Jayapura, Jubi – Pemerintah Indonesia telah membantah rumor mengenai upaya Rusia untuk membuka pangkalan udara di Papua. Terlebih lagi, letak strategis Pulau Biak yang dekat dengan keberadaan militer Amerika Serikat di Pulau Guam dan Australia di Darwin menjadikan spekulasi ini menarik perhatian internasional, terutama dari Moskow yang memiliki kepentingan strategis di kawasan tersebut.
“Kisah ini hanya bertahan sehari, namun sudah cukup untuk memicu kemarahan di Australia dan mendorong Indonesia segera melakukan klarifikasi dan bantahan,” tulis Ian Storey, Peneliti Senior di ISEAS – Yusof Ishak Institute, seperti dikutip Jubi dari laman fulcrum.sg dalam artikelnya berjudul Are the Russians Coming to Indonesia?
Storey mengutip laporan dari perusahaan analisis pertahanan terkemuka, Jane’s, yang pada 14 April lalu mengklaim bahwa Rusia telah meminta akses ke Pangkalan Udara Manuhua di Pulau Biak, Papua.
Laporan ini membuat Menteri Pertahanan Australia, Richard Marles, meminta klarifikasi dari mitranya di Indonesia. Menhan RI saat itu, Sjafrie Sjamsoeddin, dengan tegas menyatakan bahwa laporan tersebut tidak benar.
Lalu, benarkah cerita ini? Mengapa Rusia tertarik pada pangkalan udara yang begitu jauh dari wilayahnya? Apakah Indonesia akan mempertimbangkan permintaan tersebut secara serius?
Menurut Ian Storey, meski terdengar spekulatif, kisah ini memiliki dasar strategis tertentu. Sejak 2006, Rusia telah menunjukkan minat terhadap Pulau Biak. Saat itu, Moskow mengusulkan pembangunan fasilitas peluncuran satelit komersial di Biak menggunakan pesawat angkut berat. Namun, rencana tersebut gagal karena masalah transfer teknologi rudal serta penolakan dari masyarakat lokal.
Pada 5 Desember 2017, dua pesawat pengebom strategis Tu-95MS milik Rusia yang berkemampuan nuklir mengisi bahan bakar di Bandara Internasional Frans Kaisiepo, Biak, sebelum melanjutkan patroli udara di Samudra Pasifik Selatan. “Hingga kini belum jelas alasan Jakarta menerima kehadiran pesawat itu, namun tampaknya kejadian tersebut hanya berlangsung satu kali,” tulis Storey.
Penerbangan dari Vladivostok ke Biak dilaporkan memakan waktu lebih dari delapan jam. Misi ini menjadi penting karena melibatkan pesawat pengebom strategis yang terbang di wilayah dekat Australia. Menurut Kementerian Pertahanan Rusia, pada November 2017, Tu-95MS melakukan misi patroli dari lapangan udara di Biak.
Jika laporan dari Jane’s benar, maka besar kemungkinan Rusia menginginkan akses reguler ke pangkalan tersebut. Letak Biak memang sangat strategis: hanya 1.400 km dari Darwin, 1.900 km dari Guam, dan 4.000 km dari Perth—semuanya berada dalam jangkauan pesawat pengintai Rusia.
Rusia melihat Amerika Serikat sebagai pesaing strategis utama, dan karenanya tertarik memantau aktivitas militer di ketiga lokasi tersebut. AS memiliki kehadiran militer signifikan di Darwin dan Guam, sementara Perth akan menjadi pangkalan kapal selam nuklir AS dan Inggris mulai 2027 sebagai bagian dari pakta keamanan AUKUS—yang ditentang oleh Rusia.
AUKUS sendiri merupakan aliansi trilateral antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat yang diumumkan pada 15 September 2021. Melalui pakta ini, AS dan Inggris akan membantu Australia mengembangkan dan mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir serta memperkuat kehadiran militer Barat di kawasan Indo-Pasifik.
Namun dari perspektif Indonesia, skenario pangkalan udara Rusia di Biak terasa kurang masuk akal. Masalah kedaulatan dan prinsip kebijakan luar negeri “bebas dan aktif” membuat kemungkinan tersebut sangat kecil. Meski begitu, menurut Storey, hal-hal yang lebih aneh pernah terjadi.
Sejak merdeka pada 1945, Indonesia memegang teguh prinsip menolak kehadiran militer asing di wilayahnya. Sensitivitas ini diperkuat oleh pengalaman sejarah, seperti intervensi militer Australia di Timor Timur pada 1998, yang memicu krisis diplomatik dengan Jakarta. Bahkan saat bencana tsunami melanda Aceh pada 2004, Indonesia sempat ragu menerima bantuan militer asing.
Indonesia juga sangat sensitif terhadap isu separatisme, termasuk di Papua, sehingga cenderung menghindari segala bentuk dukungan asing yang bisa ditafsirkan mendukung gerakan separatis. Inilah sebabnya Indonesia mendukung resolusi PBB yang mengecam invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, termasuk dukungan Moskow terhadap separatis di Donbas.
“Keberadaan militer Rusia di Biak dapat merusak hubungan strategis Indonesia dengan AS dan Australia,” tegas Storey. Apalagi saat isu ini mencuat, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dengan tegas menyatakan, “Kami jelas tidak ingin melihat pengaruh Rusia di wilayah kami.”
Walau begitu, perlu dicatat bahwa konstitusi Indonesia tidak secara eksplisit melarang penempatan pasukan asing. Pada era Presiden Sukarno, Indonesia menjalin kerja sama erat dengan Uni Soviet dan menerima kehadiran banyak penasihat militer dari sana.
Prabowo Sudah Empat Kali ke Rusia
Storey juga menyoroti kecenderungan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang disebutnya kerap mengambil keputusan tergesa-gesa, termasuk rencana perdamaian Ukraina 2022 dan komunike bersama dengan Tiongkok pada 2024 terkait Laut Cina Selatan—yang dinilai melemahkan posisi kedaulatan Indonesia.
Sebagai Menteri Pertahanan dan kini Presiden terpilih, Prabowo telah empat kali mengunjungi Rusia, terakhir pada Juli 2024. Pada Februari 2025, mantan Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, kini menjabat Sekretaris Dewan Keamanan Rusia, melakukan kunjungan ke Jakarta. Menurut Jane’s, kemungkinan besar dalam pertemuan itulah, atau tak lama setelahnya, Rusia mengajukan permintaan untuk menggunakan pangkalan udara di Biak.
Ada kemungkinan juga bahwa kunjungan pesawat pengebom strategis Rusia ke Biak pada 2017 berkaitan dengan negosiasi pembelian 11 unit pesawat tempur Su-35 senilai 1,14 miliar dolar AS yang kala itu sedang dirundingkan.
Kesepakatan tersebut ditandatangani pada 2018, tetapi gagal tiga tahun kemudian, diduga karena ancaman sanksi dari Amerika Serikat. Namun, di bawah pemerintahan Prabowo, pengadaan pesawat tempur Rusia bisa saja kembali dipertimbangkan.
Apakah Moskow menawarkan diskon pesawat sebagai imbalan atas akses ke pangkalan udara Biak?
Pada akhirnya, meskipun secara geopolitik tawaran Rusia terlihat memiliki keuntungan strategis, namun karena prinsip kedaulatan dan arah kebijakan luar negeri Indonesia, kecil kemungkinan permintaan itu akan dikabulkan. Namun, seperti kata Ian Storey, “hal-hal yang lebih aneh pernah terjadi.” (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!