Oleh: Yosephina Monim, Naema Olivia Yewi, Johan Fritz Meumat, Rio Akhim Kepno, Richard Sanyar, Dimi Aweida Keiyai, dan Mila Kogoya
Papua merupakan salah satu wilayah Indonesia yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hutan tropis yang masih perawan, keanekaragaman hayati yang unik, serta kekayaan budaya masyarakat adat menjadikan Papua sebagai kawasan strategis secara ekologis dan sosial. Namun, di tengah gencarnya pembangunan ekonomi, timbul tantangan besar: bagaimana mendorong pertumbuhan tanpa merusak lingkungan dan mengabaikan hak masyarakat adat?
Konsep green business atau bisnis berbasis lingkungan hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Green business mengedepankan pendekatan bisnis yang tidak hanya mengejar keuntungan, melainkan juga bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial. Pertanyaannya, apakah konsep ini realistis untuk diterapkan di Papua?
Potret Tantangan Regulasi di Lapangan
Upaya menerapkan green business di Papua menemui banyak kendala. Salah satu tantangan utama adalah status tanah adat yang belum terpetakan secara resmi. Hal ini sering kali menjadi akar konflik antara perusahaan dan masyarakat adat. Ketika perusahaan membuka lahan tanpa persetujuan pemilik hak ulayat, bukan hanya ruang hidup yang terancam, tetapi juga nilai-nilai budaya yang tergerus.
Seorang tokoh adat dari Sentani menyatakan, “Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami ingin dilibatkan. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga warisan leluhur dan sumber kehidupan kami.” Pernyataan ini menggambarkan betapa pentingnya keterlibatan masyarakat adat dalam setiap proses pembangunan.
Meski regulasi nasional seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan prinsip pembangunan berkelanjutan telah diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, implementasinya di Papua masih menghadapi hambatan. Lemahnya pengawasan, keterbatasan sumber daya manusia, dan minimnya partisipasi lokal menjadi masalah klasik yang terus berulang.
Secercah Harapan dari Inisiatif Lokal
Namun, di balik berbagai tantangan tersebut, sejumlah inisiatif lokal menunjukkan bahwa green business bukanlah mimpi di siang bolong. Di Lembah Grime-Nawa, masyarakat adat telah mengelola hasil hutan non-kayu secara lestari, menjaga hutan tetap hijau sambil memperoleh penghidupan yang layak. Koperasi lokal juga mulai mengembangkan produksi organik dan ekowisata berbasis komunitas sebagai bentuk bisnis yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Keberhasilan ini membuktikan bahwa jika diberikan ruang, kepercayaan, dan dukungan, masyarakat Papua mampu menjadi aktor utama dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Rekomendasi Strategis Menuju Regulasi Hijau
Untuk mewujudkan regulasi bisnis berbasis lingkungan di Papua, diperlukan langkah-langkah strategis dan kolaboratif:
- Penguatan Hukum Adat dan Partisipasi Lokal
Regulasi formal perlu mengakui dan mengakomodasi hukum adat sebagai fondasi pengelolaan sumber daya alam. Keterlibatan masyarakat adat dalam proses perizinan dan pengawasan harus menjadi keharusan, bukan sekadar formalitas. - Kolaborasi Multipihak
Pemerintah, LSM, perguruan tinggi, dan sektor swasta harus bersinergi dalam membangun kapasitas lokal, memberikan pelatihan, pendampingan, serta membuka akses terhadap pasar hijau. - Transparansi dan Akuntabilitas
Seluruh aktivitas bisnis perlu menyajikan laporan dampak lingkungan secara terbuka dan melibatkan pengawasan dari masyarakat sipil. Pemerintah daerah juga harus memperkuat lembaga pengawas yang independen.
Sebagaimana disampaikan dalam diskusi kelompok kami, “Green business tidak hanya tentang teknis ramah lingkungan, tetapi juga menyangkut keadilan distribusi hasil dan dampak sosialnya.” Artinya, keberlanjutan lingkungan harus berjalan seiring dengan keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat lokal.
Penutup
Penerapan regulasi bisnis berbasis lingkungan di Papua bukan hanya sebuah kemungkinan, tetapi juga sebuah keharusan. Papua tidak perlu memilih antara hutan atau kemajuan. Melalui pendekatan green business yang inklusif, adil, dan kolaboratif, kedua hal tersebut dapat berjalan berdampingan. Masa depan Papua adalah masa depan yang hijau—bukan hanya dalam arti ekologis, tetapi juga dalam keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh warganya.
(Para penulis adalah Mahasiswa Mata Kuliah Hukum & Regulasi Bisnis, Jurusan Akuntansi, FEB Uncen)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!