Oleh: Dominggus A. Mampioper*
Transmigrasi di Tanah Papua sebenarnya tak lepas dari sejarah penjajahan Belanda terhadap koloni-koloninya. Termasuk Indonesia atau Hindia Belanda.
Pemerintah Belanda memulai program transmigrasi dengan nama kolonisasi. Kelompok-kelompok koloni pertama yang dikirim itu berasal dari Kedu, kota bekas Karesidenan Jawa Tengah.
Kelompok koloni dari Jawa Tengah yang dikirim sebanyak 155 kepala keluarga (KK) ke desa baru dekat Gedong Tataan, sebelah selatan Way Sekampung di Lampung Selatan tahun 1905.
Pemerintah Belanda bermaksud melaksanakan kolonisasi (transmigrasi) ini, untuk menempatkan petani dari daerah yang padat penduduknya ke daerah-daerah kosong di luar Pulau Jawa. Ini dilakukan sebagai salah satu jalan untuk memecahkan masalah kemiskinan dan kepadatan penduduk.
Karena Tanah Papua saat itu masih menjadi wilayah kekuasaan Belanda, maka tanggal 21 Februari 1902 Pemerintah Nederlands Nieuw Guinea mendatangkan orang-orang Jawa ke Merauke.
Kemudian tahun 1908 didatangkan lagi transmigran dari Jawa yang bermukim di Kuprik. Bersamaan dengan itu hadir pula masyarakat Timor dari Rote, yang ditempatkan ke Merauke di lokasi Kampung Timor Merauke.
Tahun 1910 pemerintah Belanda mendatangkan lagi masyarakat Jawa, dan dimukimkan di lokasi Spadem dan Mopah lama.
Tujuan mendatangkan para koloni ke Merauke adalah untuk berladang dan bersawah, menanam sayur-sayuran, buah-buahan dan beternak, guna memenuhi kebutuhan makanan dan minuman bagi pegawai Pemerintah Belanda.
Pasalnya saat itu dropping makanan sangat lama. Sebab sarana transportasi sangat terbatas dan masih menggunakan kapal layar atau kapal uap.
Setelah Perang Dunia II berakhir tahun 1943, Pemerintah Nederlands Nieuw Guinea mengadakan penelitian dan survei di area dekat Sungai Digul dan Bian, sampai wilayah Muting.
Pemerintah Belanda terus berupaya untuk membuat areal yang direncanakan, dan mendatangkan orang-orang Jawa yang dimukimkan di Merauke. Maka dari sinilah muncul istilah Jawa Merauke (Jamer).
Meskipun pemerintah Belanda sudah angkat kaki dari wilayah jajahannya, Pemerintah Indonesia terus melanjutkan program kolonisasi ini. Tetapi namanya berubah menjadi program transmigrasi.
Transmigrasi pertama yang dikirim keluar dari Pulau Jawa adalah Pulau Kalimantan, tanggal 12 Desember 1950. Tanggal ini kemudian dirayakan sebagai Hari Bhakti Transmigrasi.
Walaupun namanya diganti dari kolonisasi menjadi program transmigrasi, menurut mantan Mentrans Martono, obyek dan subyeknya sama, yaitu, memindahkan manusia.
Penempatan transmigran Pra-Pelita sampai tahun 1990-an
Lima tahun sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1964, para transmigran didatangkan lagi oleh pemerintah Indonesia. Saat itu disebut dengan nama Pelopor Pembangunan Serba Guna atau Pelopor Pembangunan Irian Barat (TPPSG/PPIB). Di Kabupaten Manokwari ditempatkan 12 KK (30 jiwa), Kumbe (Merauke) sebanyak 27 KK dan Dosai (Kabupaten Jayapura) sejumlah 9 KK.
Pelaksanaan pembangunan di bidang Kependudukan dan Permukiman (eks Kanwil Deptrans dan Pemukiman Perambah Hutan) telah dimulai tahun 1964 – 2000 melalui program transmigrasi, dengan membangun unit-unit permukiman transmigrasi sebanyak 217 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), yang diperuntukkan bagi Transmigrasi Umum (TU) dan Swakarsa Mandiri (TPS) sebanyak 78.127 KK atau 303.323 jiwa. Serta Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) sebesar 10.566 KK atau 36.076 jiwa, yang penyebarannya di sepuluh kabupaten di Papua.
Perencanaan transmigrasi di Papua
Dinas Kependudukan dan Permukiman dalam penyelenggaraan transmigrasi di Provinsi Papua dilakukan dengan beberapa tahapan.
Pertama, Perencanaan. Pada tahap perencanaan sebagai titik awal dari proses penyelenggaraan transmigrasi dengan komponen transmigrasi yang meliputi penyiapan permukiman, pengerahan dan penempatan.
Serta pembinaan yang dilakukan setelah memperoleh rekomendasi dari kegiatan RTSP (Rencana Teknis Satuan Pemukiman) dan Rencana Teknis Pembinaan.
Kedua, Permukiman. Pembangunan permukiman untuk transmigrasi harus memperhatikan pencadangan areal. Hingga 31 Agustus 1999 jumlah pencadangan areal, yang telah mendapatkan SK Gubernur sebanyak 2.100.760 hektare. Yang tersebar pada 10 kabupaten.
Dikutip dari data Kantor Wilayah Transmigrasi Provinsi Papua (2000), sepuluh kabupaten itu, diantaranya, Jayapura (201.150 hektare), Manokwari (598.500 hektare), Sorong (214.530 hektare), Nabire (135.610 hektare), Jayawijaya (1.500 hektare), Merauke (155.000 hektare), Fakfak (388.025 hektare), Mimika (146.075 hektare), Biak Numfor (100 hektare), dan Yapen Waropen (260.250 hektare),
Sejak Tanah Papua menjadi bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), maka sejak tahun 1964 telah ditempatkan sebanyak 27 KK transmigran di lokasi Kumbe, Kabupaten Merauke.
Perkembangan transmigrasi di Tanah Papua sejak Pra-Pelita sampai Tahun Anggaran 1999/2000, telah dibangun 217 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) atau 78.127 KK (303.323 jiwa), transmigran umum dan transmigrasi swakarsa berbantuan.
Sampai saat ini sejumlah 156 UPT atau 58.530 KK atau 235.911 jiwa transmigran telah diserahkan pembinaannya kepada pemerintah daerah (pemda), sehingga pada tahun anggaran 2000 masih terdapat 60 UPT yang dibina oleh pemerintah, khususnya Dinas Kependudukan dan Permukiman (eks Kanwil Departemen Transmigrasi dan PPH Provinsi Papua).
Meskipun para perencana program transmigrasi selalu menepis isu bahwa program transmigrasi bukan jawanisasi–sebab yang dikirim ke Irian Jaya (Papua) adalah transmigran asal Bali dan NTT. Namun, jika mengkaji laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa, sebenarnya cukup tinggi, yaitu mencapai 2 juta per tahun.
Sementara program transmigrasi atau pemerintah pusat (Jakarta) hanya mampu memindahkan penduduk dari Jawa sebanyak 50.000 KK atau 200.000 jiwa per tahun. Bersambung. (*)
*Penulis adalah editor senior Media Jubi Papua
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!