepura, maka saya naik mobil pick up, sampaikan orasi dan mengamankan massa agar tidak anarkis hingga ke Kantor Gubernur. Sesuai dengan yang direncanakan oleh koordinator aksi, polisi, dan Gubernur, massa terkendali dengan aman di Kantor Gubernur Papua. Di sana sudah ada aksi massa dari Jayapura yang berlangsung di DPR Papua, MRP. Di Kantor Gubernur, massa dari semua elemen, mahasiswa, sampaikan aspirasi kekecewaanya masing-masing,” katanya.
Yeimo mengatakan, saat ia mengikuti demonstrasi, ia dipaksa massa aksi untuk berorasi, dan menyampaikan bentuk bentuk kejahatan rasisme yang terstruktur dan segala dampaknya terhadap persoalan di Papua. Mulai dari persoalan sektoral hingga konflik politik yang menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
“Persoalan itu secara nyata dan objektif ada di Tanah Papua, sebagai mana yang tertuang dalam kajian berbagai [lembaga], seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mengurai empat akar masalah di Papua. Empat akar masalah itu adalah kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua. Kajian berbagai pakar akademisi, hingga data BPS, juga tentang Otonomi Khusus yang gagal. Semua itu saya sampaikan, juga ikut disampaikan oleh orator lainnya,” katanya.
Yeimo mengatakan semua aspirasi itu adalah ekspresi orang Papua yang pada akhirnya menuntut pemerintah agar menyelesaikan masalah Papua dengan solusi yang damai. Aspirasi itu menyentuh beragam masalah, mulai dari masalah rasisme, hingga aspirasi politik lainnya.
“Aksi damai itu berakhir dengan tertib, tanpa ada gangguan dan diamankan oleh polisi. Pada esok harinya, tanggal 20 Agustus 2019, Kapolda Papua Irjen Rudolf Roja memberikan apresiasi atas aksi demo yang berlangsung damai,” katanya.
Yeimo menjelaskan aspirasi massa pada 19 Agustus 2019 juga diterima langsung oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe. Saat itu, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Uncen, Feri Bom Kombo menyerahkan aspirasi itu kepada Gubernur, yang selanjutnya dibawa Gubernur ke Surabaya, termasuk tuntutan agar pelaku rasisme di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya ditangkap.
“Aksi tanggal 19 Agustus 2019, saya menyampaikan dengan sejujurnya, bahwa saya tidak terlibat merencanakan, atau ikut serta dalam merencanakan aksi tersebut,” katanya.
Penasehat hukum Viktor Yeimo, Gustaw Kawer mengatakan semua tuduhan yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum kepada Viktor Yeimo itu kabur. “Jaksa Penuntut Umum terlalu memaksa dan mencampur adukkan tuduhan yang tidak ada hubungannya dengan Viktor Yeimo. Bahkan dalam aksi tanggal 19 Agustus 2019, dia tidak terlibat, hanya [datang] sebagai massa aksi,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!