Merauke, Jubi – Marga Mahuze Kewam dari Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, menggugat perusahaan perkebunan kelapa sawit yakni PT Bio Inti Agrindo atau BIA di Pengadilan Negeri atau PN Merauke, dengan tuduhan mencaplok lahan yang diklaim sebagai milik marga tersebut. Tanah seluas 1.800 hektare di Dusun Bundil, Kampung Mandekman, Distrik Ulilin itu menjadi lahan kelapa sawit sejak 2007 silam.
Selain PT BIA, penggugat dari Marga Mahuze Kewam atas nama Donatus Balango Mahuze juga menggugat Ketua Marga Mahuze Milafo, Florentinus Mahuze Milafo (tergugat II). Gugatan ini dengan tuduhan bahwa tergugat II melepaskan tanah seluas 1.800 hektare milik Marga Kewam kepada PT BIA.
Kuasa Hukum Penggugat Kaitanus FX Mogahai SH mengatakan, sidang gugatan perdana perkara perdata tersebut dilaksanakan di PN Merauke, pada Rabu (19/6/2024) kemarin. Namun sidang yang dipimpin Hakim Ketua Dinar Pakpahan SH didampingi dua hakim anggota yakni I Made Bayu Guatama SH dan Muhammad Irsyad Hasyim SH itu ditunda, karena para pihak (turut tergugat II dan III) dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Merauke, dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Kabupaten Merauke tidak hadir.
“Sidang perdana dari perkara perdata itu ditunda oleh Hakim Ketua Dinar Pakpahan SH ke tanggal 22 Juni 2024, karena para pihak tidak hadir yakni BPN dan PMPTSP,” katanya, Kamis (20/6/2024).
Kaitanus Mogahai mengatakan pokok gugatan terkait kepemilikan lahan seluas 1.800 hektare milik Marga Kewam, yang dilepaskan oleh Marga Milafo kepada PT BIA pada 2007 silam. Proses pelepasan saat itu tanpa izin atau persetujuan serta tidak melibatkan Marga Kewam. Lahan tersebut digunakan oleh PT BIA untuk penanaman dan produksi kelapa sawit, selama kurang lebih 17 tahun.
“Lahan kelapa sawit yang dikelola PT BIA kurang lebih ada 30.000 hektare, yang mana di dalamnya terdapat 1.800 hektare milik Marga Kewam. Nah, tanah 1.800 hektare ini dilepaskan oleh Marga Milafo kepada PT BIA pada 2007. Proses pelepasan tidak melibatkan Marga Kewam selaku pemilik tanah 1.800 hektare itu,” ujarnya.
Kaitanus Mogahai mengatakan bahwa masyarakat pemilik ulayat yakni Marga Kewam merasa dirugikan, karena lahan mereka dicaplok atau digunakan selama 17 tahun tanpa ganti rugi. Oleh sebab itu Marga Kewam membawa persoalan tersebut ke Pengadilan Negeri Merauke. Tuntutan ganti rugi yang diajukan Marga Kewam kepada para tergugat sebanyak Rp150 miliar.
“Marga Kewam melihat ada kejanggalan-kejanggalan yang terjadi selama ini di perusahaan, sehingga wajar kalau masyarakat kita merasa haknya dicaplok dan menuntut para tergugat ke pengadilan. Tuntutan secara perdata baik kerugian material maupun inmaterilnya sebesar Rp150 miliar kepada tergugat terhitung sejak 2007 hingga 2024,” katanya.
Menyoal bukti-bukti otentik untuk gugatan perkara tersebut, Kaitanus Mogahai menyatakan pihaknya telah menyiapkan berbagai dokumen kepemilikan lahan. Dokumen tersebut yakni surat keterangan bukti kepemilikan atas tanah adat yang dikeluarkan oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) setempat, serta pihaknya juga telah menyiapkan sejumlah saksi.
“Kami mau menguji keabsahan PT BIA [menggunakan lahan Marga Kewam] ini, apakah sudah melalui prosedur atau tidak. Kami sudah pegang [bukti-bukti termasuk saksi-saksi]. Kami mau mediasi dulu, tapi bilamana mediasi itu tidak berjalan atau gagal, maka kami ke tahap selanjutnya. Kami harapkan minggu depan, BPN dan PMPTSP hadir, sehingga bisa clear [jelas],” katanya.
“Kami berharap pemerintah serius, dalam hal ini BPN dan Dinas PMPTSP, karena investasi atau investor masuk itu melalui dinas terkait. Pemerintah harus juga bisa bertanggung jawab, karena waktu identifikasi dan pengukuran tanah itu, Marga Kewam tidak dilibatkan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa selain menggugat Rp150 miliar, Marga Kewam juga menuntut adanya program-program Corporate Social Responsibility (CSR), atau bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada Marga Kewam. Misalnya, merekrut anak-anak pemilik ulayat untuk dipekerjakan di perusahaan tersebut, serta menerapkan program inti plasma.
“Marga Kewam menuntut dari 1.800 hektare itu ada 20 persen kebun plasma. Juga menuntut agar PT BIA memprioritaskan anak-anak Orang Asli Papua (OAP) untuk bekerja di dalam lingkungan perusahaan,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!