Jayapura, Jubi – Keluarga korban tanah longsor dahsyat di Provinsi Enga, Papua Nugini, masih tidur di atas batu-batu yang mengubur keluarga mereka yang telah meninggal. Tanah longsor yang terjadi pada tengah malam tanggal 24 Mei tersebut menewaskan ratusan orang dan memaksa ribuan orang mengungsi.
Bencana tersebut memusnahkan seluruh komunitas. Namun, hampir dua bulan kemudian, pemimpin masyarakat Miok Michael mengatakan belum ada rencana relokasi yang jelas bagi para korban.
“Pemerintah nasional telah menetapkan zona longsor sebagai zona pemakaman, dan orang-orang hanya meninggalkan tempat itu begitu saja. [Tidur di makam orang yang mereka cintai] adalah apa yang mereka lakukan. Mereka menangis dan memanggil,” kata Miok kepada RNZ Pacific pada Kamis (18/7/2024), dikutip jubi.id Jumat (19/7/2024).
“Jika ada rencana relokasi, maka tidak ada komunikasi dan sosialisasi yang baik mengenai rencana tersebut kepada masyarakat terdampak,” tambahnya.
Miok menjelaskan bahwa penundaan ini disebabkan oleh misinformasi dan kurangnya pemahaman antara masyarakat setempat dan komite yang bertanggung jawab atas penggunaan dukungan dan sumber daya untuk kepentingan para penyintas dan masa depan mereka.
Ia juga menyoroti masalah kompleks lainnya, termasuk dampak besar pada wanita dan anak-anak, serta pertikaian antarsuku yang baru-baru ini mereda berkat upaya rekonsiliasi.
“Tim tanggap darurat tidak memberikan respons sesuai dengan yang diharapkan para korban tanah longsor,” kata Miok.
Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu memberikan tempat relokasi bagi para korban sebelum melangkah ke tahap pemulihan berikutnya.
Justine McMahon dari lembaga bantuan CARE International juga menggarisbawahi bahwa poligami, yang merupakan praktik umum di Enga, menambah kompleksitas dalam distribusi bantuan, dengan beberapa istri menerima bantuan sementara yang lain tidak.
Aksi Protes di Porgera
Warga di Porgera menggelar aksi protes damai pada 16 Juli, menuntut pihak berwenang segera membuka jalan menuju Porgera yang masih terputus akibat tanah longsor. Pelajar, petugas kesehatan, dan warga Porgera turun ke jalan menuntut pemerintah agar segera membuka akses jalan tersebut.
Mereka mengeluhkan biaya barang dan jasa yang melonjak tak terkendali karena pasokan yang tidak stabil. “Masyarakat adalah pihak yang paling menderita dan menuntut pemerintah untuk segera membuka akses jalan sebagai hal yang mendesak dan prioritas,” kata Miok.
Kemajuan Pembangunan Jalan Pintas
Jalan pintas menuju Porgera masih jauh dari selesai. Miok mengatakan bahwa kontraktor memberitahunya bahwa penyelesaian jalan tersebut akan memakan waktu empat hingga enam bulan lagi. Sementara itu, masyarakat terpaksa menerbangkan makanan untuk sekitar 80.000 orang yang terdampak.
“Orang-orang meminta bantuan,” kata Miok. Ia menambahkan bahwa perusahaan Tambang New Porgera juga membantu memasok makanan melalui helikopter, sementara bahan bakar dipompa melalui pipa karet ke Porgera.
Ada kekhawatiran bahwa ribuan orang di daerah Porgera berada di ambang kelaparan karena satu-satunya cara mereka dapat mengakses makanan adalah melalui helikopter. “Mereka masih membangun rute pintas ke sisi lain lokasi penambangan untuk Porgera,” tambah Miok.(*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!