Jayapura, Jubi – Pemimpin Oposisi Kepulauan Solomon, Matthew Wale, mengutuk keras pembunuhan yang terjadi di Papua Barat oleh militer Indonesia. Seruan Wale ini muncul di tengah-tengah laporan media baru-baru ini tentang unit militer Indonesia yang berkeliaran di Kabupaten Intan Jaya, membantai orang West Papua sesuka hati.
Pembunuhan baru-baru ini juga melibatkan anak-anak di bawah umur.
“Kepulauan Solomon sebagai negara Melanesia harus terus berdiri menentang kekejaman yang sedang berlangsung di West Papua. Kita adalah orang Melanesia,” kata Wale.
Dalam sebuah pernyataan baru-baru ini, Wale mengatakan bahwa sangat tidak berperasaan jika Perdana Menteri dan pemerintah GNUT (Government for National Unity and Transformation) telah memilih untuk tetap diam terhadap kekejaman yang sedang berlangsung di West Papua.
Pemimpin Oposisi juga menyerukan kepada seluruh anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) untuk mengutuk pembunuhan baru-baru ini dan menuntut penarikan militer dari dataran tinggi; dan untuk mengizinkan Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk mengunjungi West Papua.
“Saya menyerukan kepada Perdana Menteri dan anggota Melanesian Spearhead Groups lainnya untuk menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk mengunjungi West Papua. Sebenarnya ini sejalan dengan resolusi yang dibuat oleh Forum Kepulauan Pasifik (PIF) tahun lalu,” katanya.
Wale mengatakan sudah saatnya para pemimpin MSG memikirkan kembali sikap mereka terhadap West Papua.
“Diplomasi dan geopolitik tidak boleh mengaburkan solidaritas kami dengan rakyat Melanesia di West Papua,” kata Wale.
Pemimpin Oposisi menekankan krisis hak asasi manusia yang sedang berlangsung di West Papua sebagai masalah regional yang mendesak yang masih belum terselesaikan.
Ia mengatakan bahwa Perdana Menteri Kepulauan Solomon telah mengunjungi Jakarta tahun lalu, namun sayangnya tidak ada diskusi dengan Indonesia mengenai penindasan sistemik terhadap kehidupan dan suara rakyat West Papua.
Wale mengatakan bahwa kurangnya dialog mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung dengan Indonesia menunjukkan bahwa prioritas GNUT dapat dinegosiasikan, atau bahkan dapat dikorbankan, demi keuntungan finansial. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!