Jayapura, Jubi – Adalah pelaut asal Spanyol Alvaro de Savedro yang berlayar menuju benua Amerika dan ketika melintasi Pulau New Guinea (Papua Nugini dan West Papua) langsung memberikan julukan dengan nama Isla Del Oro pada 1519 yang artinya Pulau Emas. Ia memberikan nama itu dengan harapan bisa mendapat emas di benua baru di Amerika. Beberapa tahun kemudian demam emas pun marak muncul di sekitar ibukota Port Moresby, Papua Nugini (PNG) pada 1888.
Ternyata ucapan itu terbukti dan dituliskan kembali oleh David Eastburn dalam majalah Paradise Edisi 76 September 1989 dalam artikel berjudul, “Island of Gold.” Begitulah impian dari pelaut Spanyol itu menjadi terbukti benar hingga kini, demam emas terus menerus melanda tanah Papua dari Sorong ke Samarai.
Aktivitas tambang di Papua Nugini (sebelah timur New Guinea) lebih dulu berlangsung ketimbang di West Papua (sebelah barat New Guinea), sebab dalam buku The New Guinea Hand Book yang merupakan sebuah buku panduan resmi di wilayah Nugini yang dikelola Persemakmuran Australia berdasarkan mandate dari Dewan Liga Bangsa-bangsa kala itu.
Dalam buku itu dilaporkan bahwa aktivitas tambang di Papua Nugini dimulai pada 1888. “ Wilayah pertambangan alluvial di sana waktu itu adalah Morobe Gold Field, Bulolo, Wartut, Markam dan Upper Ramu River. Semua cadangan yang pertama kali dibuka di sana sudah habis dan ditutup,” demikian dikutip Jubi dari The New Guinea Hand Book.
Pendapat senada juga ditulis George A Mealey dalam bukunya berjudul Grasberg, Mining the richest and most remote deposit of copper and gold in the world, in the mountains of Irian Jaya, Indonesia. Ia melaporkan bahwa demam emas yang pertama di New Guinea terjadi di dekat Port Moresby, ibukota PNG pada 1878. Karena eksplorasi yang dilakukan Inggris dan Australia cukup ekstensif, maka pertambangan di bagian timur perbatasan dengan West Papua dianggap sudah berlangsung lama.
“Di bagian barat yang kemudian dikenal sebagai Irian Jaya atau west Papua, Freeport adalah Perusahaan yang pertama melakukan penambangan dan sampai saat ini adalah satu satunya,” tulis George A Mealey, geolog asal Amerika Serikat itu. Bahkan tailing yang sudah dibuang mengandung pula 20 persen emas, sehingga para pendulang di Timika pun ikut memanen emas dari mengais sisa sisa buangan pasir tambang itu, sampai sekarang.
Tambang Grasberg mirip Ok Tedi di PNG
Saat penambangan Grasberg hendak dimulai, geolog PT Freeport kala itu George A Mealey menggambarkan potensi tambang Grasberg kepada penasehat keuangan sebagai ”endapan emas tembaga porfiri” yakni suatu endapan di mana dapat diharapkan produksi tembaga emas dan mungkin juga perak.
“Saya memperhatikan bahwa struktur geologi Grasberg mirip dengan struktur Ok Tedi (tambang emas di PNG dekat Ok Sibil, ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan). Yaitu suatu tembaga emas porfiri yang sedang ditambang di Papua New Guinea. Belakangan tim Freeport juga berkunjung ke sana. Ok Tedi mendapat publikasi luas pada saat itu karena terdapat endapan permukaan yang kaya akan emas (gold capping deposit). Kesamaan ini mengelitik para kutu emas kami,” kata Mealey dalam buku Grasberg.
Tak heran kalau Mealey bilang, Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia dan cadangan tembaga ketiga dunia. “Grasberg adalah penemuan mineral terpenting pada abad kini,” kata Mealey.
Mengutip dari Business Advantage disebutkan bahwa sektor pertambangan di Papua Nugini adalah salah satu industri terkuat di negara itu. “Pertambangan menyumbang lebih dari 10 persen PDB pada tahun 2019 dan sektor ini menyumbang 35 persen pendapatan ekspor negara. Ekspor mineral utama adalah emas, tembaga, nikel dan kobalt.
Dikatakan total penerimaan ekspor mineral, termasuk LNG dan kondensat, berjumlah K25.778,4 juta pada tahun 2020, turun 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh pandemi COVID-19 yang berdampak pada volume ekspor seluruh komoditas mineral.
“Volume emas yang diekspor sebesar 58,7 ton pada tahun 2018, sedikit turun dari 63 ton pada tahun 2017. Hal ini terutama disebabkan oleh gempa bumi, yang menyebabkan penurunan produksi di tambang Porgera, Ok Tedi, Lihir dan Simberi, serta eksportir emas aluvial berlisensi lainnya. Terdapat volume produksi yang lebih tinggi di tambang emas Hidden Valley dan Kainantu,” tulisnya.
Di Papua Nugini terdapat empat tambang besar antara lain, pertama Ok Tedi Mining (Tembaga, emas dan perak) tambang ini 100 persen sudah menjadi milik PNG sejak 2018. Produksi konsentrat rata rata mencapai 400.000 ton, mengandung sekitar 96.000 ton tembaga dan 280.000 ons emas. Tambang milik negara ini sedang dalam masa transisi, dengan umur tambang saat ini diperkirakan 10 tahun. Perusahaan sedang meningkatkan proses eksplorasi, melakukan pengeboran di wilayah sewa pertambangan khusus yang dapat dikembangkan dengan cepat. Tujuannya adalah untuk menemukan sumber daya tambahan yang berdekatan dengan lubang saat ini. Perusahaan telah melakukan peningkatan efisiensi yang signifikan, meningkatkan produksi sebesar 68 persen antara tahun 2013 dan 2018. Pada periode yang sama, perusahaan mengurangi biaya kotor sebesar 22 persen.
Tambang kedua adalah di Porgera, Provinsi Enga, tambang ini telah memproduksi emas selama lebih dari 28 tahun. Produksinya pada tahun 2017 sekitar 500.000 ons emas dan 204.000 ons pada 2018. Umur tambang diperkirakan 10 tahun dan 10 tahun lagi setelahnya masih bisa berproduksi.
Porgera sering dilanda hujan lebat, konflik suku, penambangan ilegal, dan masalah transportasi karena terletak di ujung Jalan Raya Highlands.
Zijin Mining Group Co Ltd asal Tiongkok menjadi 50 persen pemangku kepentingan di tambang emas Porgera pada tahun 2015 setelah menjalin kemitraan strategis dengan Barrick Gold: Porgera Joint Venture (PJV).
Pada Oktober 2019, sewa pertambangannya menjalani peninjauan untuk pembaruan dan pada bulan April 2020 Pemerintah PNG mengumumkan akan mengambil kembali tambang tersebut dari PJV. Selanjutnya, sewa pertambangan khusus diterbitkan pada Agustus 2020 kepada Kumul Minerals Holdings Limited (KMHL), Perusahaan pertambangan milik negara.
Sedangkan tambang ketiga terbesar terdapat di lokasi tambang Lihir di Provinsi New Ireland yang berproduki sejak 1997 sampai dengan 2023. Penambangan emas di Pulau Lihir Operasi dimulai pada 1997. Sebagai tambang emas terbesar ketiga, Lihir dianggap sebagai tambang paling produktif di PNG. Perusahaan ini dimiliki oleh Newcrest Mining dan 14,3 juta ton ditambang pada tahun keuangan 2018-2019, menghasilkan arus kas bebas sebesar A$301 juta. Tambang ini diperkirakan memiliki 45 juta ons emas.
Tambang ini terkena dampak pandemi COVID-19 pada tahun 2021 karena pembatasan perjalanan, pelacakan kontak, persyaratan isolasi, dan kemampuan untuk menarik tenaga kerja. Hal ini juga menyebabkan tertundanya proyek pengembangan Newcrest untuk Lihir.
Provinsi New Ireland juga memberikan ijin penambangan bawah laut di Kepulauan Duke of York – sebuah kepulauan kecil di Laut Bismarck, Papua Nugini yang terletak 30 KM dari lokasi tambang laut dalam komersial pertama di dunia, yang dikenal sebagai “Solwara 1”. Proyek tersebut yang tertunda karena kesulitan pendanaan, dioperasikan oleh perusahaan Kanada Nautilus Minerals dan siap untuk mengekstraksi tembaga dari dasar laut, 1600 meter di bawah permukaan laut. Proyek ini juga mendapat protes dari aktivis lingkungan di Pasifik terutama NGO asal Fiji PANG yang selalu melakukan studi dan kampanye anti tambang bawah laut.
Selanjutnya tambang ke empat di PNG adalah tambang Nikel di Ramu, Provinsi Madang, PNG. Produksinya sejak 2011 hingga 2040 dinamakan Proyek nikel-kobalt Ramu, yang sebagian besar dimiliki oleh Metallurgical Corporation of China Ltd, mulai mengekspor dari tambang Kurumbukara pada akhir 2012. Proyek ini merupakan salah satu dari 15 produsen nikel teratas di dunia. Perusahaan ini pada akhir tahun 2018 mengatakan akan memperluas tambangnya dan menginvestasikan lebih dari US$1,5 miliar (K4,8 miliar) ke dalam proyek tersebut. Perusahaan ini memproduksi 35.355 ton nikel dan 3.275 ton kobalt pada tahun 2018. Pada bulan April 2019, perusahaan Kanada Cobalt 27 mengakuisisi Highlands Pacific, yang memiliki 8,56 persen kepemilikan usaha patungan di tambang Ramu ini.
Proyek pertambangan masa depan di PNG
Studi kelayakan pada proyek di Sungai Frieda di Provinsi Sepik Barat yang berbatasan langsung dengan Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom di Provinsi Papua yang dilakukan telah selesai dan dianggap sebagai proyek tembaga-emas terbesar yang belum dikembangkan di PNG. Sungai Frieda memiliki sumber daya sebesar 13 juta ton tembaga, 20 juta ons emas, dan 49 juta ons perak.
PanAust milik Tiongkok mengoperasikan tambang tersebut dan memiliki saham mayoritas. Proyek ini berganti nama menjadi Proyek Pembangunan Sepik karena proyek ini memerlukan fasilitas pembangkit listrik tenaga air dan jaringan listrik, ditambah pembangunan infrastruktur yang signifikan. Proyek ini diperkirakan memerlukan investasi modal awal sebesar US$8 miliar (K26,5 miliar) dan memiliki umur tambang selama 33 tahun, dengan kemungkinan untuk diperpanjang hingga 45 tahun. Tingkat produksi tahunan rata-rata diperkirakan mencapai 170.000 ton tembaga dan 230.000 ons emas.
Proyek di Yandera di Provinsi Madang masih dalam studi kelayakan. Tambang ini ditemukan pada tahun 1950an, proyek Penambangan Marengo merupakan sumber daya Tembaga-Molibdenum-Emas. Diperkirakan cadangannya mencapai 580 juta ton bijih dengan kadar 0,41 persen tembaga, 0,01 persen molibdenum, dan 1,1 juta ons emas.
Proyek Wafi-Golpu, di Provinsi Morobe masih menunggu persetujuan izin pertambangan khusus dari Pemerintahan Papua Nugini. Proyek patungan tembaga-emas Harmony Gold/Newcrest Mining diproyeksikan memerlukan investasi K118 miliar (US$5,4 miliar) dan menghasilkan arus kas tahunan sebesar US$900 ( K2,92 miliar). Nota Kesepahaman untuk mengembangkan tambang tersebut ditandatangani dengan Pemerintah PNG pada Desember 2018.
Pengembang Newcrest Mining dan Harmony Gold (Morobe Mining Joint Venture) menandatangani nota kesepahaman dengan Pemerintah pada bulan Desember 2018 untuk pengembangan tambang tembaga-emas Wafi-Golpu di Provinsi Morobe.
Pada Mei 2019, proyek ini ditunda oleh Pengadilan Nasional karena adanya permohonan izin peninjauan kembali dari pemerintah provinsi Morobe. Permohonan ini ditolak pada bulan Februari 2020. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!