Jayapura, Jubi – Selama beberapa dekade, para wanita di dataran tinggi Naitasiri Fiji tetap mempertahankan tradisi leluhur anyaman keranjang menggunakan sumber daya alam yang melimpah di dekat kampung tempat tinggal mereka.
Sayangnya, banyak kaum perempuan sudah kehilangan minat untuk tetap mempertahankan ketrampilan anyaman ini karena pengaruh perubahan dari luar sehingga mempengaruhi gaya hidup mereka.
Berbeda dengan nenek Miliakere Lewasau, meski sudah tua tetapi menekuni tradisi anyaman ini dan tidak akan membiarkan pengetahuan seni dari nenek moyangnya hilang dari jari-jarinya.
Perempuan berusia 72 tahun dari Kampung Nasoqo di Naitasiri, terus rajin dan tekun menenun warisan leluhurnya.
Fiji Times menemui Mama Lewasau di rumahnya usai kembali mengikuti pemungutan suara pada pra-pemungutan suara Pemilu 2022, 14 Desember lalu.
Dia mengatakan keranjangnya dirancang dari tanaman merambat yang disebut wa me atau wa midri, sejenis tanaman rambat dengan akar udara yang panjang.
Menurut dia, dia belajar menenun setelah dia menikah dan pindah ke kampung suaminya.
“Saya belajar dari seseorang yang datang ke kampung kami untuk mengajar para perempuan. Hanya saya dan ibu dari Wainibuka yang menjalankan praktik menenun ini. Sayangnya, dia [perempuan Wainibuka] sudah meninggal dunia, jadi tinggal saya saja,” ujarnya.
Nenek Lewasau mengatakan tanaman merambat harus direndam dalam air terlebih dahulu sebelum bagian dalam tanaman dikerok untuk mendapatkan produk akhir berbentuk tali yang digunakan untuk menenun.
“Putraku pergi mengambil tanaman sebelum aku mulai mempersiapkan.
Pola menenunnya seperti menenun tikar,” katanya sebagaimana dilansir https://www.fijitimes.com/art-of-weaving-lewasau-keeps-ancient-practice-alive.
Dia mengatakan produk akhir digunakan untuk membuat keranjang ikan, membangun rumah dan kasau rumah pengikat.
Nenek Miliakere Lewasau berkata ketika keranjang sudah siap, dia akan menjualnya di Suva.
“Saya menjual keranjang saya di stan bus Suva dan juga di pasar loak. Saya terkadang mengambil sekitar lima atau enam keranjang dan menjual semuanya dan kembali ke rumah dan menghasilkan lebih banyak lagi,” katanya.
“Saya juga menjualnya ke pedagang pasar karena mereka menggunakan keranjang untuk membawa dan mengemas tomat dan sayuran lainnya,” tambahnya.
Dia mengatakan uang yang diperoleh dari penjualan keranjangnya telah membantu menopang keluarganya untuk kebutuhan sehari-hari.
“Saya juga mengajari keluarga saya menenun karena ini bisa menjadi cara mereka menghasilkan uang di masa depan,” katanya.
Nenek Miliakere Lewasau mengatakan pengetahuan menenun dengan cepat menghilang di kampung.
“Saya sering pergi ke kampung terdekat dan mengajari para perempuan cara menenun sehingga mereka bisa memiliki sumber penghasilan sendiri,” katanya.
Pesannya kepada perempuan kampung agar bisa memanfaatkan sumber daya alamnya dan jangan menunggu bantuan pemerintah.
“Kami memiliki tanah, air, laut, dan sumber daya alam yang dapat kami gunakan untuk mencari nafkah dan terus mempraktikkan seni dan keterampilan tradisional kami,” katanya. (*)