Jayapura, Jubi – Presiden Eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP, Manase Tabuni mengatakan bangsa Papua tidak mempunyai masa depan untuk hidup bersama dengan Indonesia. Hal itu disampaikan Tabuni di Kota Jayapura, Papua, pada Senin (9/10/2023).
Tabuni mengatakan kondisi saat ini yang terjadi di Tanah Papua menunjukkan indikasi kuat bahwa masalah yang berlangsung di Papua mengarah pada proses genosida, ekosida dan etnosida secara perlahan namun pasti.
Tabuni mengatakan ULMWP mencatat selama Juni hingga September 2023 terjadi kekerasan TNI/Polisi kepada warga sipil Papua di Kabupaten Dogiyai, Fakfak, Yahukimo, Nduga dan Pegunungan Bintang menyebabkan 13 orang tewas, 7 orang mengalami luka-luka, 16 orang ditangkap, seorang dianiaya. Sedikitnya, 674 warga sipil telah mengungsi.
“Kami orang Papua tidak memiliki masa depan untuk hidup dengan Indonesia. Banyak orang Papua telah menjadi korban konflik selama lebih dari enam dekade,” ujarnya.
Tabuni mengatakan konflik bersenjata masih terus berlangsung di beberapa wilayah di Papua seperti di Mimika, Pegunungan Bintang, Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Tambrauw dan Maybrat. Tabuni mengatakan konflik ini diduga kuat sengaja di diciptakan di tempat-tempat yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah.
“[Kami] mengidentifikasikan bahwa konflik itu sengaja diciptakan beberapa kelompok baik pemerintah, sipil maupun militer untuk memindahkan penduduk yang ada di wilayah potensial [SDA] ke wilayah lain. Seperti pengalaman [masyarakat] di Tembagapura. Masyarakat yang ada di atas dipindahkan ke bawah supaya perusahan bebas beroperasi,” ujarnya.
Menurut Tabuni, Pemerintah Indonesia telah menempatkan 47.261 personil militer di Tanah Papua, dan sekitar 24 ribu personal diantaranya telah dimobilisasi ke titik konflik. Menurut Tabuni, dari berbagai konflik itu, diperkirakan 64 ribu warga sipil Papua telah mengungsi meninggalkan kampung halaman mereka.
“Konflik bersenjata yang terjadi di Tanah Papua sudah lama terjadi, bukan baru sekarang. Sampai saat ini konflik itu tidak menurun, tetapi semakin meningkat,” katanya.
Tabuni juga mengatakan seluas 23.830.632 hektar hutan telah dijadikan sebagai area konsesi untuk 445 perusahan yang bergerak di bidang penambangan mineral, minyak, gas, pengusahaan hutan, dan perkebunan yang beroperasi di Tanah Papua. Tabuni mengatakan sektor pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam itu menunjukkan penguasaan lahan oleh perusahan semakin mengancam ruang hidup Orang Asli Papua.
“SDA kami dirampok oleh Indonesia, dan tanah adat kami dirampas dengan dalih pembangunan sehingga orang Papua tidak memiliki ruang hidup,” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif ULMWP, Markus Haluk mengatakan pembangunan yang gencar dilakukan Pemerintah Indonesia tidak membawa dampak terhadap kesejahteraan hidup Orang Asli Papua. Menurut Haluk, pembangunan yang dilakukan Indonesia merupakan politik pencitraan.
“[Misalnya pembangunan] Jembatan Merah, Anda bisa lihat seratusan lebih kelompok penjual buah-buahan berjualan di pertigaan Koya. Dulu mereka sebagian jual di Kampung Bugis. Tetapi begitu jalan dan Jembatan Merah di buka, mereka semua pindah ke situ. Jadi jalan dan jembatan itu dibangun untuk siapa?” Haluk bertanya.
Haluk mengatakan ULMWP menyerukan agar Pemerintah Indonesia mengundang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melakukan kunjungan ke Papua. Haluk mengatakan hal itu merupakan janji Presiden Jokowi kepada Pelapor Khusus Dewan HAM PBB pada Februari 2018.
“Itu juga sejalan dengan tuntutan berbagai negara dan pemimpin dunia. Secara kontinyu sejak 2015 ada 16 negara anggota PIF, 79 negara anggota ACP di Naerobi Kenya pada Desember 2019 dan debat dalam Sidang Umum PBB pada delapan tahun terakhir, supaya pemerintah Indonesia memberikan akses kunjungan Dewan HAM PBB ke Tanah Papua,” ujarnya.
ULMWP juga mengutuk keras semua tindakan kejahatan kemanusian dan perampasan Sumber Daya Alam yang dilakukan Pemerintah Indonesia kepada bangsa Papua selama kurung waktu 60 tahun pendudukan Indonesia di Tanah Papua. ULMWP mengingatkan rakyat Papua untuk senantiasa menjaga tanah dan tidak diperjualbelikan kepada pihak luar. “Tanah merupakan aset berharga yang diberikan Tuhan dan diwariskan leluhur,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!