Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem menilai Pemerintah Indonesia gagal melakukan pendekatan humanis dalam penegakan hukum di Tanah Papua. Pernyataan ini disampaikan Hesegem menanggapi kasus penyiksaan warga sipil Kabupaten Puncak oleh sejumlah terduga prajurit dari Batalion Infanteri Raider 300/Brajawijaya.
Hesegem mengatakan tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan sejumlah prajurit TNI itu sangat tidak profesional, merendahkan harkat dan martabat manusia. Hesegem mengatakan seharusnya prajurit TNI itu menjalankan tugas dengan berpedoman pada Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
“Kami rasa sedih melihat video penyiksaan itu. Tindakan [penyiksaan oleh] prajurit TNI itu tidak profesional dan tidak [sejalan] dengan komitmen pemerintah terhadap operasi penegakan hukum dan pendekatan humanis,” ujar Hesegem dalam keterangan tertulisnya, pada Sabtu (30/3/2024).
Pada 22 Maret 2024 pagi, beredar video di media sosial yang merekam penyiksaan terhadap seorang warga sipil Papua. Korban ditaruh dalam drum berisi air, dengan kedua tangannya terikat. Korban itu dipukuli dan ditendang berulang kali oleh sejumlah orang yang diduga prajurit TNI. Punggung korban juga disayat menggunakan pisau. Wajah sejumlah pelaku terlihat dalam video itu.
Pada 23 Maret 2024 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua menyatakan penyiksaan itu diduga dilakukan prajurit Batalyon Infanteri Raider 300/Braja Wijaya pada Februari 2024, ketika mereka bertugas di Kabupaten Puncak. Ada tiga warga sipil Puncak yang disiksa para prajurit TNI itu. Para pelaku penyiksaan itu sudah selesai bertugas di Puncak, dan telah kembali ke Markas Batalyon Infanteri Raider 300/Braja Wijaya di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Pada 25 Maret 2024, Tempo.co memberitakan pernyataan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Kristomei Sianturi yang menyebut bahwa ada 42 anggota TNI yang telah diperiksa terkait penyiksaan terhadap warga Papua itu. Dari pemeriksaan itu, sejumlah 13 anggota TNI telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Hesegem mengatakan kasus penyiksaan itu semakin meningkatkan ketidakpercayaan warga Papua terhadap pemerintah Indonesia dan secara khusus terhadap TNI. Hesegem mengatakan penyiksaan warga yang diduga dilakukan prajurit TNI itu secara jelas telah melanggar Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998.
“Setiap warga negara mereka punya hak untuk mendapat rasa keadilan, bukan main hakim sendiri dan disiksa. Sekalipun [itu] yang ditangkap TPNPB [harus] diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses sesuai hukum yang berlaku di negara ini,” katanya.
Hesegem mengatakan prajurit yang terlibat dalam penyiksaan itu wajib untuk diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Hesegem mengatakan penegakan hukum penting sebagai usaha untuk memberikan efek jera terhadap pelaku penyiksaan.
“Tidak ada istilah kebal hukum bagi pihak-pihak yang menjadi pelaku penyiksaan dan semua tunduk pada aturan hukum,” ujarnya.
Hesegem mengatakan presiden, wakil presiden, panglima TNI hingga Kapolri selalu berbicara tentang pendekatan humanis dalam penegakan hukum di Tanah Papua. Namun, Hesegem menilai dalam prakteknya hal itu selalu dilanggar prajurit TNI/Polisi yang bertugas di Papua.
“Penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI bukan suatu hal yang baru [melainkan] tindakan [penyiksaan itu] berulang-ulang terjadi di Tanah Papua,” katanya.
Hesegem mengatakan prajurit TNI/Polisi yang bertugas di Tanah Papua harus diberikan pembekalan terkait standar operasi penegakan hukum yang humanis atau mengedepankan kemanusian. Hesegem mengatakan prajurit TNI/Polisi yang tidak paham dengan standar operasi penegakan hukum yang humanis berpotensi akan melakukan pelanggaran hukum.
“Anggota TNI/POLRI yang bertugas di Tanah Papua harus mengedepankan pendekatan humanis dalam penegakan hukum,” ujarnya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!