Jayapura, Jubi – Sepatu PDL, boots, sendal jepit menapak di atas sebuah baliho bergambar peta Papua beralas tikar, bersama dengan noken, Alkitab dan salib-salib berwarna merah. Instalasi yang menggambarkan keadaan di seluruh Tanah Papua itu ditampilkan dalam sebuah pameran memperingati Hari HAM sedunia di halaman Aula STFT Fajar Timur Abepura, Jl Yakonde, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (7/12/2024).
Instalasi peta Papua “bersepatu PDL dan boots” itu menjadi daya tarik bagi para pengunjung pameran visual perjuangan melawan Program Strategis Nasional (PSN) dan militerisme di Tanah Papua.
Penanggung jawab karya instalasi seni ini adalah Dorthea Wabiser, peneliti dan pengadvokasi di Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Wabiser menyampaikan ide instalasi tersebut merupakan hasil dari diskusi bersama, dan wujudnya sebagai simbol keadaan Tanah Papua saat ini yang sedang tidak baik-baik saja.

“Instalasi ini menggambarkan ada empat aktor yang menguasai atau mengontrol Tanah Papua, keempat aktor itu kami gambarkan dengan benda yang kami letakan di atas peta ini, seperti sepatu berwana hitam ini militer, sepatu bot ini korporasi, lalu sendal jepit ini menggambarkan transmigrasi yang datang tinggal dan menduduki [menetap] Tanah Papua, ada satu yang kurang adalah sepatu-sepatu politikus,” kata Wabiser.
Untuk sendal jepit diatur sedemikian rupa: ada yang jauh, ada yang mendekat dan ada yang menyentuh peta Papua. Hal ini menurut Dorthea Wabiser sebagai simbol periode pelaksanaan kebijakan transmigrasi ke Papua. Ada transmigran baru di tahun ini, dan ada transmigran yang sudah datang dan menetap begitu lama di Tanah Papua.
“Instalasi seni ini juga menjelaskan ada empat hal yang telah direbut dari orang Papua. Yang pertama wilayah hidup orang Papua, kedua yang diambil sumber daya alam, lalu ruang hidup masyarakat adat [pekerjaan sehari-hari], dan terakhir kesadaran diri atau identitas diri orang Papua. Ketika transmigrasi ini mereka datang ke Tanah Papua, dong menghapus identitas orang Papua lalu memberikan identitas yang baru,” tutur Wabiser.
Ilustrasi dua noken melambangkan masyarakat adat di Tanah Papua dengan jumlah populasi yang semakin sedikit serta ruang gerak yang semakin menyempit.
“Salib merah adalah bentuk dari perlawanan masyarakat adat di Tanah Papua, dimana salib ini sebagai tanda larangan bagi perusahaan yang ingin merebut tanah adat, simbol untuk mengambil kembali atau melindungi tanah-tanah adat, seperti Suku Awyu [di Kabupaten Boven Digoel dan Mappi] sendiri sudah menanam lebih dair 1.400 salib,” katanya.
Meskipun salib merah sebagai tanda larangan ini sudah ditancap di lokasi larangan, tapi masih saja ada perusahaan yang tetap masuk untuk survey lokasi, lanjut Wabiser.
Kuwana Marian (20) mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Internasional Papua, mengakui baru pertama kalinya ikut kegiatan pameran seperti ini. “Banyak sekali yang saya dapat disini, contohnya lahan sawit itu saya pikir itu programnya baru dimulai tahun 2023, padahal programnya itu sudah lama sekali dilakukan di Papua,” ujarnya.
Marian juga mengaku baru tahu bahwa banyak terjadi pengungsian di Tanah Papua. “Saya juga baru tahu ternyata pengungsian tidak hanya di Nduga saja, tapi juga di daerah lain, seperti di Maybrat, dan Paniai,” katanya.
Dari mengamati pameran instalasi itu, Kuwana Marian mengaku menjadi tergerak untuk ikut melindungi Tanah Papua. “Jaga kitong punya Mama [Tanah Papua], Mama bisa kasih apa yang kitong mau, kehidupan yang nyaman dan damai sejahtera,” kata Marian.
Pameran yang akan berlangsung hingga tanggal 10 Desember itu adalah bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Hari HAM tahun 2024 dari tanggal 4-10 Desember. Kegiatan telah diawali oleh Refleksi Bersama pada 4-5 Desember, kemudian dilanjutkan dengan pameran, dan diikuti oleh seminar publik pada 9 Desember yang akan ditutup oleh Jalan Salib Merah pada 10 Desember di Lapangan Zakheus, Padang Bulan, Abepura Kota Jayapura. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!