Oleh: Dominggus A. Mampioper*
Penduduk yang terdaftar dalam program transmigrasi keluar Pulau Jawa pada umumnya memiliki keterbatasan. Baik tingkat hidup, maupun pendidikan. Atau mereka adalah masyarakat Jawa yang menjadi korban kebijakan negara.
Oey dan Gardiner menjelaskan bahwa salah satu penyebab keterbelakangan daerah-daerah Indonesia bagian Timur (IBT) adalah karena pola migrasi yang tidak mendorong pertumbuhan regional.
Proses industrialisasi yang semakin terkonsentrasi di Pulau Jawa, telah mendorong proses ketimpangan melalui proses migrasi tenaga kerja.
Perkembangan industri di Pulau Jawa telah semakin mendorong outmigrasi (migrasi keluar) dari tenaga kerja kurang terdidik, dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa.
Makanya migrasi spontan dan migrasi yang diatur pemerintah (program transmigrasi) bisa jadi merupakan beban bagi pemerintah daerah di masa depan, jika tidak diperhitungkan sejak dini.
Pola-pola transmigrasi di Tanah Papua
Jika melihat dan mengkaji pelaksanaan program transmigrasi di Tanah Papua selama ini, maka bisa disimpulkan bahwa paling sedikit ada lima pola yang telah dikembangkan.
Kelima pola yang telah dikembangkan itu adalah:
Pertama, pola tanaman pangan. Sebagian besar (90 %) Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dapat digolongkan dalam pola tanaman pangan.
Pada pola ini setiap KK transmigran memperoleh lahan pertanian seluas 2 hektare, dengan perincian 0,25 hektare lahan pekarangan dan 0,75 hektare lahan usaha I. Sedangkan lahan usaha II seluas 1 hektare dan masih berupa hutan.
Kedua, Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR Trans). Pola yang telah dikembangkan adalah pola-pola PIR Kelapa Sawit Arso sebanyak 5 UPT di Jayapura dan 5 UPT di Manokwari. PT Perkebunan II sebagai inti sedangkan para trans sebagai plasma.
Setiap KK pada pola PIR memperoleh lahan seluas 3 hektare, yaitu 0,25 hektare sebagai lahan pekarangan, lahan pangan seluas hektare dan lahan plasma seluas 2 hektare yang dikembangkan kelapa sawit.
Ketiga, pola nelayan (trans nelayan). Pola trans ini yang baru dikembangkan pada I UPT di Wimro, Kecamatan Bintuni, Kabupaten Manokwari. Di Sorong telah disiapkan lahan seluas 10.000 hektare di Pulau Waigeo untuk trans nelayan.
Keempat, pola Hutan Tanaman Industri (HTI Trans). Pola ini yang baru dikembangkan adalah jenis komoditi varietas sagu unggul di lokasi Aranday I dan Aranday II di Kabupaten Manokwari.
Kelima, pola jasa dan Imindustri (Trans Jastri). Pola ini dikembangkan di Kabupaten Biak Numfor di lokasi UPT Moibaken. Industri yang dikembangkan di sini adalah pemanfaatan galian C dan industri dasar kayu mebel.
Menurut informasi terakhir program ini gagal, karena industri yang dikembangkan tidak laku di pasaran. Dan terpaksa mereka bertahan dengan bertani di lahan terbatas.
Dari 39 KK trans dasal yang semula ditempatkan, ternyata yang kembali ke Pulau Jawa sebanyak 23 KK dan yang tinggal hanya 16 KK.
Selain pola-pola trans di atas, sebenarnya program yang dikembangkan secara khusus oleh mantan Mentrans Ir. Siswono Yudho Husodo adalah pola transmigrasi agro estate. Pelaksanaannya hampir sama dengan PIR Trans.
Dalam pola ini developer membangun lahan dalam skala ekonomi perusahaan dan dipetak-petak dalam skala rumah tangga, dengan dana yang dihimpun sendiri baik equity, maupun pinjaman dari bank.
Transmigrasi Bhineka Tunggal Ika
Program ini direncanakan oleh Mentrans dalam Kabinet Reformasi Letjen TNI (Purn) A.M. Hendropriyono (mantan kepala BIN) dengan meluncurkan program transmigrasi, yang diberi nama Transmigrasi Bhineka Tunggal Ika (Bhintuka), yang dikembangkan di wilayah Provinsi Aceh dan Papua.
Konsep transmigrasi Bhintuka, terbuka untuk masyarakat dari seluruh suku bangsa di Indonesia. Lokasi baru ini dibuka di SP XIII Timika, Kabupaten Mimika sejak tahun 1998.
Dampak-dampak program transmigrasi
Transmigrasi memiliki sejumlah dampak. Pertama, dampak lingkungan. Menjelang jatuhnya rezim Orde Baru terjadi perubahan politik. Ini membuat masyarakat adat bangkit, untuk menentang atas pengambilalihan tanah adat mereka.
Salah satu yang paling menonjol adalah masyarakat Marind, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Adat Marind.
“Tidak ada lagi tanah untuk program transmigrasi di tanah-tanah adat suku Marind. Sudah cukup kami berikan. Kami juga memerlukan tanah untuk masa depan anak-anak dan cucu kami.”
Pernyataan di atas bukan berarti menggambarkan kemarahan atau pun ketidaksenangan mereka terhadap kaum transmigran. Tapi wujud keprihatinan.
Pasalnya dalam pengembangan suatu lokasi permukiman trans, harus selalu memperhitungkan kesejahteraan dan kehidupan masyarakat asli, di kemudian hari.
Anggapan yang mengatakan tanah hutan tropis itu sangat subur karena adanya hutan lebat, sebenarnya merupakan suatu mitos dari pada suatu kenyataan. Hanya dengan beberapa pengecualian, sebab hampir semua tanah hutan tropis tidak sesuai untuk kegiatan pertanian intensif.
Kesuburan tanah di daerah tropis merupakan suatu sistem atau siklus pemanfaatan energi secara tertutup, dan sangat rentan terhadap sinar matahari, produsen (tumbuhan) bahan organik yang mati pengurai (bakteri), konsumen (tumbuhan dan binatang/hewan) yang sangat terbatas, maka pengaruhnya sangat kecil terhadap siklus hutan tropis.
Pembabatan hutan menyebabkan hilangnya siklus energi, sehingga dapat mengganggu kegiatan pertanian itu sendiri. Ini akan membuat banyak kegiatan pertanian di daerah tropis, hanya menghasilkan panen yang baik selama 2-3 tahun atau beberapa kali panen saja.
Tanpa adanya input (berupa pupuk dan pestisida), maka kegiatan pertanian di daerah-daerah tropis akan terhenti (De Fretes).
Perladangan berpindah-pindah sebenarnya merupakan suatu pola pemanfaatan lahan tropis, yang sesuai dengan keadaan ini. Akhirnya, lahan kehilangan kesuburan. Maka peladang akan membiarkan lahan tersebut (follow of period) untuk memperbaiki siklus energinya.
Namun, sangat sulit diterapkan dalam kegiatan pertanian menetap. Jika kesuburan tanah berkurang, maka petani transmigran akan menggunakan pupuk.
Persoalannya adalah ketika pemanfaatan pupuk dan pengontrol hama (pestisida, herbisida dan insektisida) yang berlebihan, akan menimbulkan pencemaran. Meskipun luas lokasi trans yang terbatas, kemungkinan pencemaran terbatas pula.
Yang jelas menurut Dr Jance De Fretes telah terjadi pemusnahan spesies tertentu.
Kedatangan para transmigrasi biasanya diikuti dengan masuknya berbagai jenis spesies tumbuhan dan hewan baru, baik yang disengaja, maupun tidak disengaja. Ini menyebabkan terjadinya proses pembunuhan spesies lokal.
Akibatnya masuknya spesies asing ke lingkungan baru. Masuknya jenis ikan gastor, keong mas dan ikan betik/betok menjadi hama bagi jenis-jenis ikan lokal. Jadi, tak heran kalau pakar lingkungan mengatakan program transmigrasi sangat berpotensi dalam proses kepunahan spesies asli di tanah papua.
Apalagi, Tanah Papua mempunyai keanekaragaman hayati dan tingkat keendemikan paling tinggi di Indonesia.
Misalnya, dengan masuknya jenis-jenis ikan lain seperti ikan betok/betik dan ikan gabus Toraja di lokasi trans di Merauke, telah menghilangkan atau terjadi populasi ikan-ikan jenis asli yang punah. Ikan-ikan tersebut adalah katip, olip, nambim (gabus licin).
Ikan-ikan ini merupakan jenis ikan asli milik suku-suku Marind di Kabupaten Merauke.
Ahli lingkungan Dr Jance De Fretes dari Conservation International (CI) menyimpulkan kegiatan dan penyiapan program transmigrasi mengakibatkan; pertama, perusakan dan hilangnya habitat alam; Kedua mendorong terjadinya pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan;
Ketiga, menambah kemungkinan spesies baru atau spesies asing; Keempat meningkatkan kemungkinan terjadinya pencemaran.
Kedua, dampak sosial dan budaya. Program transmigrasi di tanah Papua, menurut Drs Jhon Rahail, pakar kependudukan dari Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih (Uncen) adalah sangat tidak demokratis. Karena dengan sadar pelaksana transmigrasi mencoba untuk menghilang pengetahuan tradisional masyarakat translok, yang sesungguhnya harus diangkat dan dikembangkan (terkandung nilai budaya), karena memang mereka harus hidup dengan budaya asing di negerinya sendiri.
Itu tidak manusiawi, karena orang Papua harus menyesuaikan diri dengan budaya asing di tanah kelahirannya.
Konsep pembangunan transmigrasi bukan sekadar mengubah persentase dari 20 persen menjadi 60 persen untuk translok (APPDT). Tetapi harus mempunyai makna yang mendalam (Rahail Jhon, Transmigrasi Pola Budaya di Papua, Untuk Siapa. Irja Post 2 Februari 2000).
Perbandingan antara penduduk lokal semakin mencuat dan sangat mencolok. Hal ini bisa terlihat dari data-data dari Distrik Arso dari 24 kampung. Di sana ternyata hanya 8 kampung penduduk asli, sedangkan sisanya merupakan penduduk transmigran.
Pertambahan penduduk di Tanah Papua, menurut Dr La Pona, pakar kependudukan dari Pusat Studi Kependudukan Uncen, lebih banyak dipengaruhi proses migrasi masuk (inmigration) yaitu migran spontan dan transmigran.
Sedangkan pertambahan alami (natural increase) yang disebabkan selisih penduduk yang lahir (fertility rate) dibanding yang meninggal (mortality rate) kurang berperan.
Apabila program transmigrasi kurang lagi dikembangkan seperti kebijakan pembangunan Papua sebelumnya, maka pertambahan penduduk di daerah ini ke depan, akan lebih banyak dipengaruhi oleh migran spontan dari provinsi lainnya di Indonesia.
La Pona memberikan contoh tahun 1961 jumlah penduduk di Provinsi Papua diperkirakan sekitar 700.000 jiwa (Prof Dr Koentjaraningrat dkk, 1993), tahun 1971 sekitar 923.440 jiwa, tahun 1980 berjumlah 1.173.875 jiwa, tahun 1990 sekitar 1.648.708 jiwa dan sesuai sensus penduduk tahun 2000 2.127.523 jiwa atau sekitar satu persen dari jumlah penduduk di NKRI. Sehingga selama 39 tahun jumlah penduduk hanya bertambah 1.427.523 jiwa.
Selain itu, menurut pakar kependudukan Papua dari PSK Uncen mendiang Drs Michael Rumbiak MA setelah Pepera tahun 1969, pemerintah Indonesia menyatakan Provinsi Papua terbuka (open door policy) bagi orang Indonesia lain bebas masuk Papua. Kebijakan ini jelas menyebabkan banyak orang datang berbondong-bondong ke tanah Papua. Bersambung. (*)
*Penulis adalah editor senior Media Jubi Papua
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!