Jayapura, Jubi – Suku Marind Anim merupakan salah satu masyarakat adat terbesar di Tanah Papua dengan hubungan kekerabatan mereka melintasi perbatasan negara Indonesia dan Papua Nugini, bahkan menyeberangi laut di Kepulauan Selat Torres, Australia. Namun jati diri dan tradisi mereka luluh lantak karena perubahan. Kini mereka berhadapan dengan ancaman perampasan tanah adat Marind atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN).
Suku Malind Anim adalah suku besar masyarakat adat yang berdiam di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Mereka mendiami daerah aliran Sungai Buraka, Bian, Eli, Kumbe dan Muting . Secara administrasi, daerah itu masuk dalam wilayah Distrik Okaba, Merauke, Kimaam, Muting, dan Naukenjerai, Kabupaten Merauke.
Sejak dulu, masyarakat adat Marind Anim sangat ditakuti karena dikenal sebagai orang paling berani dan paling kuat. Dengan postur tubuh yang tinggi dan badan yang besar, pengayauan terjauh mereka hingga di luar Tanah Nugini. Namun, saat ini masyarakat adat Marind Anim menghadapi beragam tekanan perubahan, hingga mengubah karakter orang Malind Anim yang kini tertutup.
Antropolog Dr Agr Laksmi Adriani Savitri MSi menyebut tidak mudah bagi setiap adat Marind Anim untuk menemukan kembali identitas dan jati diri mereka sebagai manusia sejati di pesisir selatan Tanah Papua.
“Saya kira tidak bisa serta merta membayangkan orang Marind Anim terkenal paling ganas, paling berani, dan paling kuat, sebagai manusia sejati dengan tradisi pengayauan paling ditakuti dari Kondo sampai Digoel, lalu kita melompat secara historis dan tanyakan ke mana semua barang [keberanian masa lalu] itu. Saya kira itu pertanyaan yang sangat tidak adil,” Laksmi di sela penutupan Konsolidasi Nasional Solidaritas Merauke di Gedung Utama Petrus Vertenen, Kabupaten Merauke, Jumat (14/3/2025).
Diterjang perubahan
Laksmi menjelaskan bahwa Suku Marind Anim adalah salah satu kelompok pertama masyarakat adat di Tanah Papua yang identitas dan tradisi budayanya dihabisi tentara kolonial Belanda. Mantan dosen Universitas Gadjah Mada itu menjelaskan banyak alat adat yang menjadi simbol identitas orang Marind Anim dimusnahkan, sesuatu yang sangat melukai jati diri orang Malind Anim dengan sejarah mereka sebagai manusia sejati terkuat, paling berani, dan pemenang.
“Kalau saya bilang dihabisi, karena semua alat adat, semua kebanggaan mereka, dibakar habis. Sejak saat itu orang Marind Anim mengalami perubahan, dan [dipaksa] beradaptasi dengan beragam macam orang. Orang Marind Amin dianggap tidak beradab, primitif, sebuah kesalahan pandang mentalitas kolonial. [Berbagai bentuk kekerasan itu] menyebabkan mereka menutup diri,” kata penulis buku Korporasi dan Politik Perampasan Tanah.
Penghancuran demi penghancuran jati diri orang Marind Anim yang datang seperti gelombang yang susul menyusul, dengan beragam bentuk tekanan dan perubahan. Rasa apatis orang Malind Anim timbul perubahan besar terjadi setelah sejumlah babak kedatangan orang luar ke tanah mereka. Jika diakumulasi, ada ratusan ribu orang luar datang berbondong-bondong ke tanah adat Marind Anim, membawa berbagai macam perubahan.
Setiap kali orang luar dan perubahan besar yang mereka bawa datang, anak adat Marind Anim bertanya-tanya, ‘apakah perubahan besar yang datang kali ini kawan atau lawan?’ “Beda dengan dulu [pada masa kebesaran orang Marind Anim], mereka tahu yang datang itu lawan dan kawan. Kini, [pasca-penghancuran tradisi dan jati diri orang Marind Anim oleh tentara kolonial Belanda] mereka tak tahu yang datang kawan atau lawan. Disebut kawan bukan, disebut lawan juga bukan,” kata Laksmi.
Di tengah kedatangan ratusan ribu orang luar itu, hubungan kekerabatan orang Marind yang melintasi batas negara Indonesia dan Papua Nugini justru terputus sejak 1984. Orang Marind di Merauke yang melintasi batas negara itu sering dilabeli sebagai kaum separatis Organisasi Papua Merdeka. “Sejak itu didirikan pos militer, ada sekitar 90 pos militer di sepanjang perbatasan itu ,”kata Laksmi menuturkan sejarah putusnya tali kekerabatan antara orang Marind Anim di Merauke dan orang Marind di Provinsi Daru, Papua Nugini.

Peliknya itu bukan tekanan terakhir terhadap masyarakat adat Marind Anim. Kini, tekanan terbarunya berbentuk Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan mengambil lebih dari 2 juta hektare tanah adat Marind Anim atas nama “ketahanan pangan”. Upaya pemerintah membangun lumbung pangan di Merauke bukan hal baru, karena sudah dijajal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate atau (MIFEE) dan gagal.
Presiden Joko Widodo membuat “proyek lumbung pangan” baru di Merauke sebagai PSN. Presiden Prabowo Subianto melanjutkannya, dan kali ini “proyek lumbung pangan” itu melibatkan prajurit TNI. Lagi-lagi, anak adat Marind Anim berhadap-hadapan dengan perubahan besar yang dibawa orang luar ke tanah adat mereka.
“Kondisi seperti itu, sampai hari ini mereka harus bangkit kembali dengan tradisi dan kepercayaan lokal, identitas, jati dirinya. Bagi sebagian besar orang Marind, inilah tempat yang paling nyaman dan begitulah untuk membangun kekuatan. Tapi mereka juga melihat [kenyamanan itu] sebagai masa lalu, dan mereka melihat ‘sekarang kita harus modern’. Terjadi konsumerisme yang menjadikan mereka menjadi sangat tergantung. Soal makanan [misalnya], [mereka kini] makan beras, mi instan. Di sini, perubahan [terjadi dengan] sangat cepat, apalagi sejak MIFEE. Ketika itu [upaya pengambilan] tanah [membuat] tanah adat lenyap dari kepemilikan secara kolektif,” Laksmi.
Erring acculturation
Penghancuran benda adat orang Marind—baik secara fisik dan spiritual—disebut Pastor Pius Cornelius Manu dalam Konsolidasi Nasional Solidaritas Merauke, dan ia menyebutkan penghancuran itu terjadi sejak masa kolonial Belanda. Mirisnya, penghancuran jati diri dan tradisi Suku Marind Anim seperti drama berbabak-babak yang tanpa akhir.
“Dengan datangnya manusia [dari luar Tanah Papua], seraya pertumbuhan mereka [para pendatang dari luar Papua] secara kuantitas lebih banyak. [Kondisi itu] membuat orang lokal [Marind] semakin minder. [Daya] perjuangan dan [daya] bersaing secara positif [orang Marind] menjadi rendah,” kata Pastor Pius Manu.
Inilah ironi tragisnya. “Orang Marind itu tadinya sulit sekali merasa minder, [namun kini menjadi minder]. Akibatnya mereka mengambil sikap untuk ‘malas tahu’ [atau bersikap masa bodoh]. Gaya itu akhirnya menjadi pilihan, ‘apa yang mau terjadi, terjadilah’. Sikap demikian yang dalam bahasa Marind disebut ‘matohale’,” kata Romo Pius yang tengah berjuang bersama masyarakat adat di Papua Selatan menghadapi PSN.
Sikap matohale itu muncul karena kehancuran jati diri dan identitas orang Marind tak sekadar kehanduran alat budaya, tradisi, atau lingkungannya. Dosen Filsafat dan Antropologi Sekolah Tinggi Filsafat atau STF Driyarkara, Budi Hernawan menyebut keluhan masyarakat adat Marind Anim terkait kerusakan alam alam ciptaan tidak pernah disampaikan secara terang, namun disampaikan dalam ungkapan “Dema”. “’Dema’ hanya bisa diucapkan situasi khusus, sebab ‘Dema’ berkaitan dengan tempat roh leluhur, tempat sakral dan mistis bagi orang Marind,” kata Budi.
Menurut Budi, dampak paling serius dari PSN adalah kekerasan terhadap kosmos orang Marind. Sayangnya, dampak itu belum banyak dipahami. Ungkapan “Dema” yang dipilih orang Malind Anim untuk menyampaikan keluh kesah mereka tidak dipahami orang luar adat Marind, apa lagi oleh para pengambil kebijakan PSN.
“’Déma’ adalah adaan yang hidup di zaman mistis. Biasanya mereka berwujud manusia, tetapi kadang kala muncul dalam wujud binatang. Dema adalah nenek moyang klan dan sub-klan yang diwujudkan dengan totem-totem mereka,” ujar Budi menyitir ‘Dema’ dalam tulisan antropolog Dr Jan van Ball yang juga mantan Gubernur Nederlands Nieuw Guinea.
Pada 1966, Dr Jan van Ball menerbitkan hasil penelitian etnografi Suku Marind Anim yang berjudul “Dema”. Buku setebal 1.035 halaman itu ditulis Jan van Baal bersama Pastor J Verschuren MSC, mengulas kehidupan anak adat Marind Anim.
Kehancuran jati diri masyarakat karena tekanan perubahan yang dibawa “orang luar” bukan hanya dialami Suku Marind Anim. Mantan jurnalis Kompas, Manuel Kaisiepo menilai kehancuran jati diri dan tradisi di alami berbagai suku masyarakat adat di Tanah Papua, sebagai dampak dari apa yang disebut Jan van Ball sebagai erring acculturation atau konsep akulturasi yang keliru.
Menurut Kaisiepo, van Ball menyampaikan konsep erring acculturation atau konsep akulturasi yang keliru dalam sebuah publikasi jurnal Royal Institute for the Tropus, Amsterdam pada 1980. Erring acculturation adalah ketidakmampuan untuk mencapai sasaran yang diinginkan selama terjadinya proses kontak atau perjumpaan dua atau lebih kebudayaan berbeda. Van Ball menyatakan akulturasi yang keliru terjadi apa bila proses kontak budaya itu kehilangan arah, berkembang ke sasaran yang salah, dan menuju konskuensi yang merugikan.
“Mengutip van Ball mengenai ‘erring acculturation’ mengingatkan [kita] bahwa hal serupa bisa terjadi dalam proses modernisasi, yaitu timbulnya ‘modernisasi yang keliru’ atau ‘erring modernization’. Apabila proses modernisasi itu kehilangan arah, dibimbing oleh sasaran sasaran yang salah, dan menuju ke konsekuensi konsekuensi yang merugikan…,” kata Kaisiepo.
Menurut van Baal Bahaya yang paling besar dalam erring acculturation adalah benturan modernisasi yang justru menyebabkan terjadinya proses “menyusutnya kebudayaan” atau cultural lost dalam suatu masyarakat tertentu. Proses itu bakal mengakibatkan banyak anggota masyarakatnya kehilangan makna dan pegangan hidup mereka, terutama di kalangan generasi mudanya.
“ Ini berarti proses modernisasi itu tidak saja dapat menimbulkan proses pemiskinan secara ekonomi, tetapi juga proses [pemiskinan] secara kultural dalam masyarakat tersebut,”kata Kaisiepo yang berpendapat bahwa erring acculturation maupun erring modernization dialami berbagai suku masyarakat adat di Tanah Papua.
Tak heran kalau seniman dan musisi Suku Marind Ian Ch Gebze dalam syair lagunya berjudul “Mendung” menulis “… kini semuanya tlah berubah, mendung pun kini tlah menjelma. Mendung pun kini tlah tlah datang hujan pun tertumpah. Adakah hari esok kau datang lagi ….”
Semoga kebangkitan kembali orang Marind Anim dan suku suku lainya Muyu, Mandobo, Yei, Yakhai dan sebagainya di Papua Selatan menyambut perubahan dengan bijaksana tanpa mengorbankan kehidupan yang perlu dirawat dari generasi ke generasi. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!