Merauke, Jubi – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meninjau pilot project perkebunan tebu yang dikelola PT Global Papua Abadi (GPA) di Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan pada Jumat (17/5/2024).
Bahlil selaku Ketua Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan datang ke Ngguti Bob atau Sermayam untuk mengecek kesiapan investasi perkebunan tebu dalam rangka memuluskan Proyek Strategis Nasional (PSN) Swasembada Gula pada 2027 dan Bioetanol.
Menteri Bahlil kepada wartawan di Sermayam, Merauke, menyatakan bahwa pemerintah membuat kebijakan yang fokus menjadikan Kabupaten Merauke, Papua Selatan sebagai lumbung pangan khususnya menyangkut produksi gula dan etanol.
Untuk mencapai swasembada gula dan bioetanol dari Kabupaten Merauke, maka proyek seluas dua juta hektar perkebunan tebu di sana bakal dilakukan sepenuhnya dengan sistem mekanisasi dan teknologi.
“Untuk membangun ini (PSN swasembada gula dan etanol), kita tidak bisa memakai sistem manual. Kita sudah harus sistem mekanisasi dan teknologi. Dan tadi saat dengan helikopter, saya lihat memang kontur tanah Merauke cocok dengan mekanisasi,” kata Bahlil.
![Berkunjung ke Merauke, Bahlil ingatkan investor tebu soal hak masyarakat adat 5 Bahlil](https://jubi.id/wp-content/uploads/2024/05/Bahlil.jpeg)
“Memang sebagian ada rawa-rawa, ada lahan kering. Sehingga tadi saya minta kepada kehutanan agar areal perairan tidak boleh dipakai untuk kebun tebu, tapi biarkan dia menjadi bagian untuk menampung air. Kalau tidak akan berbahaya, jadi biarkan areal itu menjadi daerah tangkapan air,” sambungnya.
Bahlil mengakui proyek-proyek raksasa, di antaranya Merauke Integrated Food And Energy Estate (Mifee) dan Mire (Merauke Integrated Rices Estate) di Kabupaten Merauke gagal dilaksanakan. Karenanya pemerintah tidak ingin PSN Swasembada Gula dan Etanol di Merauke juga menjadi gagal.
“Program di Merauke sudah beberapa kali gagal. Ada Mifee, Miree dan sebagainya. Kita tidak mau ini (perkebunan tebu) mengalami nasib sama. Hasil diskusi sama teman-teman, ternyata bibit menjadi satu faktor persoalan. Bukan hanya persoalan lahan dan berapa besar areal yang dibuka, tetapi bibit yang cocok untuk ditanam di sini itu bibit apa? Jadi perlu penelitian bibit yang cocok,” ujarnya.
Menurut dia, proyek strategis nasional perkebunan tebu di Kabupaten Merauke yang dicanangkan pemerintah pusat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah mewajibkan investor menerapkan pola inti plasma dalam pelaksanaannya.
“Perkebunan yang kita buat ini melibatkan rakyat semua, jadi ada pola inti plasma. Dan hak-hak rakyat tidak boleh diabaikan, saya sudah wanti-wanti terus hal itu. Sebagai ketua satgas, saya ultimatum kepada perusahaan – pengusaha, semua harus tertib dan menghargai hak-hak masyarakat adat,” kata Bahlil.
“Setelah hak-hak adat dihargai, mereka juga tidak boleh terpinggirkan. Begitu investasi berjalan, maka konsepnya adalah plasma inti. Jadi investasinya tumbuh, daerahnya maju, tapi rakyat yang di sekitar yang punya hak ulayat juga tumbuh, supaya sama-sama tumbuh,” sambungnya.
Dia menegaskan, ada tiga hal yang diwajibkan kepada perusahaan. Pertama; hak-hak masyarakat tidak boleh diabaikan. Kedua; menerapkan pola inti plasma, dan ketiga; melibatkan pengusaha lokal serta menyerap tenaga kerja lokal.
“Terkait kompensasi perusahaan kepada pemilik hak ulayat, hak-hak adat itu harus diselesaikan. Sebelum HGU-nya diserahkan maka harus ada pelepasan adat, pelepasan adat itu termasuk di dalamnya adalah hak-hak masyarakat adat,” kata dia.
![Berkunjung ke Merauke, Bahlil ingatkan investor tebu soal hak masyarakat adat 6 IMG 20240517 110631 scaled](https://jubi.id/wp-content/uploads/2024/05/IMG_20240517_110631-scaled.jpg)
Ditanya sejauh mana kajian sosial ekologis perkebunan tebu di Merauke?, Apakah telah dilakukan dan seperti apa hasilnya? Bahlil menyatakan bahwa sebenarnya tanpa dikaji pun, perkebunan tebu dapat berjalan. Sebab pada tahun 1920 silam, tanaman tebu pernah dibudidayakan di Merauke. Namun demikian, menurut dia, kajian sosial ekologis perkebunan tebu di sana harus tetap dilakukan.
“Tanpa kita kaji pun, kan 1920 barang ini (budidaya tebu) di sini sudah ada. Kita ini terlalu banyak kajian juga, tapi yang jelas kajiannya tetap jalan. Kajian penting, tapi secara kontur tanah, saya dijelaskan oleh tim perusahaan bahwa tanah di sini sangat cocok untuk tebu, hampir sama dengan Australia. Hanya kita butuh sistem drainase yang bagus, dan juga bibit yang cocok di Merauke,” katanya.
Menyoal dampak negatif alih fungsi hutan untuk perkebunan tebu? Bahlil menyatakan bahwa secara umum di Kabupaten Merauke didominasi oleh pohon kayu putih atau ekualiptus, rawa-rawa dan savana. Sedangkan pohon-pohon pelindung utama seperti Merbau dan pohon alami tidak ada.
“Mana ada hutan di tengah-tengah Merauke ini. Yang ada semua itu kayu putih, rawa-rawa, terus savana. Mana ada yang kita mau gusur. Justru dengan kehadiran tebu ini bikin drainase supaya bagus lingkungannya, terkecuali di situ masih ada kayu merbau, kayu-kayu alami, tumbuhan-tumbuhan besar, ini kan tidak ada. Jadi saya pikir tidak ada masalah,”
“Dan dalam rangka Amdalnya, wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan satwa, tumbuh-tumbuhan dan areal air itu tidak dijadikan sebagai bagian yang harus dipakai untuk kebun,” tutupnya.
![Berkunjung ke Merauke, Bahlil ingatkan investor tebu soal hak masyarakat adat 7 pemilik ulayat merauke](https://jubi.id/wp-content/uploads/2024/05/pemilik-ulayat-merauke.jpeg)
Pemilik Ulayat: Belum Ada Kesepakatan
Salah satu pemilik Ulayat dari Kampung Bath, Sergius Kaize menyatakan bahwa belum ada pertemuan antara perusahaan dan pihak pemilik hak ulayat untuk menyepakati nilai kontrak lahan yang akan dipakai perusahaan sekaligus membuat perjanjian tertulis.
Sergius Kaize mengatakan pertemuan antara perusahaan dan pemilik ulayat terjadi beberapa tahun silam, sekitar 2012 lalu. Saat itu perusahaan memberikan tali asih Rp2 miliar lebih kepada tujuh marga pemilik hak ulayat. Hal terkait kontrak lahan dan tanggung jawab perusahaan kepada pemilik ulayat masih sebatas pembicaraan lisan, belum secara tertulis.
“Saat itu perusahaan minta jangka waktu kontrak 35 tahun, tapi akhir-akhir ini kami pemilik ulayat maunya hanya 25 tahun. Tapi kami belum duduk lagi untuk membicarakan itu. Kami memang diberikan uang Rp2 miliar lebih pada 2012, tapi itu tali asih, bukan uang kontrak lahan. Untuk kontrak per meter atau hektarnya juga belum ada pembicaraan,” kata dia.
Terkait kontrak atau perjanjian, kata Sergius Kaize, pihaknya minta agar perusahaan membuat perjanjian kerja sama dalam bentuk tugu. Dan tugu tersebut harus dibangun di kampung-kampung pemilik ulayat, termasuk di areal operasional perusahaan.
“Kami mau itu perjanjiannya tidak hanya tertulis di kertas, tapi dibuat dalam bentuk tugu yang mana ada perjanjian tertulis di situ. Kami minta tugunya dibangun di Kampung Bath, Wapeko, Senayu, Salor, Jagebob, Sermayam serta di lokasi perusahaan,” ujarnya.
Sementara Ketua Adat Wilayah Sosom, Kasimirus Wandri Kaize menyebut lahan tujuh marga itu seluas 180 ribu hektare. Namun yang dipakai perusahaan sekitar 150 ribu hektare, karena harus dipilah-pilah terkait tanah sakral dan rawa-rawa untuk tidak digunakan sebagai kebun tebu.
“Tujuh marga itu Kaize, Ndiken, Samkakai, Gebze, Mahuze, Balagaize dan Basik-Basik. Kami juga minta supaya kali-kali yang ada tidak dibuat menjadi drainase buatan, biarkan itu sesuai alamnya dan menjadi sumber kehidupan,” kata Kasimirus Kaize.
“Hari ini pas menteri datang, kami diundang ke sini untuk membicarakan berbagai hal (soal hak ulayat, perjanjian/kontrak), tapi saya heran kenapa tidak semua marga hadir. Yang hadir ini baru kami saja” tutupnya.
Untuk diketahui, sementara ini lahan tebu yang dikelola PT Global Papua Abadi seluas 506 hektare dengan nilai investasi Rp53.8 Triliun. Lokasi perkebunan berada di Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. (*)
Discussion about this post