Jayapura, Jubi – Justice, Peace, and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC OFM) Papua meluncurkan buku Memoria Passionis seri ke-43 yang berjudul “Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus.” Buku ini merupakan kumpulan analisis, kronik, dan rekomendasi terkait situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Peluncuran buku berlangsung di Aula Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (11/3/2025).
Peluncuran buku ini dihadiri oleh mahasiswa, aktivis HAM, aktivis lingkungan, tokoh agama, akademisi, dan masyarakat umum. Diskusi buku yang berlangsung selepas peluncuran mendapat antusiasme tinggi dari peserta maupun para pembicara.
Salah satu penulis buku, Bruder Ignasius Ngari, OFM, menjelaskan bahwa ini merupakan terbitan ke-43 dari seri Memoria Passionis yang telah diterbitkan JPIC Papua sejak era reformasi. Buku ini bertujuan mencatat berbagai penderitaan yang dialami orang Papua agar menggugah kepedulian publik.

“Seringkali masalah-masalah di Papua hanya dianggap lalu begitu saja, dan banyak orang tidak peduli. Tapi meskipun orang lain tidak peduli, itu bukan berarti kita harus berhenti bicara. Kita harus terus bersuara,” kata Ignasius.
Buku ini terdiri dari delapan bab yang mengulas topik-topik seperti deforestasi dan masyarakat adat, pelanggaran HAM, kekerasan bersenjata, peredaran narkoba dan miras, pembatasan kebebasan berpendapat, serta korupsi.
“Papua kini dilihat sebagai tempat yang bisa menyelamatkan banyak orang dari luar, tetapi apakah itu juga menyelamatkan orang yang tinggal di sini? Masalahnya adalah, orang luar mengeruk kekayaan Papua, tapi tidak melibatkan orang Papua dalam dialog,” ujarnya.
Ignasius berharap buku ini dapat memperluas jangkauan suara-suara dari Papua dan mendorong masyarakat untuk bergerak, dimulai dari komunitas-komunitas kecil.
“Buku ini ditujukan untuk menggerakkan hati para pemimpin, pembuat kebijakan, agar pembangunan di Papua tidak mengabaikan, apalagi mematikan masyarakat lokal,” tambahnya.
Suara dari Penyelenggara
Pastor Goklian Lumban Gaol, OFM, sebagai penanggung jawab kegiatan, menjelaskan bahwa JPIC Papua secara rutin menerbitkan seri Memoria Passionis setiap tahun. Buku ini mencatat berbagai peristiwa dan situasi kemanusiaan yang terjadi di Papua dari tahun ke tahun.
“Judul Memoria Passionis berarti kenangan atas penderitaan. Terinspirasi dari Yohanes Pembaptis, buku ini menjadi media untuk mengangkat kembali realitas kehidupan manusia dan alam di Papua. Ini bukan hanya catatan sejarah, tapi juga refleksi nyata atas kondisi yang ada,” jelas Pastor Goklian.
Ia menekankan bahwa tujuan utama dari buku ini adalah membangun kesadaran kolektif.
“Jika kita semua memiliki kesadaran yang sama, maka kita dapat bergerak bersama sesuai kapasitas dan kompetensi kita. Kami ingin mengajak semua pihak untuk bangkit dan menyadari bahwa ada hal-hal yang perlu diperbaiki di Papua,” ungkapnya.
Tanggapan Peserta
Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Agus Kosay, menyampaikan apresiasi atas terbitnya buku ini. Ia menyebut JPIC Papua konsisten mencatat penderitaan orang Papua secara kritis.
“Setiap tahun mereka mencatat secara kronik, dan ini penting agar generasi muda paham bahwa Papua tidak sedang baik-baik saja. Tulisan-tulisan ini memberi motivasi dan wawasan bagi generasi penerus,” ujar Kosay.
Ia menambahkan bahwa buku ini menyajikan isu-isu penting seperti perampasan tanah, pelanggaran HAM, dan konflik bersenjata yang tak kunjung selesai.
“Ini bisa menjadi bahan refleksi bagi Jakarta, bahwa Papua sedang mengalami persoalan serius. Buku ini juga membantu memperjelas realitas yang harus dipahami oleh pemerintah pusat,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Walhi Papua, Maikel Primus Peuki, menyebut buku ini sebagai bentuk kritik terhadap situasi faktual yang sedang berlangsung.
“Judulnya tepat, kita bicara terus tapi di lapangan eksploitasi terus jalan. Ini menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama masyarakat Papua, bahwa yang terjadi di Merauke, Boven Digoel, dan Sorong merupakan ancaman serius bagi masyarakat adat dan lingkungan,” kata Maikel.
Ia juga mendorong agar buku ini dibaca oleh seluruh pemerintah daerah di Tanah Papua, karena isinya bisa menjadi acuan untuk menyeimbangkan pembangunan dengan pelestarian ekosistem dan budaya lokal.
Antoni Ibra dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) turut mengapresiasi buku ini. Ia menilai bahwa buku ini sangat relevan, meski tidak secara eksplisit menyebut siapa yang “bicara” dan siapa yang “jalan terus”.
“Buku ini sebenarnya ditujukan untuk semua pihak—pemerintah, aktivis, tokoh agama, tokoh pemuda, dan perempuan—yang peduli pada persoalan ketidakadilan di Papua,” jelas Antoni.
Ia menyarankan agar JPIC Papua melibatkan pemerintah dalam diskusi peluncuran buku ke depan.
“Undang pemerintah dalam kegiatan semacam ini, dan presentasikan isi buku dalam bentuk workshop agar mereka juga tahu dan memahami apa yang terjadi di Papua,” sarannya.
Menurutnya, kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk menciptakan keadilan dan keberlanjutan di Papua. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!