Waropen, Jubi – Untuk memperingati 48 tahun perpindahan (migrasi) masyarakat Himpunan Fam atau ‘Keret’ Wairo dan Bunggu, Tugu Perahu dibangun di Kampung Emauri, Distrik Masirei, Kabupaten Waropen, Provinsi Papua, pada Rabu (11/9/2024).
Pembangunan tugu ini merupakan simbol dari sejarah panjang migrasi yang berlangsung pada 6 Juli 1973 hingga 6 Juli 2024, dari perairan Kampung Wonti menuju tanah yang diberikan oleh ‘Keret’ Sauri-Sirami.
Tugu tersebut berbentuk segitiga, mencerminkan posisi tiga ‘Keret’: sudut timur menuju ‘Keret’ Sauri-Sirami, sudut barat menuju ‘Keret’ Wairo, dan sudut utara menuju ‘Keret’ Bunggu. Di puncak tugu, terdapat simbol perahu, kapak, dan parang. Ketiga alat tersebut merupakan simbol penting dalam migrasi masyarakat ‘Keret’ Wairo dan Bunggu, dengan perahu sebagai alat transportasi utama, serta kapak dan parang sebagai alat untuk membuka lahan hutan yang diberikan oleh ‘Keret’ Sauri-Sirami.
Masyarakat ‘Keret’ Wairo dan Bunggu, yang dulunya tinggal di perairan Kampung Wonti, telah menetap di tanah yang disediakan oleh ‘Keret’ Sauri-Sirami selama hampir 50 tahun. Mereka awalnya hidup di atas rumah-rumah terapung dan menggantungkan hidup sebagai nelayan. Pemberian tanah ini memberikan ruang yang lebih stabil dan luas, seluas 297,15 kilometer persegi, dengan batas di Kali Sauri-Sirami di timur dan Kali Sinonde di barat.
Kepala Kampung Emauri, Yan H. Saiwini, menjelaskan bahwa pembangunan Tugu Perahu adalah cara untuk mempertahankan kebersamaan dan eksistensi antar tiga ‘Keret’ yang telah berlangsung selama setengah abad. Tugu ini dibangun dari dana desa (ADD) yang dikumpulkan dari enam kampung: Emauri, Bunggu, Obutai, Sinonde, Sauri-Sirami, dan Kowogi, yang masing-masing menyumbangkan Rp10 juta untuk material pembangunan.
“Simbol ini kami harapkan dapat mempererat kesatuan, kebersamaan, dan persaudaraan di antara masyarakat tiga ‘Keret’ ini,” kata Saiwini dalam wawancara di Kota Serui pada Senin (16/9/2024).
Saiwini juga menekankan bahwa selama hampir lima dekade, masyarakat dari berbagai himpunan marga di bawah ‘Keret’ Wairo dan Bunggu hidup berdampingan tanpa perbedaan, semua saling menjaga persatuan.
Penduduk di sini mayoritas menganut agama Kristen Protestan. Di bawah ‘Keret’ Wairo, terdapat marga Woisiri, Windesi, Doirebo, Gamai, Raiwaki, Kaiwai, Windesi, dan Ragainaga. Sementara di bawah ‘Keret’ Bunggu terdapat marga Samori, Makabori, dan Ainaga. Untuk ‘Keret’ Sauri-Sirami, marga yang tergabung adalah Tonater, Kayakobe, dan Rewomi.
Mantan Sekretaris Dewan Adat Suku Kai Timur, Adrian Makabori, menjelaskan bahwa keputusan untuk berpindah dari Kampung Wonti ke daratan diambil oleh para leluhur untuk masa depan yang lebih baik. Hidup di rumah-rumah terapung di perairan dianggap terlalu sulit dan penuh risiko. Kepindahan ke daratan dianggap sebagai solusi untuk mempermudah akses terhadap pembangunan.
Menurut Makabori, di Kampung Wonti juga terdapat beberapa ‘Keret’ lain yang memutuskan bermigrasi, seperti ‘Keret’ Fafai, Kai, dan Wanda. Setiap kelompok ‘Keret’ ini menetap di wilayah yang berbeda: ‘Keret’ Fafai di Distrik Demba, sementara ‘Keret’ Kai dan Wanda menempati wilayah Distrik Wonti.
“Keret Fafai memiliki sembilan marga, seperti Sikowai, Rudamaga, Donggori, Bubui, Erari, dan lainnya, sementara Keret Kai memiliki empat marga, termasuk Maniagasi dan Imbiri. ‘Keret’ Wanda terdiri dari 10 marga, termasuk Ruwayari, Nussy, dan Sanggenafa,” ujar Makabori.
Makabori menambahkan bahwa Tugu Perahu yang dibangun di Kampung Emauri merupakan simbol khusus pendaratan masyarakat Wairo dan Bunggu di wilayah Distrik Masirei. Sementara itu, ‘Keret’ Fafai, Kai, dan Wanda, meskipun juga bagian dari sejarah migrasi dari Kampung Wonti, menetap di wilayah lain sesuai dengan pembagian distrik yang ada saat ini.
Tugu Perahu ini tidak hanya menjadi pengingat sejarah panjang migrasi, namun juga menjadi lambang dari kebersamaan dan eksistensi masyarakat ‘Keret’ di tanah yang kini mereka sebut sebagai rumah. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!