Jayapura, Jubi – Diatas tanah adat milik marga Kimko Jinipjo komunitas masyarakat adat marga Kimko Jinipjo menyelenggarakan Awon Atatbon. Awon Atatbon adalah istilah lokal untuk Pesta Babi. Kurinbin (nama lokasi Pesta Babi) ini terletak di puncak bukit diantara 479 hektare tanah milik marga Kimko Jinipjo dan Kimko Metemko di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.
Untuk mencapai Kurinbin, kita harus berjalan kaki melalui jalan setapak sejauh 3 – 8 kilometer (Km) tergantung jalur yang kita pilih. Setiap jalur akan menembus hutan Papua Selatan, mendaki bukit, menuruni jurang dan menyeberangi sungai. Untuk orang lokal, 3-8 Km ini bisa ditempuh dalam waktu 2 – 7 jam. Namun bagi orang luar, jarak ini ditempuh selama 7 – 17 jam.
Secara administratif, Kurinbin masuk dalam wilayah Distrik Waropko. Nama Kurinbin ini tidak akan kita temukan di peta manapun. Kurinbin adalah sebutan masyarakat lokal untuk lokasi Awon Atatbon ini.
Dari arah barat, kita bisa mengakses Kurinbin dari kampung Waropko, ibu kota Distrik Waropko. Jaraknya sekitar tujuh kilometer. Dari arah timur, Wametkapa, kampung di perbatasan RI/PNG adalah akses tercepat berjarak tiga kilometer dengan Kurinbin. Jika memilih dari arah selatan, Kurinbin bisa diakses dari Kampung Timka di Distrik Ninati. Jaraknya sekitar lima kilometer. Sedangkan dari arah utara, akses ke Kurinbin sejauh delapan kilometer bisa dimulai dari Kampung Upkim di Distrik Waropko.
Awon Atatbon yang dilakukan pada tanggal 11-12 Januari 2025 ini sudah dilakukan secara turun temurun oleh komunitas adat di wilayah Ha Anim ini sebagai sebuah ritus sosial. Komunitas adat ini termasuk suku Muyu di wilayah adat Ha Anim. Awon Atatbon dilakukan setiap 7 – 12 tahun sekali. Tergantung pada kesiapan seorang pemimpin komunitas adat yang disebut tuan pesta dan keluarganya dalam mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk melaksanakan Awon Atatbon. Seperti tempat untuk tidur, kayu bakar, air minum, batu kali untuk memasak, babi, sagu dan ritual adat untuk para undangan yang hadir dalam dalam prosesi Awon Atatbon. Saat inilah, tuan pesta akan menunjukan kapasitasnya sebagai pemimpin (Big Men).
“Pada prinsipnya, Awon Atatbon adalah satu aktivitas berniaga antara warga komunitas adat dengan obyek babi milik tuan pesta yang diperdagangkan,” jelas Ponsianus Tarayok Kimko, anak tertua marga Kimko Jinipjo yang masih hidup. Ponsianus lah yang akan memimpin seluruh proses Awon Atatbon.

Ponsianus menambahkan, dalam pelaksanaan Awon Atatbon, tuan pesta akan menawarkan babi-babi miliknya kepada undangan yang datang dari komunitas adat lain dengan harga antara 5-10 juta rupiah (tidak boleh melebihi harga ini). Setelah harga disepakati, barulah para undangan boleh membawa babi yang telah mereka bayar untuk dimasak bagi komunitas mereka yang datang datang mengikuti Awon Atatbon. Seluruh proses Awon Atatbon berlangsung di rumah induk yang disebut Atat Awan.
Mereka yang datang mengikuti Awon Atatbon ini berasal dari komunitas adat di wilayah adat Ha Anim dan sekitarnya. Bahkan komunitas adat Ha Anim yang bermukim di wilayah Papua New Guinea (PNG) juga hadir. Laki-laki, perempuan, anak-anak dan balita ini berjalan kaki selama setengah hari hingga 2 hari lamanya untuk mencapai Kurinbin, lokasi Awon Atatbon.
“Saya dan keluarga jalan kaki dari Kiunga (PNG) selama hampir dua hari. Kami tidur satu malam di hutan. Kami datang karena diundang dan kami adalah keluarga tuan pesta,” ungkap Magdalena, seorang perempuan dari Kiunga, Papua New Guinea yang datang bersama suami dan anak-anaknya.

Mensepakati kembali batas wilayah adat
Awon Atatbon sejatinya adalah sebuah festival budaya untuk memfasilitasi komunitas adat merevitalisasi struktur sosial dan perlindungan atas wilayah adat mereka.

“Inti dari Awon Atatbon adalah revitalisasi adat untuk perlindungan wilayah adat melalui gerakan budaya, melalui nyanyian, tarian, ritual adat dan pertunjukan,” kata Vincent Korowa, pemuda asal marga Kimko Jinipjo.
Tak hanya itu, menurut Vincent, selama proses Awon Atatbon yang berlangsung sekitar satu hari satu malam, para marga akan mensepakati batas-batas tanah ulayat mereka dengan patokan urat tanah dan sungai. Lalu pada saat penutupan Awon Atatbon akan dilakukan ritual adat untuk meminta kepada leluhur agar memberi komunitas adat ini kesehatan dan keselamatan, bersama-sama menjaga dan melindungi keutuhan wilayah adat, serta mendukung rencana Awon Atatbon berikutnya untuk tetap mempertahankan nilai-nilai adat.
“Kami tahu bahwa setiap saat wilayah adat kami terancam. Dulu terancam oleh suku-suku lain. Sekarang terancam oleh orang-orang yang mau bikin kebun besar. Tanah adat kami diganggu, leluhur kami akan marah, kami akan susah,” jelas Wilem Wungim Kimko, Big Men marga Kimko Jinipjo.
Wilem Wungim Kimko, yang kali ini menjadi tuan pesta mengaku tidak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan tidak tahu soal kewarganegaraan. Ia juga tidak tahu soal Proyek Strategis Nasional (PSN) dan berapa luas wilayah adat mereka akan dicaplok. Tapi dia tahu bahwa ancaman kehilangan wilayah adat itu ada dan nyata. Baginya, bisa hidup di tanah adat mereka sudah cukup. Tanah adat mereka menyediakan segala yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, mereka wajib menjaga tanah adat mereka.
“Leluhur akan kasih tahu kami melalui tanda-tanda alam. Hewan-hewan di hutan berkurang itu alam sedang kasih tahu kami, bahwa tanah tempat hewan-hewan itu hidup sedang terancam,” kata Wilem Wungim Kimko.
Ritus Sosial Pesta Babi
Awon Atatbon yang dipersiapkan selama hampir tiga tahun ini dimulai dengan proses menerima para pemanah yang akan membunuh babi yang disediakan tuan pesta. Para pemanah ini datang satu hari sebelum hari pelaksanaan Awon Atatbon. Mereka berasal dari marga lain di luar marga Kimko Jinipjo. Namun para pemanah ini belum diperbolehkan masuk lokasi Awon Atatbon. Di pagi hari saat Awon Atatbon dilaksanakan, para pemanah ini didatangi dua utusan tuan pesta untuk membawa mereka masuk lokasi Awon Atatbon. Kemudian dilakukan ritual untuk mulai membunuh babi-babi yang disediakan oleh tuan pesta. Ritual ini dilakukan sejak malam hari hingga pagi hari.

“Ada 21 ekor babi yang disediakan tuan pesta. 16 ekor sudah masuk dalam kandang dan 5 lainnya masih berkeliaran di hutan. Babi-babi yang masih berkeliaran di hutan ini kami tangkap pada hari pelaksanaan Awon Atatbon,” jelas Ponsianus.
Seluruh proses ritual untuk membunuh babi-babi dilakukan di Atat Awan rumah induk). Tempat yang sama saat tuan pesta mendistribusikan sagu, sayur mayur dan kebutuhan lainnya untuk para undangan memasak babi yang telah mereka beli. Di tempat yang sama juga seluruh babi yang telah dibunuh ditempatkan untuk selanjutnya dilakukan transaksi oleh tuan pesta dan undangan yang datang.
“Saat membunuh babi utama, tidak boleh ada halangan. Semua yang datang harus berdiam. Setelah babi utama dibunuh, barulah yang lain boleh beraktivitas,” ujar Ponsianus.

Babi utama adalah induk dari semua babi yang akan dibunuh pada proses Awon Atatbon.
Setelah transaksi antara tuan pesta dengan tamu undangan selesai, barulah babi yang telah dibunuh boleh dibawa keluar Atat Awan untuk dimasak. Dalam proses transaksi inilah kesepakatan tentang batas-batas wilayah adat ditegaskan kembali dan disepakati bersama.
Mereka memasak babi-babi ini dengan cara bakar batu. Sagu, sayur dan daging babi dimasukan kedalam kulit kayu lalu ditempatkan diatas api dan batu panas semalaman.
Di malam hari saat pelaksanaan Awon Atatbon, dilakukan ritual Oktang. Ritual berbentuk tarian ini dilakukan dalam rumah panggung (rumah keluarga) setinggi 1 meter. 26 orang menari semalam suntuk dalam ritual ini. Para penari berasal dari komunitas adat Iwur, kampung Ulkibi, Kabupaten Pegunungan Bintang.
“Oktang ini dilakukan oleh orang-orang Iwur. Mereka datang khusus untuk melakukan syukuran Awon Atatbon. Menguji kekuatan rumah yang dibuat dan mengusir pengaruh jahat dari dusun kami,” ungkap Elisabeth Wandep Kimko, istri Willem Wunggin Kimko.
Setelah Awon Atatbon selesai, Atat Awan akan ditutup dan tidak boleh digunakan lagi. Kurinbin selanjutnya akan menjadi tempat tinggal bagi keluarga Willem Wunggin Kimko.

Gerakan Salib Merah
Di Tanah Adat Ha Anim (Bagian Selatan Tanah Papua), masyarakat adat sejak tahun 2014 telah dilakukan Gerakan Salib Merah. Salib Merah adalah simbol protes warga, masyarakat adat, dan gereja terhadap proyek-proyek negara yang merampas tanah, hutan, dan hak ulayat untuk food estate, sawit, atau transmigrasi. Gerakan Salib Merah dimulai di Boven Digoel oleh suku Awyu. Sejak tahun 2014, telah 1.400 Salib Merah ditancapkan di bagian selatan Tanah Papua.
Meskipun memiliki semangat yang sama, ada perbedaan mendasar yang membedakan Awon Atatbon dan Gerakan Salib Merah.

“Awon Atatbon ini berbeda dengan Gerakan Salib Merah. Awon Atatbon itu upaya mempertahankan dan melindungi tanah adat dengan mewarisi adat atau budaya, sedangkan Perlawanan Salib Merah untuk melindungi hutan melalui upaya kekristenan,” jelas Vincent Korowa yang mengadvokasi komunitas adat Ha Anim bersama Yayasan Pusaka untuk melindungi tanah adat mereka.
Masyarakat lokal/adat di Papua Barat telah berusaha keras untuk mempertahankan identitas, tanah, dan hutan mereka. Mereka telah melakukan hal ini tidak hanya dengan melibatkan LSM hak asasi manusia dan lingkungan serta kelompok-kelompok advokasi, tetapi juga dengan merevitalisasi budaya, identitas, dan sistem pengetahuan mereka sendiri dan mengartikulasikannya dengan cara-cara baru.
“Pesta babi Awon Atatbon di antara suku Muyu adalah salah satu contoh nyata. Contoh lainnya adalah “gerakan palang merah” di kelompok-kelompok tetangga Awyu dan Marind Anim di mana masyarakat Kristen asli menanam ribuan simbol adat dan salib Kristen yang dicat merah untuk memblokir perluasan proyek-proyek perkebunan dan pertambangan berskala besar yang didukung oleh negara dan perusahaan,” jelas Cypri Jehan Paju Dale, antropolog di University of Wisconsin Madison, yang meneliti agama Kristen asli dan politik penentuan nasib sendiri di Papua Barat

Menurutnya, melalui revitalisasi dan gerakan artikulasi baru inilah mereka memperkuat komunitas mereka dan mengirimkan pesan yang jelas kepada pemerintah dan korporasi bahwa Papua Barat bukanlah tanah kosong dan hutan adalah ruang hidup mereka yang perlu dilindungi.
Selain itu, bagi Willem Wunggin Kimko, Awon Atatbon juga sebuah fasilitas investasi dalam komunitas adat mereka. Bukan hanya investasi social, namun juga investasi ekonomi.
“Uang hasil transaksi babi akan berputar diantara komunitas adat mereka sendiri. Karena berikutnya, keluarga kami pasti akan mengikuti pesta babi selanjutnya yang dibuat keluarga lainnya,” jelas Willem Wunggin Kimko. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!