Jayapura, Jubi- Tanah Papua di wilayah Provinsi Papua Selatan yang terdiri dari Kabupaten Mappi, Merauke dan Asmat memiliki iklim yang tegas antara musim kemarau dan juga musim penghujan. Apabila terjadi perubahan hutan tropis seluas dua juta hektar lahan di sana , maka proses evaporasi atau proses penguapan itu akan juga ikut berubah.
“Penguapan itu akan berubah sebab penguapan yang selama ini terjadi dari pohon itu berubah dan matahari itu langsung bersinar ke tanah dan bukan melalui pohon. Kelihatan hal ini sepele tetapi hal itu akan mengubah iklim dan cuaca di sana, di tengah perubahan iklim global dunia sekarang,”kata kandidat Doktor, Yehuda Hamokwarong dari Program Studi Geografi, Universitas Cenderawasih kepada jubi.id Sabtu (11/1/2025).
Dia menambahkan hal ini akan mengganggu perubahan pola iklim di wilayah Papua Selatan yang memiliki kesamaan iklim dengan wilayah Australia, karena di sana juga punya pohon Eucalyptus atau dalam bahasa Marind disebut kayu bush.
“ Wilayah Papua Selatan akan mengalami perubahan iklim, karena proses penguapan langsung ke angkasa akan mempengaruhi dua musim penghujan dan kemarau di Papua Selatan. Biasanya di sana enam bulan kemarau dan juga enam bulan musim hujan bisa berubah menjadi lebih dari enam bulan. Bisa mencapai delapan atau sembilan bulan lamanya kedua musim itu,” kata penerima penghargaan aktivis hijau itu, seraya menambahkan perubahan pola iklim di Papua Selatan akan terjadi di masa mendatang.

Menurutnya, perubahan iklim ini nantinya tidak akan berjalan normal lagi. Misalnya enam bulan sekali musim kemarau dan enam bulan musim penghujan, bisa saja yang akan terjadi musim kemarau bisa jauh lebih lama dari biasanya.
“Bisa terjadi tujuh bulan bahkan sampai delapan bulan. Bahkan dalam proses perubahan, misalnya El Nino akan terjadi kekeringan dan kemarau panjang yang bisa melewati waktu normal yang selama ini terjadi di Papua Selatan,”katanya.
Akan terjadi kekeringan besar-besaran di Papua Selatan.
Dia menambahkan kalau terjadi kemarau yang panjang sudah tentu lahan lahan di sana termasuk hutan akan terbakar secara besar-besaran. “Hal lain yang terjadi sudah tentu krisis air minum dan juga kekurangan air bagi flora fauna di sana. Apalagi kalau ada kebakaran. Sudah pasti asapnya akan terbawa angin sampai ke PNG maupun Asutralia,”katanya.
Sebaliknya lanjut dia, jika terjadi musim hujan yang selama ini hanya enam bulan dan akan terjadi lebih lama lagi akan membuat sebagian besar di wilayah dataran rendah akan tenggelam atau banjir. “Bahkan di wilayah dataran rendah air laut atau banjir rob akan terjadi terutama di Kota Merauke yang rendah akan terendam air,”katanya.
Kalender Musiman Masyarakat Adat terganggu
“Perubahan lahan yang besar sudah tentu akan mengganggu kegiatan masyarakat adat dalam mengatur aktivitas mereka mulai dari menanam sampai berburu di hutan hutan tropis di Papua Selatan,”katanya.
Dikatakan masyarakat adat yang selama ini sudah mengatur kegiatan mereka sesuai dengan kalender musiman sejak nenek moyang, terutama tentang kearifan lokal akan terganggu karena alam sudah tidak ramah lagi dengan mereka. “ Mulai dari gangguan musim tanam termasuk pertanian berpindah pindah masyarakat adat,”tambahnya.
Hal senada juga dikatakan pakar antropologi lulusan Universitas Leiden Belanda, Dr JR Mansoben. MA. Menurutnya, bagi masyarakat adat Marind di Pulau Kimaam sudah mengenal tradisi menanam ubi kumbili di daerah rawa rawa di sana sebagai komiditi pangan lokal yang hidup dan terintigrasi dengan tatanan sosial budaya masyarakat di Pulau Kimaam, Papua Selatan.
“ Jadi saat panen Gumbili tiba masyarakat di sana akan melakukan pesta adat atau upacara yang disebut Ndambu di Pulau Kimaam,”katanya.
Penelitian dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua berjudul “Teknologi Budidaya Kumbili atau Gembili pada Lahan Sub Optimal di Kabupaten Merauke” menyebutkan, teknik budidaya tanaman Gembili atau “Nai” dalam bahasa Marind, harus mematuhi tata sistem kearifan lokal (indegenious knowledge).
Ini meliputi persiapan lahan, memilih bibit, menyimpan bibit, semai bibit, waktu tanam, menyiangi tanam, panen dan pemasaran. Memang harus diakui bahwa warisan pengetahuan tentang Gembili, hanya terbatas dalam keluarga peladang dari generasi ke generasi peladang berikutnya secara proporsional.
Penanamnya menggunakan pola tradisional dengan waktu tetap antara September- November. Perhitungan waktu tanam ini dengan menggunakan cara tradisional, sesuai dengan kalender musiman masyarakat adat yang selama ini diyakini.
Selain itu mengutip journals.ametsoc.org menyebutkan, pembagian tahun menjadi setidaknya musim hujan dan musim kemarau. Hal ini merupakan yang umum terjadi di wilayah Pasifik.
Namun, karena semakin banyak komunitas di Pasifik yang diajak konsultasi, menjadi jelas bahwa kalender musiman cenderung berbeda, ketika dipertimbangkan di seluruh kelompok budaya di kawasan Pasifik.
Perbedaan dalam kalender musiman untuk lokasi yang berbeda, juga dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam mata pencaharian dan juga keakraban dengan indikator lingkungan yang berbeda.
Di Pasifik, kalender musiman ini juga memiliki aspek budaya, menggabungkan upacara, ritual, dan kegiatan masyarakat yang tidak selalu terkait dengan produksi atau pengelolaan sumber daya alam.
Hilangnya keanekaragaman hayati
Pakar kehutanan dan lingkungan menyebutkan, sebagian besar hutan di Papua Selatan banyak memiliki pohon Eukaliptus yang memiliki tipe Australis. . Ada lebih dari 700 spesies Eukaliptus yang kebanyakan di antaranya dapat ditemukan di wilayah Australia.
Hutan di bagian Papua Selatan khususnya di Kabupaten Merauke , menurut peneliti dari Universitas Musamus Merauke, merupakan hutan musim (Monsoon forest) yang hampir sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis-jenis tertentu.” Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh iklim, dimana iklim Kabupaten Merauke beriklim tropis dengan perbedaan musim penghujan dan kemarau yang sangat mencolok,”demikian kata peneliti dari Universitas Musamus Merauke , Yosefina Mangera pada hasil risetnya berjudul, “Vegetasi jenis pohon di kawasan hutan Kampung Wasur, pada Taman Nasional Wasur , Distrik Merauke, Kabupaten Merauke” .
Mendiang Lyndong Pankali, peneliti kehutanan dan juga mantan koordinator WWF di Kabupaten Merauke mengatakan, hutan mempunyai banyak arti yaitu berperan dalam siklus hidrologi, memelihara kesuburan tanah, sebagai sumber keanekaragaman genetik, serta mencegah terjadinya banjir.
Dia menambahkan hutan mempunyai peranan yang sangat besar sebagai penyangga kehidupan, di mana bila hutan masih alami atau ekosistemnya belum terganggu, maka semua fungsi dari hutan tersebut dapat berjalan dengan baik.
Jadi menurutnya, perubahan lahan dengan luas dua juta hektar tentunya akan mengorbankan kawanan burung leher bangau hitam (Ephipiorhynchus asiaticus) atau pun ribuan burung pelican dari Australia yang migrasi ke dataran rendah di Papua Selatan akibat musim dingin di Australia. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!