Jayapura, Jubi – Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa tanpa tindakan signifikan, polusi plastik global diperkirakan akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2050. Studi ini memberikan peringatan serius tentang dampak buruk “business as usual” terhadap pengelolaan limbah plastik.
Para pemimpin dunia, termasuk dari kawasan Pasifik, kini tengah berkumpul di Korea Selatan untuk merumuskan perjanjian internasional guna memerangi polusi plastik. Informasi ini dikutip Jubi dari RNZ pada Kamis (28/11/2024).
Neil Nathan, salah satu penulis studi berjudul Jalur untuk Mengurangi Kesalahan Pengelolaan Limbah Plastik Global dan Emisi Gas Rumah Kaca pada 2050” yang dipublikasikan di jurnal Science, menegaskan bahwa tanpa perubahan signifikan, limbah plastik akan terus meningkat secara eksponensial.
“Jika kita tidak melakukan apa pun atau tidak memiliki perjanjian yang kuat, limbah plastik yang tidak terkelola akan hampir dua kali lipat, mencemari lingkungan kita,” ujar Nathan.
Menurutnya, total plastik yang dihasilkan sejak 2011 hingga 2050 cukup untuk menutupi Pulau Manhattan dengan tumpukan setinggi 10 kali lipat Gedung Empire State.
Studi tersebut juga mengajukan empat kebijakan utama untuk menekan polusi plastik secara signifikan.
Kebijakan pertama adalah meningkatkan penggunaan plastik daur ulang hingga 40 persen dari total bahan baku produk baru. Kedua, membatasi produksi plastik baru pada tingkat produksi tahun 2020 untuk mengurangi akumulasi limbah di masa mendatang.
Ketiga, mengalokasikan investasi besar-besaran dalam pengelolaan limbah, seperti pembangunan tempat pembuangan akhir yang memadai dan fasilitas daur ulang modern. Terakhir, mengenakan biaya pada kemasan plastik untuk mendorong produsen dan konsumen beralih ke bahan alternatif yang lebih ramah lingkungan.
“Kita bisa mengatasi masalah ini pada tahun 2040 atau 2050 dengan kebijakan ambisius dan menyeluruh yang sedang dinegosiasikan saat ini,” kata Nathan optimistis.
Anthony Talouli, Direktur Pengelolaan Limbah dan Pengendalian Polusi di Sekretariat Program Lingkungan Regional Pasifik (SPREP), menegaskan bahwa perjanjian ini berada dalam tahap akhir untuk menjadi dokumen hukum yang mengikat.
“Plastik ada di mana-mana, bahkan di tempat yang paling terpencil sekalipun. Kita membutuhkan tindakan nyata dan tegas untuk menghentikan polusi plastik sebelum ia menghancurkan kita,” tegas Talouli.
Sementara itu, Sivendra Michael, negosiator Fiji dalam perjanjian tersebut, mengungkapkan bahwa negara-negara Pasifik, termasuk Fiji, menghadapi dampak langsung dari polusi plastik.
“Plastik-plastik ini berakhir di lautan, tempat pembuangan sampah, bahkan di halaman belakang rumah kita. Dampak mikroplastik tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga kesehatan manusia,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!