Jayapura, Jubi- Forum Perempuan Gereja Dominasi di Tanah Papua melontarkan sejumlah harapan mereka pada momentum hari Perempuan Internasional 2025. di Tanah Papua, peringatan ini mengusung tema “Mempercepat aksi bagi perempuan dan anak perempuan bagi keadilan dan perdamaian di Tanah Papua”.
Ketua Departemen Perempuan GIDI, Rode Wanimbo, mengatakan ada 6 harapan yang ingin disampaikan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2025.
Pertama, presiden Indonesia, Prabowo Subianto untuk menarik pasukan organik dan non organik dari seluruh tanah Papua.
Kedua, Presiden Republik Indonesia segera menyelesaikan persoalan pengungsi di daerah-daerah konflik seperti Maybrat, Nduga, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan Intan Jaya serta Puncak Papua yang mengorbankan perempuan dan anak.
Ketiga, menyerukan Pemerintah RI meninjau kembali kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merampas ruang hidup masyarakat adat.
Keempat, Pemerintah RI segera meninjau kembali Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan lebih memprioritaskan kebutuhan pendidikan gratis.
Kelima, aparat penegak hukum untuk menindak dengan tegas kasus kekerasan domestik dan femisida dengan tegas sesuai hukum yang berlaku.
Keenam, penyelesaian dan memberikan kepastian hukum serta keadilan bagi perempuan-perempuan di beberapa wilayah konflik yang dibunuh, dimutilasi hingga kini tak diusut secara tuntas di Yahukimo dan Puncak.
“Kami melihat di tengah-tengah situasi ketidakpastian semakin tingginya tingkat kekerasan dan semakin tidak ada keadilan dan perdamaian di atas negeri ini. Dan itu menjadi tantangan bagi gereja juga di Tanah Papua untuk terus bersuara dan menyuarakan pesan-pesan pengharapan bagi umat yang terdampak. Diperhadapkan dengan realita yang berusaha melucuti kemanusiaan mereka,”katanya di Kota Jayapura, Papua, Sabtu (08/03/2025).
Selain itu forum perempuan juga mendesak pimpinan persekutuan gereja-gereja di Papua, untuk duduk bersama seriusi situasi yang terjadi saat ini di Papua.Mereka berharap pimpinan gereja dapat menyikapi serius aksi masyarakat yang ada di tanah Animha terkait PSN. Gerakan-gerakan perempuan di akar rumput sangat kuat sekali menggunakan aksi doa, menancapkan salib di atas tanah adatnya sebagai bentuk tanda sasi menolak PSN, tapi umat Katolik yang ada di tanah Animha tidak mendapatkan dukungan dari uskup yang ada di Merauke.
“Malah mereka distigma sebagai bentuk gerakan sesat. Jadi kami sebagai pimpinan forum perempuan lintas dominasi gereja mendukung apa yang dilakukan perempuan di atas tanah Animha, menjaga tanah mereka. Sehingga kami sangat berharap pimpinan-pimpinan gereja untuk segera duduk bersama, melakukan diskusi dan mengambil langkah konkrit menyikapi situasi di tanah Animha secara khusus dan masalah pengungsi di Tanah Papua,”katanya
Ketua Departemen Perempuan Sinode Kingmi Papua, Pdt. Salomina Mayau juga menambahkan, sudah sejak lama Papua menjadi situs kekerasan tak berujung di Indonesia. Terus saja melahirkan duka hingga saat ini. Penetapan Papua sebagai daerah operasi militer dan penggunaan pendekatan keamanan yang belum dicabut terus menimbulkan lingkaran kekerasan dan tingginya pelanggaran HAM. Sehingga itu memperlambat pemenuhan hak-hak dasar terutama pendidikan dan kesehatan.
“Operasi militer yang meningkat, persoalan pengungsi di daerah-daerah yang belum terselesaikan dengan baik dan implementasi berbagai kebijakan yang memarginalkan masyarakat adat Papua,”katanya
Ia mengatakan, perempuan Papua diperhadapkan pada berbagai situasi yang mengepung dan berusaha merampas kemanusiaan perempuan. Lingkaran kekerasan yang panjang melahirkan banyak persoalan dalam berbagai bidang kehidupan. Pertama persoalan pelanggaran HAM yang tinggi akibat penetapan Papua sebagai DOM. Sehingga militer banyak terlibat aktivitas sipil dan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.
“Kedua, tingginya kematian ibu dan anak di Papua akibat kurangnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang memadai. Kemudian meningkatnya pengungsian akibat konflik bersenjata yang mengakibatkan meningkatnya kasus stunting dan buta huruf,”katanya
Lalu ekstraksi sumber daya alam dan penetapan kebijakan pangan nasional untuk tanaman padi, bioetanol di Merauke dan beberapa wilayah di Papua yang menyebabkan ruang-ruang hidup masyarakat adat semakin menyempit. Kemudian masih kentalnya bias gender dalam pengambilan keputusan yang masih mengabaikan perempuan sehingga pendapat perempuan tidak banyak diakomodir.
“Masih tingginya kekerasan baik struktural maupun kultural yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Dan menyempitnya raung demokrasi dan kebebasan berekspresi di Papua yang berpotensi merenggut hak sipil dan politik perempuan di tanah Papua,”katanya (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!