Jayapura, Jubi – Publik di Papua Nugini dan Pasifik baru saja dikejutkan dengan meninggalnya tokoh politik terakhir yang menjadi saksi hidup kemerdekaan Papua Nugini dari Australia pada 16 September 1975. Sir Julius Chan meninggal pada usia 85 tahun dalam jabatan terakhirnya sebagai Gubernur Provinsi Irlandia Baru di Papua Nugini, Kamis (30/1/2025).
The Guardian pada Kamis melansir berita berjudul “Sir Julius Chan, Papua New Guinea’s last ‘founding father’, dies aged 85” yang memuat pengumuman pihak keluarga Sir Julius Chan terkait meninggalnya mantan Perdana Menteri kedua Papua Nugini itu.
“Ayah kami meninggal dengan tenang siang ini pukul 12.30 siang di rumah tercintanya di Manmantinut, Huris, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman. Kami berterima kasih kepada semua orang yang telah mendukungnya, dan mereka yang telah berbagi warisannya sepanjang kehidupan politiknya dari pra-kemerdekaan hingga saat kematiannya,” demikian pengumuman keluarga Sir Julius Chan sebagaimana dikutip dari The Guardian.
Negara yang dijuluki “The Kumuls” atau burung cenderawasih itu berduka atas meninggalnya Sir Julius Chan. Di Papua Nugini, ia lebih dikenal di seluruh negeri sebagai Sir J, “Bapak Pendiri” terakhir dari negara yang berbatasan dengan Papua itu.
Chan menjabat sebagai perdana menteri dua kali. Ia merupakan arsitek utama lanskap politik Papua Nugini.
Selama lebih dari lima dekade, ia memainkan peran penting dalam membimbing negara yang memperoleh kemerdekaan penuh dari Australia pada 1975. Ia menjabat sebagai anggota parlemen untuk provinsi New Ireland, dan tetap menjadi gubernurnya hingga ia meninggal.
Lahir dari ayah seorang imigran asal Tionghoa dan ibu pribumi, Chan mengatasi tantangan berat untuk menjadi tokoh politik terkemuka. Ia lahir pada 29 Agustus 1939 di Kepulauan Tangan Provinsi Irlandia Baru dari pasangan Chin Pak, seorang pedagang dari Taishan, China, yang menikah dengan perempuan asli Irlandia Baru bernama Miriam Tinkoris.
Chan memiliki lima saudara sekandung. Chan semua saudara sekandungnya, juga ibu mereka, digolongkan sebagai orang luar.
Namun Chan memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, ditandai oleh komitmennya terhadap persatuan dan pembangunan nasional. Karakter kepemimpinan itulah yang membuatnya menjadi tokoh yang dicintai oleh banyak warga Papua Nugini.
Sir Julius Chan mendapat pendidikan di Marist College, Asgrove, Brisbane Quseensland Australia. Usai menyelesaikan pendidikan di Australia, Sir Julius Chan kembali ke Provinsi Irlandia Baru. Itulah saat pertama kali ia aktif terlibat dalam politik pada 1960-an.
Pada tahun 1972, ia terpilih menjadi anggota Majelis Nasional pra-kemerdekaan Papua Nugini untuk mewakili Distrik Namatanai, Provinsi Irlandia Baru. Ia terpilih kembali untuk jabatan yang sama pada 1977, 1982, 1987, dan 1992.
Bersama tokoh bangsa Papua Nugini Sir Michael Somare, Chan menjadi Deputi Perdana Menteri sebanyak empat kali (1976, 1985, 1986, 1992-1994). Ia juga dua kali menjabat sebagai Menteri Keuangan (1972–1977, 1992–1994). Selain itu, ia juga menjabat pejabat Industri Primer (1976) dan Urusan Eksternal dan Perdagangan (1994).
Pada 1966, Chan menikah dengan Stella. Ia dan Stella memiliki empat anak—Vanessa Andrea, Byron James Chan, Mark Gavin, dan Toea Julius. Sejak 2002, putranya Byron James Chan menjadi anggota parlemen untuk elektorat terbuka Namatanai, yang meliputi selatan Irlandia Baru.
Dalam bukunya berjudul “Playing the Game : Life and Politics in Papua New Guinea” mendiang Sir Julius Chan menulis bahwa saat pertama kali menjadi Menteri Keuangan pada 1972 ia harus mempelajari manajemen dan tata kelola ekonomi. Ia membangun dan mendirikan bank sentral dan mata uang Papua Nugini yang telah direncanakan selama satu dekade.
Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape menyebut Sir Julius Chan sebagai tokoh ekonomi modern Papua Nugini yang menciptakan mata uang Kina dan Toea (Toya).
Buku “Playing the Game : Life and Politics in Papua New Guinea” juga memuat kesaksian Chan yang tegas mengemukakan bahwa pemilik tanah harus memiliki sumber daya di tanah mereka, termasuk hutan. Chan menulis bagaimana kehancuran lingkungan Papua Nugini, dan mengutuk kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan dan penebangan.
Dalam penutup bukunya itu, Chan berefleksi bahwa sumber daya dan pendapatan dari sumber daya itu seharusnya menjadi milik pemilik tanah. Akan tetapi, dia juga menginginkan pemerintah nasional, provinsi, dan lokal yang memiliki pendapat sehingga bisa membangun infrastruktur dan menyelenggarakan pelayanan publik.
Buku itu memberikan gambaran soal perjalanan karier Chan selama 50 tahun, termasuk pengalamannya sebagai Perdana Menteri Papua Nugini pada dua periode berbeda. Buku itu juga mencatat periode penting dalam sejarah Papua Nugini, tersebut perubahan sosial politik yang terjadi sejak negara itu lepas dari koloni Australia menjadi negara demokrasi terkemuka di Pasifik Selatan.
Sir Julius Chan memberi publik wawasan langka tentang individu dan pengaruh yang membentuk keputusannya yang terkadang kontroversial. Sebagai seorang pemimpin, ia juga menawarkan refleksi singkatnya tentang kehidupan setelah politik, dan visinya yang abadi untuk bangsa Papua Nugini. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!