Merauke, Jubi – Lembaga Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS) meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi kegiatan investasi perkebunan di wilayah Kabupaten Merauke dan sekitarnya di Provinsi Papua Selatan. Sebab, terjadi sejumlah persoalan sosial masyarakat serta lingkungan yang diakibatkan kegiatan investasi.
Anggota MRPS dari Pokja Perempuan Katarina Mariana Yaas, kepada Jubi pada Senin (10/6/2024), mengatakan bahwa pengalaman dari proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada masa lalu meninggalkan ‘mimpi buruk’ bagi masyarakat asli Papua di Kabupaten Merauke dan kabupaten sekitarnya. Ironisnya, pemerintah kembali berkebijakan membuka perkebunan tebu, pabrik gula, industri bioetanol dan infrastruktur penunjangnya di lahan seluas dua juta hektare di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Berbagai kalangan, termasuk MRPS khawatir masalah yang akan datang, yang disebabkan oleh proyek perkebunan tebu akan serupa dengan persoalan MIFEE di masa lalu. Karenanya dia menyarankan investasi tebu tidak dilakukan terburu-buru, sebab ‘luka’ yang ditinggalkan MIFEE belum selesai atau sembuh.
“Kita tidak menyarankan investasi datang terburu-buru, karena luka yang ditinggalkan oleh MIFEE itu belum selesai. Saat Wapres Ma’ruf Amin mengunjungi Merauke kemarin, saya sampaikan kepada wapres bahwa [pemerintah perlu melakukan] evaluasi izin sawit dan semua investasi perkebunan yang akan datang ataupun yang sudah berada di Papua Selatan. Itu wajib [dilakukan], untuk menaati dan menghormati norma hukum adat setempat,” katanya.
Katarina Mariana Yaas mengatakan bahwa pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten perlu duduk bersama MRPS dalam rangka melakukan evaluasi terhadap kegiatan investasi perkebunan dan usaha kehutanan di Papua Selatan. Jika izin investasi diberikan tanpa didahului evaluasi, menurut dia hal itu sama saja membunuh masyarakat pemilik hak ulayat secara terstruktur, masif, dan sistematis.
“MRPS adalah representasi kultur antara negara langsung kepada masyarakat adat. Ketika persoalan adat menyangkut tanah dan manusianya, maka segala sesuatu izin yang menyangkut tanah manusia Papua yang berada di wilayah adat Anim Ha harus dilaporkan dan teregistrasi di MRPS,” ujarnya.
Oleh karena itu pemerintah tidak boleh jalan sesuka hati, dengan memberikan perizinan perkebunan tanpa melaporkan dan teregistrasi di MRPS. “Harapan kita setiap investasi yang masuk harus melakukan kewajiban perusahaan sesuai dengan ketentuan undang-undang yaitu 20 persen kebun plasma wajib dibangun,” katanya.
Menurutnya evaluasi terhadap kegiatan investasi perkebunan dan usaha kehutanan sangat penting dilakukan. MRPS melihat persoalan MIFEE di masa lalu dikarenakan perusahaan lalai akan kewajibannya, antara lain tidak membangun kebun plasma untuk masyarakat pemilik hak ulayat, tidak memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja, perusakan hutan sakral dan sebagainya.
“Harapan investasi masuk ini kan minimal dampak [untuk] sejahtera. Sampai hari ini investasi masuk di atas tanah adat, tapi kenyataannya masyarakat adat menjadi miskin, kelaparan, dan mati di tanah sendiri. Seperti yang hari ini terjadi antara masyarakat pemilik ulayat dengan perusahaan sawit di Dusun Maam, Kampung Nakias, Distrik Ngguti, Merauke. Masyarakat di sana protes dan melakukan pemalangan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa hutan ibarat ‘mama’ bagi Orang Asli Papua (OAP), sebab alam dan hutan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat yang notabene kesehariannya masih meramu, berburu, dan mengumpulkan hasil alam.
Sebab itu menurutnya, menyelamatkan hutan sama saja dengan menyelamatkan manusia Papua.
“Masyarakat adat hidup dan berkembang di atas hutan, hidup sehari-hari di dalam hutan adat. Kita menyelamatkan hutan sama saja menyelamatkan manusia. Kenapa kita bicara untuk masyarakat adat hari ini, hutannya diperuntukkan [bagi] apa [siapa], dan dampaknya seperti apa? Itu karena kami lahir, tumbuh sampai mati pun di atas tanah itu. Hutan itu ibarat mama bagi Orang Asli Papua. Hutan adalah ibu bagi kami,” ujarnya.
!['Luka' MIFEE belum sembuh 5 signal 2024 06 10 171857 002](https://jubi.id/wp-content/uploads/2024/06/signal-2024-06-10-171857_002-400x225.jpeg)
Sawit sumber masalah
Ketua MRPS Damianus Katayu menyatakan bahwa investasi perkebunan sawit di Tanah Papua Selatan menjadi sumber masalah. Berbeda di Kalimantan, orang (masyarakat pemilik ulayat) bisa sukses dari usaha perkebunan tersebut. Sehingga menurut dia, ada penanganan yang salah saat masuknya investasi perkebunan di sana.
“Kita tidak menolak investasi, tapi investasi itu harus pro rakyat. Masyarakat adat harus benar-benar dilibatkan sebagai pemilik modal. Investor punya uang, masyarakat adat punya tanah. Kalau sebatas kompensasi, terus terang mereka akan tersisih. Kalau mereka bagian dari pemegang saham, pasti mereka akan selalu ada dalam perusahaan itu. Ini menjadi penting. Selama ini kalau kita cermati hanya sebatas kompensasi,” katanya.
Perlu diingatkan pula bahwa kenapa di Kalimantan itu orang bisa sukses dari sawit, tetapi di Papua sawit menjadi sumber masalah. Berarti ada penanganan yang salah di sana. “Salah satu misalnya, 20 persen kebun plasma itu harus diberikan kepada pemilik lahan. Ini yang kita lihat belum ada langkah-langkah nyata dari investor perkebunan,” katanya.
Damianus Katayu mengatakan persoalan yang muncul dari kegiatan investasi itu dikarenakan masyarakat pemilik hak ulayat tidak dilibatkan secara baik. Penguatan kelembagaan adat sangat penting untuk dilakukan, supaya ke depan eksistensi lembaga adat lebih memproteksi serta memperkuat identitas masyarakat adat.
“Contoh kasus yang kami ikuti di pemberitaan, masyarakat adat Awyu menggugat perusahaan di sana. Yang kami lihat itu karena masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam proses investasi. Kalaupun ada, itu atas nama orang perorang. Tapi secara kelembagaan masyarakat tidak dilibatkan. Sehingga menjadi catatan bahwa penguatan kelembagaan adat ini penting, supaya kelembagaan adat hadir ini bukan untuk menghambat, tapi sebetulnya ini bagian juga dari memperkuat identitas masyarakat,” ujarnya.
Terkait kebijakan perkebunan tebu di Merauke, Damianus Katayu menambahkan MRPS bakal mengundang pemerintah kabupaten dan provinsi, untuk melakukan pertemuan terkait kegiatan investasi itu. MRPS ingin mengetahui sejauh mana peran masyarakat adat dalam rencana investasi tersebut.
“Kita mau tanya kira-kira peran masyarakat ada di mana? Ini penting, artinya kita tidak menolak investasi, tapi posisi masyarakat ke depan seperti apa? Masyarakat harus menjadi subjek dari proses yang ada. Jika tidak, ke depannya pasti akan banyak persoalan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Pelaksana Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante mengatakan bahwa kegiatan perkebunan sawit, tebu, dan Hutan Tanam Industri (HTI) hanya berdampak negatif terhadap masyarakat pemilik ulayat dan ekosistem.
Ia sepakat dengan rekomendasi yang diberikan oleh MRPS, agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap kegiatan investasi perkebunan serta usaha kehutanan di Papua Selatan. Sebab, dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan investasi yang terdahulu di sana menimbulkan persoalan sosial ekologis.
“Rekomendasi kami terkait dengan kerusakan hutan yang kemudian mengakibatkan banjir maupun persoalan yang terkait dengan bencana ekologis lainnya, kami minta supaya pemerintah bisa meninjau kembali izin-izin serta memeriksa seluruh tanggung jawab perusahaan apakah sudah sesuai dengan hak dan kewajiban baik dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup yang ada,” katanya.
Franky Samperante mengatakan dalam mekanisme Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pemerintah perlu melakukan pemantauan terhadap perubahan-perubahan lingkungan hidup, pun melakukan evaluasi terhadap perkembangan lingkungan hidup yang dikelola.
“Selanjutnya bila terdapat permasalahan, sebaiknya pemerintah secara tegas untuk menghentikan rencana ekspansi perusahaan. Kami mendengar ada beberapa perusahaan di Merauke itu merencanakan untuk melakukan ekspansi perluasan usaha perkebunan kelapa sawit maupun hutan tanaman industri,” ujarnya.
“Nah, selain menghentikan rencana itu, juga harus memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang lalai atau [yang] mengabaikan prinsip-prinsip upaya usaha, baik di bidang perkebunan maupun hutan tanaman yang dilakukan secara tidak berkelanjutan,” katanya. (*)
Discussion about this post