Jayapura, Jubi – Koordinator Penggiat HIV/AIDS dari Jayapura Support Group (JSG) Robert Sihombing menilai penanganan HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Deficiency Syndrome) di Kota Jayapura belum menjadi percontohan yang baik.
“Karena dari yang saya lihat satu sampai dua tahun ini, layanan kesehatan, baik di Dinas Kesehatan maupun pada pelayanan kesehatannya, seperti Puskesmas, baru melakukan desentralisasi HIV/AIDS, sementara di Kabupaten Mimika dan Nabire sudah jauh-jauh hari melakukannya,” kata Robert kepada Jubi di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Rabu (22/05/2024).
Robert menjelaskan desentralisasi artinya pelayanan terhadap orang dengan HIV/AIDS sudah bisa dilakukan terpusat di Puskesmas, tidak hanya di rumah sakit.
“Jadi kalau mau bilang penanganan HIV/AIDS sudah serius di Kota Jayapura, harusnya Dinas Kesehatan sudah serius dalam penanganan dan juga wali kota juga harus memberikan perhatian serius melihat hal ini. Bagaimana menyediakan layanan di puskesmas yang sesuai dengan desentralisasi HIV/AIDS,” ujarnya.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Papua jumlah kasus HIV/AIDS di Provinsi Papua per 31 Desember 2023 sebanyak 54.171. Sedangkan di Kota Jayapura 7.953. Kemudian di Kabupaten Jayapura 4.951 kasus. Robert mengatakan data kasus HIV/AIDS untuk per 31 Maret 2024 masih dalam proses dan belum dikeluarkan.
Robert berharap Penjabat Wali Kota Jayapura memberikan atensi tertentu, khusus terkait pelayanan kesehatan HIV/AIDS yang harus menjadi perhatian Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura.
Ia juga mengeritik manajemen dalam penanganan HIV/AIDS di Kota Jayapura. Peran masyarakat dalam pencegahan HIV/AIDS, kata Robert, sudah bagus dan semakin banyak. Pekerja yang menyuarakan dan menyosialisasikan tentang bahayanya HIV/AIDS, seperti LSM-LSM baru, juga bertambah.
“Yang kita butuhkan pemerintahnya, ketika kita rujukan ODHA siapkah atau tidak layanannya? Bukan hanya tes dan terinfeksi atau tidak, tapi pengobatannya bagaimana, siapkah-tidak secara farmasi, logistiknya jalan atau tidak,” katanya.
Robert mengatakan sebagai penggiat HIV/AIDS terkadang susah mendapatkan layanan HIV/AIDS di Puskesmas di Kota Jayapura, karena banyak dirujuk ke rumah sakit karena tidak tersedia obat. Untuk itu, katanya, harus desentralisasi.
“Kelemahan dalam sistem yang disebut dengan logistik, karena logistik ini penting terkait ketersediaan obat. Itu yang sebenarnya dipertanyakan kepada Dinkes Kota Jayapura atau bagaimana perhatian pelayanan Penjabat Wali Kota jayapura dalam membantu dinas terkait untuk sistem logistiknya,” ujarnya.
Ia mempertanyakan kenapa ada ibu hamil yang terkena HIV setelah melahirkan anaknya selalu diperiksa di rumah sakit, padahal di Puskesmas harusnya sudah dimanajemenkan logistik tentang HIV/AIDS untuk anaknya, bukan hanya untuk ibunya, harus disiapkan juga di puskesmas.
ODHA, tambahnya, kalau selesai dilayani di rumah sakit pasti anak itu dikembalikan ke Puskesmas yang mengampunya untuk melakukan pelayanan HIV/AIDS. “Namun hal ini juga tidak berjalan dengan baik,” katanya.
Kemudian, tambah Robert, kalau dirujuk lagi ke rumah sakit karena ada infeksi di bagian tertentu dan pasti dibilang dari awal anak sudah ditangani di Puskesmas, jadi harus kembali ke Puskesmas.
“Tapi orang dengan HIV/-AIDS saya rasa lebih baik dilayani di rumah sakit daripada di Puskesmas yang tidak tersedia layanan HIV/AIDS,” katanya.
Keluhan terhadap sistem farmasi
Robert juga menyorot sistem farmasi di Kota Jayapura yang sering kali menjadi keluhan bagi teman-teman penggiat maupun ODHA.
“Ini juga menjadi sesuatu yang serius, bagaimana penanganan ODHA di Kota Jayapura serius kalau sistem pelayanan seperti ini tidak di perhatikan baik. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi Dinas Kesehatan maupun Pemerintah Kota Jayapura untuk sama-sama melihat hal-hal ini,” ujarnya.
Robert mengingatkan kasus HIV/AIDS di Kota Jayapura serius dan itu juga disampaikan Kepala Dinas Kota Jayapura seperti diberitakan jubi.id beberapa bulan lalu. Karena itu ia meminta setiap sistem pelayanan untuk kasus HIV/AIDS di Kota Jayapura harus didesentralisasi dengan baik agar mengurangi jumlah kasus tersebut.
Terkait kasus HIV/-AIDS, katanya, ada dalam Perda Nomor 16 tahun 2011 tentang Pencegahan dan Penanganan Infeksi Menular Seksual, Human Immunodeficiency Virus dan Acquired immunoDeficiency Syndrome di Kota Jayapura. Untuk itu, katanya, sistem manajemennya harus diperhatikan, karena selama ini sistem manajemen penanganan kasus HIV/AIDS tidak berjalan baik.
“Perlu juga untuk perda tersebut dikaji ulang karena sekarang sudah dibagi masing-masing provinsi,” katanya.
Robert mengakui penanggulangan HIV/AIDS di Kota Jayapura semakin baik, cuma ditambahkan lagi layanannya di Puskesmas-Puskesmas agar lebih mudah pencegahannya. “Perdanya itu belum berimbangan dengan perkembangan yang ada,” katanya. (*)
Discussion about this post