Jakarta, Jubi – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo), Gulat ME Manurung, mengklaim sebanyak 17 juta petani mendukung gagasan Presiden Prabowo Subianto soal perluasan kelapa sawit.
“Apkasindo memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo terkait kebijakan sawit tersebut. 17 juta kepala keluarga petani sawit dari Aceh hingga Papua memberikan dukungan penuh,” kata Gulat dalam keterangan di Jakarta, Senin (6/1/2025).
Menurut Gulat, kelapa sawit merupakan anugerah bagi Indonesia yang justru didambakan negara lain. “Jadi anugerah tadi sudah sewajarnya menjadi daya tawar Indonesia kepada dunia,” ujarnya.
Gulat mengatakan arahan presiden tentang membuka kebun sawit yang baru seharusnya dibaca dalam arti luas yaitu untuk produktivitas sawit yang dapat dilakukan melalui dua cara.
Pertama, replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR) yang dikenal dengan intensifikasi atau huluisasi. Kebijakan replanting tersebut, kata Gulat, dapat membuat produktivitas sawit rakyat naik 3-4 kali lipat.
Kedua, strategi ekstensifikasi atau menambah luas lahan sawit. Dia mengklaim pilihan ini terbuka karena hutan Indonesia masih jauh lebih luas di atas standar minimum (hutan vs non hutan).
Namun, Gulat menyarankan lebih baik mengoptimalkan tanah terdegradasi atau terlantar, bekas pertambangan atau klaim kawasan hutan yang sudah tidak berhutan sebagaimana rekomendasi hasil riset Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB tahun 2023.
Tidak ada penambahan lahan sawit di RPJM
Presiden Asian Society of Agricultural Economists (ASAE), Bustanul Arifin, mengungkapkan saat ini para menteri Kabinet Merah Putih harus bekerja keras menerjemahkan arahan Presiden terkait rencana penambahan lahan kelapa sawit.
Jika nantinya sudah menjadi kebijakan nasional, dia mengharapkan agar semua komponen bangsa mengawalnya dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan.
Namun Arifin juga mengatakan sejauh ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tidak ada penambahan lahan sawit seperti yang disampaikan Presiden Prabowo.
Karena itu, jika rencana Presiden Prabowo itu akan dilaksanakan menurutnya perlu ada kebijakan baru.
“Karena bagaimana pun finalisasi aktivitas itu (penambahan lahan kelapa sawit) kan ada di dalam kebijakan. Kalau akan ada kebijakan baru, nanti memang perlu kita kawal sama-sama,” ujar Arifin.
Bustanul Arifin juga mengingatkan agar ikut memikirkan konsekuensi perluasan sawit secara baik mengingat sumbangan sawit atas laju deforestasi.
Jika ada perubahan tata guna hutan untuk ditanami sawit, menurutnya pasti ada perubahan bagi kemampuan menambat dan menyimpan karbon.
Tanaman hutan dipastikan mempunyai kemampuan daya tangkap dan daya simpan karbon lebih tinggi dibanding tanaman sawit. Bahkan, hutan juga mempunyai daya lepas karbon lebih sedikit daripada sawit.
‘’Dari situ para ahli meneliti sampai sedetail-detailnya sedapat mungkin kalau ada perubahan hutan menjadi sawit, harus ada reforestasi atau aforestasi yang harus ditambah. Jadi ada kompensasi, kalau ada perubahan ada pengurangan,’’ tutur Arifin.
Dia tidak setuju jika benar-benar melakukan pembabatan hutan untuk ditanami sawit tanpa ada upaya kompensasi di atas. Begitu juga pembukaan lahan di lahan gambut.
“Di lahan gambut pasti akan menimbulkan emisi karbon baru, sementara pada saat yang sama kita menandatangani komitmen untuk menurunkan [faktor penyebab] perubahan iklim,’’ ungkapnya.
Reforestasi merupakan proses menanam kembali pohon di lahan yang sebelumnya telah gundul atau terdegradasi. Adapun, aforestasi adalah pembentukan hutan atau penegakan pepohonan di area yang sebelumnya bukan hutan.
Selama ini, Indonesia sudah menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada industri sawit. Misalnya untuk standar dunia, Indonesia sudah mengikuti RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil).
Bahkan, di dalam negeri, Indonesia juga menerapkan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Dan hal tersebut telah mendapatkan apresiasi dari komunitas internasional.
Terkait hambatan masuknya produk kepala sawit Indonesia ke Eropa, Arifin mengakui hal itu disebabkan kekhawatiran bahwa produk sawit Indonesia akan mengancam produk mereka, seperti minyak bunga matahari dan minyak kanola.
“Kan menerapkan aturan deforestasi yaitu EUDR (European Union Deforestation Regulation) yang sempat ditunda setahun karena diprotes oleh Amerika Serikat. Apakah Indonesia diam saja? Tidak,” tuturnya.
Menurut dia, ada tim task force yang saat ini sedang menyusun berbagai hal secara detail, mulai dari definisi deforestasi dan lainnya. Mereka telah membahas hal itu bersama Malaysia dan juga Uni Eropa.
‘’Memang betul pangsa pasar sawit kita ke Eropa tidak terlalu besar, 12 persen, tak sampai 20 persen. Tapi Eropa kan menjadi trendsetter. Jika Eropa sudah ikut melarang memasukkan barang kita atau produksi bio fuel kita ke sana, saya khawatir negara lain ikut-ikutan,’’ ungkapnya.
Untuk itu, dia menyarankan selain daya saing, kemampuan diplomasi kampanye positif sawit harus terus dilakukan.(*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!