Jayapura, Jubi – Krisis pangan dan energi kerap dimanipulasi dan dijadikan dalih oleh penguasa untuk justru memuluskan perampasan tanah dan penghancuran ekologi demi kepentingan korporasi, seperti dalam proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate atau MIFFE maupun Proyek Strategis Nasional atau PSN tebu dan sawah yang ramai menuai protes belakangan ini.
Diskursus krisis pangan, energi dan lingkungan hidup itu dijadikan dasar penguasa bersama korporasi untuk mengembangkan proyek-proyek seperti Proyek Strategis Nasional atau PSN yang saat ini mendapatkan penolakan luar biasa di Kampung Wanam dan Wogikel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Hal ini dikemukakan Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka), Franky Samperante yang menjadi salah satu narasumber pada seminar nasional yang bertajuk ‘PSN Merauke: Dampaknya pada Masyarakat Adat dan Alam Papua’ yang digelar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Rawasari, Jakarta pada Senin (4/11/2024).
“Solusi yang ditawarkan dari proyek krisis ini malah lewat mekanisme pasar. Karena seluruhnya dicermati, kita lihat ini dilakukan dalam skala yang luas, yang tidak mungkin dilakukan oleh petani setempat atau masyarakat adat setempat. Komoditi yang ditawarkan juga bukan komoditi yang diproduksi oleh masyarakat setempat, seperti dalam kasus MIFFE maupun dalam kasus Food Estate PSN Merauke,” demikian paparan Samperante dalam seminar tersebut.

Menurut Samperante yang telah lama berjibaku mengadvokasi hak-hak masyarakat adat terhadap hutan di Papua, tanaman padi dan tebu yang dibawa oleh Food Estate PSN adalah tanaman asing bagi penduduk asli di Merauke terutama suku Marind, Kimahima, Yeinan Makleo. Sebagian kecil saja, mungkin kurang dari 10 persen, masyarakat yang terlibat dalam usaha padi.
Sebagian besar masyarakat adat utamanya di 13 distrik di Kabupaten Merauke bekerja sebagai peramu, berburu, mengelola dusun-dusun sebagai sumber pangan mereka, kata Franky Samperante.
“Tetapi PSN ini datang dengan proyek padi dan tanaman lainnya, juga tanaman tebu. [Padahal] Dalam kebijakan mantan Presiden Jokowi pengembangan tanaman tebu ini memang ditujukan untuk kepentingan bioethanol. Lalu sekarang Presiden Prabowo sudah membicarakan soal-soal swasembada pangan dan energi. Lagi-lagi menggunakan alasan yang sama, yaitu krisis pangan dan krisis energi sebagai dasar pengembangan proyek-proyek yang berbasiskan pasar skala luas dan melibatkan korporasi,” katanya.
Perkebunan korporat, permainan penguasa
Franky Samperante menuturkan berdasarkan identifikasi lembaganya, Yayasan Pusaka, ada 10 perusahaan di sektor perkebunan tebu yang sudah mengajukan izin dengan luas kawasan lebih dari 500 ribu hektare, yakni seperempat dari dari target proyek PSN Merauke seluas 2 juta hektar. Ditemukan bahwa beneficial ownership dari 10 perusahaan ini hanya ada di tangan dua orang saja.
“Pertama [kepemilikan oleh] pengusaha perkebunan minyak kelapa sawit yang bukan hanya di Indonesia tapi juga di Asia dan di dunia yaitu Wilmar [William dan Martua] Sitorus dan Martias Fangiono dan anaknya yang juga memiliki perusahaan-perusahaan ini dalam satu konsorsium yang namanya PT. Global Papua Abadi,” ujarnya.

Pusaka juga menemukan misalnya dalam proyek ini ada keterlibatan PT. Jhonlin Group yang dimiliki oleh Andi Syamsudin Arsyad atau Haji Isam yang menangani PSN di Merauke. Dari pengamatannya, kedekatan Haji Isam pada kekuasaan makin tampak sejak dari pelantikan Presiden Prabowo dimana beliau selalu berada dekat dengan Prabowo. Bahkan dalam jajaran anggota Kabinet Merah Putih, menurut Samperante ada beberapa menteri yang dekat dengan Haji Isam.
“Hanif, Menteri Lingkungan Hidup yang sebelumnya pernah menjabat Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan. Saat itu Haji Isam menjadi jaya di Kalimantan Selatan sana karena Hanif banyak memfasilitasi Haji Isam dengan memberikan proyek-proyek. Kemudian ada wakil kabinet sekarang di kehutanan itu ipar atau anak mantu dari Haji Isam. Ada sekitar empat orang yang dicurigai dekat dengan Haji Isam. Jadi Haji Isam juga terlibat dalam menentukan kabinet yang luar biasa besar ini,” ujarnya.
10 perusahaan yang mendapat izin di lokasi perkebunan tebu PSN ini terlibat atas dampaknya pada kehancuran hutan alam, masyarakat adat maupun lingkungan hidup, utamanya sumber-sumber pangan mereka yang masih sangat tergantung pada hutan, savana dan pada apa yang mereka sebut lapang-lapang sebagai sumber kehidupan mereka, kata Franky Samperante.
“Sementara negara tidak peduli, bahkan tidak pernah berkonsultasi atau meminta restu dari mereka masyarakat pemilik tanah. Karena itu tuntutan kami bersolidaritas untuk Merauke agar supaya Presiden menghentikan proyek PSN ini,” lanjutnya.
Kapal, helikopter hingga hutan yang digusur
Ketua Forum Masyarakat Adat Marind, Simon Petrus Balagaize mengatakan negara telah membagi Kabupaten Merauke dalam lima zona dari sejumlah distrik dan kampung untuk menjalankan proyek-proyek PSN perkebunan tebu dan cetak sawah.
Simon Balagaize menceritakan bahwa pada Juni-Juli 2024 sempat muncul kapal pesiar mewah, yang di atasnya terdapat helikopter, berlabuh di Kabupaten Merauke. Saat itulah pemberitaan banyak media mulai marak dan masyarakat membicarakan perihal hadirnya kapal yang dimiliki oleh Haji Isam itu.
“Kita masyarakat adat baru tahu Haji Isam yang hadir di Merauke dengan kapal pesiar. Dia diterima langsung oleh Pemerintah Kabupaten Merauke dan juga pemerintah Provinsi Papua Selatan. Lalu berselang satu minggu kemudian sudah ada komunikasi antara pemerintah kabupaten dan provinsi lalu perusahaan ini mulai melakukan konsolidasi dan langsung mulai menggusur,” katanya.
Balagaize menjelaskan banyak masyarakat bertanya-tanya ketika Babinsa hadir di kampung dan berbicara tentang perusahaan. Pada saat yang sama juga helikopter yang ditugaskan oleh perusahaan mulai mondar-mandir berkeliling di sekitar Kampung Wanam dan Wogikel distrik Ilwayab.
“Dan di sinilah menjadi keresahan yang dialami oleh masyarakat adat di Distrik Ilwayab. Masyarakat kaget di mana perusahaan itu sudah datang dan mulai beroperasi penggusurannya siang dan malam, karena itu respon masyarakat dari 13 listrik itu menolak kehadiran PSN,” kata Simon Balagaize.
Ancaman 10 PSN diseluruh Tanah Papua
Dalam diskusi seminar itu, Dosen Filsafat dan Antropologi Sekolah Tinggi Filsafat atau STF Driyarkara, Budi Hernawan, juga mengingatkan bahwa sebenarnya Proyek Strategis Nasional serupa Merauke tidak hanya satu di Tanah Papua, melainkan 10. Selain Merauke, ada 1 PSN masing-masing di Kabupaten Sorong, Kabupaten Nabire, dan Manokwari. Sementara empat PSN ada di Teluk Bintuni, dan dua PSN di Kabupaten Fakfak.
“Sekarang baru Merauke, yang terganggu adalah teman-teman di Papua Selatan. Orang Papua Utara masih tidur, orang di Papua Barat juga tenang-tenang saja. Karena cukup lama isu-isu Papua Selatan itu tidak masuk dalam ranah kesadaran orang utara. Baru-baru ini perjuangan masyarakat adat suku Awyu yang kasasinya ditolak MA. Hal seperti ini tidak menjadi isu orang Jayapura atau orang Manokwari, orang Wamena, dan ini hanya menjadi isu orang Papua Selatan. Ini juga catatan yang perlu kita pahami disini,” katanya.
Budi Hernawan mengatakan ada 10 perusahaan yang beroperasi di Papua Selatan yaitu PT. Global Papua Abadi, PT. Murni Nusantara Mandiri, PT. Andalan Manis Nusantara, PT. Semesta Gula Nusantara, PT. Berkat Tebu Sejahtera, PT. Agrindo Gula Nusantara, PT. Sejahtera Gula Nusantara, PT. Global Papua Makmur, PT. Duta Mas Resources International dan PT. Borneo Citra Persada. Pemiliknya kelihatan banyak, tapi sebenarnya tidak sampai 10 nama, dan kemudian mengerucut lagi menjadi dua nama: Wilmar Sitorus dan Martias Fangiono.
Menurut Hernawan sangat menarik karena dari seluruh hiruk pikuk protes terhadap PSN Merauke yang mengemuka hanya nama Haji Isam. Ia menyayangkan masyarakat tidak menyasar orang yang sebenarnya punya kuasa yang lebih tinggi yaitu Wilmar Sitorus dan Martias Fangiono. Sementara Haji Isam posisinya lebih rendah, apalagi posisi tentara yang tinggal mengawal. Sehingga menurutnya selama ini sasaran protes belum mengarah pada pemodal utama proyek-proyek PSN ini.
Perampasan tanah lewat regulasi dan alat kekerasan
Direktur Yayasan Pusaka menambahkan bahwa perampasan tanah yang terjadi dalam proyek-proyek tersebut dimungkinkan karena ada regulasi. “Kalau dilihat itu ada satu regulasi sejak undang-undang Cipta Kerja diubah, namanya Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 23 tahun 2021 yang mengatur soal Kawasan Hutan pada Pasal 58 ayat 2 dan Pasal 91 ayat 1 bagaimana negara membentuk kebijakan,” ujarnya.
Menurut Franky Samperante, demi mengakomodasi kepentingan bisnis korporasi, regulasi dibuat sedemikian rupa agar pengalihan dan penggunaan kawasan hutan itu dapat dilonggarkan untuk proyek seperti PSN atau proyek pengembangan pangan dan yang dianggap strategis. “Tapi ketentuan yang menentukan strategis atau tidaknya itu negara, bukan strategis menurut rakyat,” lanjutnya.
“Padahal orang-orang Yeinan, Marind di Merauke sudah memiliki pengetahuan sendiri terkait tempat-tempat yang menurut mereka dianggap bernilai panen, bernilai konservasi tinggi, tempat-tempat yang penting bagi sistem pangan mereka,” katanya.
Namun negara kemudian mengambil alih pengaturan berdasarkan kehendak negara sesuai regulasi yang dilahirkan. Negara yang membuat zona-zona sesuai kepentingan negara, lanjutnya.
“Yang menentukan mana yang boleh dilindungi, mana yang boleh dibudidaya itu adalah negara. Dan yang menentukan mana yang boleh digunakan oleh si A si B itu juga oleh negara, ini yang saya sebut sebagai perampasan tanah lewat kebijakan,” kata Franky.
Kemudian perampasan tanah juga memerlukan alat-alat kekuasaan negara termasuk alat-alat kekerasan maupun broker atau perantara. Kata Samperante kerap kali kepala daerah provinsi maupun bupati kemudian aparat keamanan menjadi alat negara untuk merampas tanah.

“Mantan Bupati Johanes Gluba Gebze menjadi komisaris dari salah satu perusahaan yang dimiliki Kementerian Pertahanan, jadi dia menjadi perantara supaya proyek strategis nasional untuk cetak sawah baru 1 juta hektar bisa berjalan. Bahkan kita lihat dalam dokumen di bulan Juli, yang menjadi operator proyek ini adalah Letjen TNI Purn Muhammad Herindra dan yang kini menjadi kepala Badan Intelejen Negara (BIN). Kita lihat juga yang menjadi operator lapangan PSN adalah komandan Satgas Bawah Kendali Operasi Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani,” katanya.
Direktur Pusaka itu membeberkan bahwa pada Oktober 2024 Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto menetapkan dan membentuk 5 Batalyon Infanteri. Alasannya karena rawan keamanan dan untuk kepentingan proyek ketahanan pangan. Operasi yang dipimpin oleh militer dan melibatkan korporasi itulah yang saat ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Meski masyarakat melakukan protes tapi dengan cara sendiri karena mereka juga terancam.
Franky Samperante juga mengingatkan ada banyak sekali kontradiksi dari proyek-proyek ini. Dalam ketentuan PSN dikatakan bahwa sebelum melakukan proyek, harus ada dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau AMDAL. Apalagi sejak Undang-undang Cipta Kerja ditetapkan AMDAL menjadi sebuah dokumen lingkungan.
“PSN di Merauke ini kita belum menemukan dokumen lingkungan hidup. Salah satu masalahnya karena pemerintah maupun operator proyek ini cenderung menutup-nutupi. Termasuk bagaimana kedatangan kapal pesiar dari Haji Isam J7 Explorer sejak bulan Mei di sana,” ujarnya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!
thanks alot of information keren