Jayapura, Jubi – Penyelesaian kasus kekerasan yang diduga dilakukan aparat keamanan terhadap warga sipil Orang Asli Papua semakin sering dilakukan dengan membayar denda adat berupa sejumlah uang. Cara penyelesaian seperti itu dikhawatirkan akan menguatkan praktik impunitas yang melindungi aparat keamanan pelaku kekerasan dari jeratan hukum.
Hal itu dinyatakan Ketua Tim Penegakan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Melchior Weruin di Kota Jayapura, Rabu (2/10/2024). Weruin mencatat ada sejumlah kasus kekerasan terhadap warga sipil di Tanah Papua yang diduga dilakukan aparat keamanan, dan dugaan tindak pidana itu diselesaikan dengan membayar denda.
Pada 17 September 2024, Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya di Provinsi Papua Tengah membayar denda senilai Rp7,5 miliar untuk menyelesaikan kasus penembakan yang menyebabkan kematian tiga warga sipil di sana. Kasus penembakan yang diduga dilakukan prajurit Satgas 753, Maleo, dan Satgas Elang/BIN itu terjadi di Puncak Jaya pada 16 Juli 2024.
Ketiga warga sipil yang meninggal dunia dalam kasus penembakan itu adalah Dominus Enumbi (Ketua Bamuskam asal Kampung Karubate), Pemerinta Morib (Kepala Kampung Dokome), dan Tonda Wanimbo (Bendahara Kampung Temu asal Distrik Ilamburawi). Melchior Weruin menyoroti pembayaran denda uang dalam penyelesaian kasus itu, dan menyatakan ada semakin banyak kasus dugaan kekerasan oleh aparat keamanan diselesaikan dengan membayar denda uang.
“Kecenderungannya yang [terduga] pelakunya adalah aparat keamanan. Akhir-akhir ini, ketika terjadi kekerasan, dalam tanda petik orang menukar kondisi kekerasan itu dengan membayar sejumlah uang, yang biasa kita sebut dengan uang kepala. Fatalnya, setelah uang kepala itu dibayarkan oleh [orang atau pihak yang diduga menjadi] pelaku kepada keluarga korban, [kasus itu] dianggap selesai. Itu yang tidak boleh,” kata Melchior Weruin.
Weriun menyatakan salah satu yang menyebabkan praktik pembayaran denda kepala terjadi karena ada permintaan dari pihak keluarga korban. Ia mencontohkan kasus penembakan warga sipil di Wamena pada 23 Februari 2023.
Penembakan warga sipil itu terjadi ketika polisi menangani amuk massa dan terlibat bentrokan dengan warga di Sinakma, Wamena. Amuk massa itu dipicu oleh beredarnya kabar tentang penculikan anak. Insiden itu menyebalkan sedikitnya 11 warga sipil meninggal dunia, dan 23 warga sipil lainnya terluka. Keluarga korban penembakan kemudian meminta polisi membayar denda kepala, namun polisi belum menanggapi permintaan itu.
Weruin menyatakan kasus penembakan warga sipil di Wamena seharusnya diselesaikan dengan proses hukum terhadap para terduga pelaku. Menurutnya, pembayaran denda kepala tidak menghapuskan perbuatan pidana oleh terduga pelaku penembakan warga sipil.
“Kasus kerusuhan di Wamena itu [jangan sampai] dianggap sudah selesai ketika keluarga korban ini diberikan uang kepala dan babi. Sampai hari ini proses hukumnya juga tidak jalan. Kasus lain misalnya penembakan terhadap Otinus Sondegau yang diduga ditembak oleh anggota Brimob [pada 2006 lalu di Sugapa]. Kami [dari] Komnas HAM waktu [penyelidikan] bertemu dengan keluarga korban ada pernyataan dari mereka bahwa kasus ini sudah diselesaikan dengan bayar uang kepala. Akhirnya kita juga tidak menemukan ujung dari penegakan hukum kasus itu,” katanya.
Melchior merinci bahwa berbagai kasus kekerasan yang diduga dilakukan aparat keamanan di Tanah Papua adalah dugaan tindak pidana yang serius, seperti penembakan, penganiayaan berat hingga pembunuhan. Ia menegaskan dugaan tidak pidana seperti itu harus diselesaikan dengan menjalankan proses pemidanaan terhadap para terduga pelaku.
“[Kasus kekerasan] pembunuhan atau penembakan, masa mau [diselesaikan dengan] dibayari, itu tidak boleh. Jadi tindakan dia [pelaku] itu harus dikenai sanksi hukum, tentu sesuai mekanisme yang diatur,” ujarnya.
Melchior mengatakan kalau kasus kekerasan yang diduga dilakukan aparat keamanan diselesaikan hanya dengan pembayaran denda kepala, praktik itu akan memperlemah penegakan hukum dan menguatkan impunitas. Melchior khawatir hal ini juga akan melanggengkan kekerasan aparat keamanan terhadap warga sipil.
“Meskipun proses [denda uang] itu terjadi, itu [seharusnya] dilihat sebagai upaya rekonsiliasi antara korban dengan pelaku, [dan] bukan menghapus tindakan pidana. Proses hukum itu harus jalan. [Jika] tidak, nanti konsekuensinya orang melihat nanti ketika penembakan [atau] kekerasan, ‘nanti kan kita tinggal siapkan uang saja’. [Seolah-olah] kasih uang sekian, akhirnya [kasusnya] tutup. Beberapa kasus akhirnya tidak sampai diproses pada tingkat pengadilan,” katanya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay mengatakan praktik penyelesaian kasus kekerasan yang terduga aparat keamanan di Papua melalui denda uang sangat memprihatinkan. Gobay mengatakan kasus kekerasan, penembakan, penganiayaan hingga berujung meninggalnya seseorang, hanya dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan.
“Yang terjadi di Papua, bayar kepala, habis perkara. Seperti yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya, kemudian yang terjadi di Kabupaten Jayawijaya. Fenomena bayar kepala habis [perkara] itu dilakukan oleh institusi keamanan, satu fakta hukum yang miris di Indonesia, khususnya dalam konteks sistem peradilan pidana,” kata Gobay.
Gobay mengatakan pelaku kekerasan harus diproses hukum. Pemidanaan itu bertujuan agar tidak ada praktik diskriminasi, sekaligus memberikan efek jera terhadap aparat keamanan yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil.
Gobay juga khawatir praktik bayar denda kepala itu akan meningkatkan praktik impunitas bagi aparat keamanan di Tanah Papua. “Perlu dipertanyakan komitmen Panglima TNI maupun Kapolri dalam menjalankan misi hukum pidana, yaitu untuk memberikan efek jera kepada para pelaku, khususnya polisi maupun juga [prajurit] TNI. [Upaya pemidanaan itu] mau serius dilakukan atau tidak,” ujar Gobay.
Direktur LBH APIK Jayapura, Nur Aida Duwila juga tidak sepakat dengan penyelesaian kasus kekerasan aparat keamanan melalui pembayaran denda uang. LBH APIK Jayapura pernah mendampingi kasus penyiksaan terhadap tiga anak di Kabupaten Keerom yaitu Rahmat Paisei (15) bersama Bastian Bate (13), dan Laurents Kaung (11) diduga dianiayai di parjurit TNI di Pos Satuan Tugas (Satgas) Damai Cartenz, Jalan Maleo, Kampung Yuwanain, Arso II, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua, pada 27 Oktober 2022 lalu.
Ketiga anak itu dianiayai menggunakan rantai, gulungan kawat dan selang air, hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit. Nur yang mendampingi para korban mengatakan keluarga korban diminta untuk mencabut laporan, dan ditawari bantuan bahan makanan hingga tawaran bahwa bahwa ketiga korban akan dibiayai sekolahnya.
Nur mengatakan dua korban akhirnya mencabut laporan. Salah satu korban, Laurents Kaung terus didampingi dan tidak mencabut laporannya, namun proses hukum terhadap para terduga pelaku hingga kini tidak jelas.
“Jadi saya agak keberatan waktu disampaikan bahwa ada penyelesaian secara kekeluargaan. Saya sampaikan ke ibu korban, maaf kalau sudah seperti itu dan keluarga bersedia ya silahkan. Lebih baik kami lepas tangan, karena kami kejar bagaimana pertanggungjawaban pelaku. [Penyidikan] kasusnya itu berhenti tahun kemarin,” ujarnya.
Nur mengatakan penyelesaian kasus kekerasan melalui pembayaran uang tidak akan bisa memulihkan dampak yang ditimbulkan kekerasan itu. Proses hukum seharusnya tetap berjalan, digenapi dengan rehabilitas dan trauma healing bagi para korban, apalagi korban dalam kasus di Keerom itu adalah anak-anak.
“Mengapa harus dihargai dengan uang? [Prioritas penanganan kasus seperti itu seharusnya] bagaimana korban pulih dari rasa sakit yang dia terima, baik fisik maupun psikis. Itu yang diobati dulu. Baru bicara berharganya orang Papua seperti apa. Pulihkan pikirannya, pulihkan hatinya. Bukan pulihkan dia dengan uang,” kata Nur.
Emanuel Gobay meminta agar keluarga korban kekerasan yang diduga dilakukan aparat keamanan di Tanah Papua jangan terlena dengan kemungkinan mendapat uang dari perkara itu. Gobay mengajak masyarakat sipil, terutama keluarga korban, menuntut keadilan melalui jalur hukum yang tersedia.
“Gunakanlah hak kalian untuk kemudian mendapatkan keadilan secara hukum. Segala instrumen sudah dibuat, segala fasilitas pendukung penegakan hukum untuk mendapatkan hak atas keadilan,” kata Gobay. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!