Manokwari, Jubi – Sejumlah mahasiswa dan organisasi yang tergabung dalam Cipayung menggelar aksi menolak RUU TNI dan revisi UU Polri, serta mendesak pemerintah untuk mencabut Program Strategis Nasional atau PSN di Tanah Papua, Kamis (10/4/2025).
Aksi tersebut menyebabkan akses jalan di kawasan Jalan Gunung Salju, Fanindi, tidak dapat dilalui kendaraan umum. Sejumlah kios dan usaha warga di kawasan itu pun ditutup selama beberapa jam selama aksi berlangsung.
Awalnya, massa berkumpul di kawasan Amban. Namun, karena adanya upaya pembubaran oleh aparat, mereka bergeser ke kawasan Fanindi, Jalan Gunung Salju, dengan berbagai cara. Di lokasi ini, massa dihadang oleh personel kepolisian dan kendaraan taktis milik Polri.

Dua orang pendemo yang ditahan awalnya menggunakan sepeda motor dan menabrak barikade polisi. Mereka sempat diamankan, namun kemudian dikembalikan kepada massa setelah dilakukan negosiasi. Polisi juga melepaskan sekitar tiga kali tembakan gas air mata di kawasan Amban.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Universitas Papua, Yenuson Rumaikey, menyatakan bahwa RUU TNI dibahas oleh DPR dan pemerintah pusat, namun berlaku di Papua tanpa melibatkan DPR Papua.
“Saya melihat bahwa rancangan UU TNI dibahas oleh DPR dan pemerintah di pusat, namun DPR kita di Papua tidak dilibatkan. Tapi aturan itu berlaku juga di Papua. Ini bagaimana?” ujar Yenuson.
Seorang mahasiswa lain mengatakan bahwa titik kumpul awal massa berada di Amban dengan tujuan ke Kantor Sekretariat DPR Papua Barat. Namun, massa dihadang oleh aparat kepolisian dan negosiasi yang dilakukan tidak menghasilkan kesepakatan.
“Tadi di Amban sempat ditembakkan gas air mata untuk membubarkan massa,” ujar salah satu mahasiswa peserta aksi.
Mezak Selau, peserta aksi dari kalangan Cipayung, menegaskan dalam orasinya bahwa RUU Polri saat ini sedang dibahas.
“Kata Prabowo, UU TNI intinya hanya memperpanjang masa jabatan TNI. Omong kosong!” kata Mezak sambil memberikan ilustrasi bahwa saat ia mengunjungi Kementerian Pemberdayaan Perempuan, ia menemukan Wakapolsek Sanggeng bekerja di sana.
Menurut Mezak, pembangunan di Tanah Papua hanya bisa dilakukan oleh orang Papua sendiri.
Massa terus bersikeras bertahan di kawasan bundaran Fanindi untuk menuntut pembebasan dua pendemo yang ditahan sejak awal aksi.
Kapolresta Manokwari, Kombes Pol Ongky Isgunawan, membacakan surat pernyataan dari dua orang pendemo yang sempat ditahan. Surat tersebut menyatakan bahwa keduanya memahami proses hukum yang berlaku terkait peristiwa penganiayaan pada Kamis (10/4), pukul 10.00 WIT, di Jalan Gunung Salju, Amban.
“Mereka menyatakan tidak akan mengulangi perbuatannya dan siap diproses secara hukum,” kata Ongky.
Tampak wajah kedua mahasiswa mengalami memar dan bengkak saat dikembalikan ke massa.
“Kami dihajar di dalam ruangan Reskrim,” ungkap salah satu pendemo yang sempat ditahan.
Dalam aksi ini, turut hadir Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, Judson Ferdinandus Waprak; Wakil Ketua DPR Papua Barat, Petrus Makcbon; serta dua anggota DPR Papua Barat lainnya. Para wakil adat dan wakil rakyat ini sempat dibuat berdiri di tengah terik matahari selama beberapa jam oleh massa di dalam lingkaran yang dibuat menggunakan tali rafia.
“Terima kasih anak-anak sudah membuat kami berdiri di sini, membakar lemak,” ujar Petrus Makcbon sembari membuka ruang bagi mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi yang nantinya akan disampaikan ke pemerintah pusat.
Sementara itu, Ketua MRP Papua Barat, Judson Ferdinandus Waprak, mengatakan bahwa sebagai lembaga kultur masyarakat adat Papua, pihaknya siap menyediakan waktu tiga minggu ke depan untuk duduk bersama mahasiswa guna membahas tuntutan mereka.
Waprak juga menantang agar dalam pertemuan nanti, massa aksi melibatkan seluruh badan eksekutif mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Manokwari.
Massa kemudian membubarkan diri setelah dua anggotanya dikembalikan oleh kepolisian. Kondisi lalu lintas di kawasan Fanindi pun kembali normal. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!