Sentani, Jubi – Warga masih mempertahankan sagu sebagai sumber makanan pokok di Kampung Asei Besar, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura. Karena itu, mereka selalu melestarikan hutan sagu agar tidak kekurangan sumber bahan pangan utama.
Corlius Ohee, warga Asei Besar mengatakan mereka tidak pernah menyiapkan stok beras di rumah. Sebaliknya, mereka selalu memiliki cadangan tepung sagu untuk diolah menjadi papeda sebagai makanan utama sehari-hari.
“Kami lebih baik tra punya beras daripada sagu. Sehari tra makan papeda itu, rasanya belum makan apa-apa,” kata Ohee, 55 tahun, saat ditemui di kediamannya di Kampung Asei Besar, Selasa (15/10/2024).
Selain menyetok tepung sagu, atau sagu kering, warga Asei Besar selalu menyimpan sagu bakar sebagai cadangan pangan. Jika stoknya mulai menipis, mereka langsung menuju hutan untuk menebangi beberapa pohon sagu, dan mengolahnya menjadi tepung.
“Kalau pun ada beras di rumah, itu cuma untuk anak-anak. Kami buat menjadi bubur untuk sarapan mereka sebelum bersekolah,” kata Ohee.
Jarak hutan sagu sekitar 500 meter dari kediaman Ohee. Dia mengaku mengolah sagu membuat tubuhnya bugar. Mengonsumsi papeda menurutnya, juga jauh lebih menyehatkan ketimbang nasi.
“Sagu juga lebih bersih daripada beras. Sagu tidak berdebu dan tidak berkutu,” ujar Ohee.
Ohee menetap di Asei Pulau, sebuah perkampungan di tengah Danau Sentani. Sebagian besar warganya bekerja sebagai nelayan. Selain dijual, sebagian ikan hasil tangkapan mereka untuk dikonsumsi keluarga. Ikan kuah kuning menjadi menu favorit warga, untuk disantap dengan pepeda.
Tradisi mengolah sagu dan mengonsumsi papeda diwariskan secara turun-temurun di Asei Pulau. Tidak hanya Orang Asli Papua (OAP), warga Non-OAP juga terbiasa menjadikan papeda sebagai makanan utama sehari-hari di Asei Pulau.
“[Bahan pangan] di sini didominasi sagu. Mau, tidak mau, saya juga harus makan papeda,” kata Rina Kristina, 46 tahun.
Rina berdarah Buton dari Sulawesi Tengggara dan bersuamikan warga dari Asei Pulau. Dia mulai membiasakan diri mengonsumsi pepeda sejak menikah dan bermukim di Asei Besar.
“Lama-lama saya terbiasa [mengonsumsi papeda]. Kami memang lebih baik makan pepeda daripada nasi karena beras makin mahal,” ujar Rina.
Selain membuat papeda, warga mengolah sagu menjadi berbagai makanan ringan. Rina juga biasa menyajikan penganan itu untuk suami dan anak-anaknya.
“Kami memang harus saling menghargai dan menerima perbedaan [dalam keluarga]. Apa yang dia [suami] makan, saya juga ikut makan, selagi itu bukan racun,” kata Rina, sembari tersenyum. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!