Nabire, Jubi – Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua [periode 2019-2024] Jhon NR Gobay mengatakan terkait rencana transmigrasi ke Tanah Papua, pemerintah [pusat] harus menghormati UU Otsus Papua.
“Karena amanah Undang-Undang Otonomi Khusus Papua itu jelas bahwa apapun kebijakan pemerintah pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah, gubernur, dan DPRP,” katanya kepada Jubi yang mengontaknya Senin (11/11/2024).
Gobay menjelaskan pada Pasal 61 ayat 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dinyatakan bahwa pelaksanaan program transmigrasi nasional dilaksanakan dengan persetujuan gubernur.
“Proses-proses yang ada di dalam Undang-Undang Otsus ini tidak pernah dijalankan oleh negara, negara melakukan semau mereka sendiri,” ujarnya.
Selain itu, kata Gobay, persetujuan gubernur itu juga harus didasarkan atas Peraturan Daerah Provinsi atau Perdasi.
Kemudian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian juga mengatur tentang transmigrasi ke Tanah Papua.
Dalam PP itu, pada Pasal 5 disebutkan kawasan transmigrasi ditetapkan oleh menteri dan penetapan kawasan transmigrasi itu dapat dilakukan berdasarkan usulan dari pemerintah daerah.
Pertanyaannya sekarang, kata Gobay, dalam kerangka Otonomi Khusus Papua pelaksanaan transmigrasi harus berdasarkan ketentuan pada UU Otsus Papua dengan dasar Perdasi.
“Apakah pemerintah pusat membaca peraturan tentang ini atau tidak, saya tidak mengerti juga kebijakannya, tiba-tiba ide, tiba akal,” katanya.
Pada Pasal 61 ayat 3 UU No 21/2001, jelas Gobay, dinyatakan bahwa program transmigrasi nasional dilaksanakan dengan persetujuan gubernur. Sedangkan untuk melaksanakan persetujuan gubernur didasarkan atas Perdasi. Perdasi disusun oleh DPRP, sedangkan DPRP periode 2024-2029 baru dilantik.
“Jika kebijakan transmigrasi dijalankan kapan mereka harus menyusun Perdasi atau Perdasus. Seharusnya semuanya dibahas sebelum pemekaran agar kebijakan yang diambil tidak tergesa-gesa seperti ini,” ujarnya.
Menurut Gobay sesuai PP No 19/2014 selama daerah belum mengusulkan dan belum masuk ke dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), juga daerah belum melakukan penyediaan lahan, maka transmigrasi tidak bisa dilaksanakan.
Kemudian Perdasi Papua No 15 tahun 2008 tentang Kependudukan Pasal 44 menyebutkan; (1) Kebijakan transmigrasi di Provinsi Papua akan dilaksanakan setelah Orang Asli Papua mencapai jumlah 20 juta jiwa. Seterusnya, (2) Kebijakan transmigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua).
“Sepanjang persyaratan di atas belum terpenuhi dan pemerintah provinsi belum membuat perdasi, tentu belum mempunyai dasar hukum yang mengatur transmigrasi tersebut. Agak janggal bila dipaksakan, tentu bertentangan dengan ketentuan UU Otsus Papua,” ujarnya.
Terkait penetapan sebuah kawasan transmigrasi oleh menteri harus berdasarkan usulan pemerintah daerah, Gobay mempertanyakan pemprov atau pemkab mana di Tanah Papua yang mengusulkan adanya penetapan kawasan transmigrasi.
“Bagian ini harus jelas, apakah benar ada pelepasan atau pinjam pakai tanah adatnya, karena pada waktu lalu pengambilan lahan untuk transmigrasi telah merugikan masyarakat adat, bahkan konyolnya lagi tanah tersebut dijual lagi oleh transmigran yang mendapatkan tanah cuma-cuma,” ujarnya.
Menurut Gobay, atas dasar beberapa ketentuan dan persoalan tersebut, maka sebaiknya didorong transmigrasi lokal atau pemukiman-pemukiman lokal masyarakat di sepanjang ruas-ruas jalan yang baru dibangun untuk pertumbuhan baru.
“Karena dengan adanya kebijakan transmigrasi ini seberapa banyak tanah-tanah adat milik masyarakat Papua sebagai sumber-sumber kehidupan yang akan hilang, temasuk satwa lindung di Tanah Papua,” katanya.
MRP belum membahas
Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Tengah Benny Zonggonau mengatakan secara internal MRP Provinsi Papua tengah belum membahas terkait program transmigrasi. Menurutnya, sebagai provinsi baru, Papua Tengah belum apa-apa atau belum menata daerah dengan baik, namun tiba-tiba ada kebijakan yang tumpang tindih.
“Karena kami belum membuat sejumlah regulasi untuk memproteksi masyarakat adat, belum juga melakukan pendataan orang asli, kami masih pakai data yang lama di Provinsi Papua induk untuk memastikan jumlah Orang Asli Papua, malah ada kebijakan seperti ini. Pemerintah pusat harus bisa memberikan penjelasan alasan mengapa pengiriman transmigrasi ini,” katanya.
Menurut Zonggonau dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) orang Papua belum siap, karena bisa dilihat mayoritas orang Papua mendaftar sekitar 10 ribu, sementara kuota yang dibutuhkan sekitar 900 ribu untuk provinsi.
“Secara SDM untuk bekerja di sektor swasta kebanyakan orang Papua belum siap. Bila transmigrasi datang maka transmigran akan menguasi sektor-sektor swasta, karena alasan mereka sudah siap dalam berbagai sektor,” katanya.
Karena itu, Zonggonau menolak program transmigrasi di seluruh Tanah Papua, khususnya di Provinsi Papua Tengah. Ia menolak transmigrasi karena beberapa alasan, termasuk masyarakat akan kehilangan masyarakat adat.
“Kami menolak transmigrasi karena, pertama banyak tanah adat milik masyarakat adat yang akan hilang atas nama kebijakan negara, Orang Asli Papua bisa kehilangan tanah-tanah adat,” ujarnya.
Zonggonau meminta pemerintah menghargai UU Otsus Papua yang secara jelas menerangkan bahwa apapun kebijakan harus berkoordinasi dengan daerah. Sementara status kepala daerah di Papua Tengah masih penjabat atau belum ada yang definitif.
“Jangan memanfaatkan situasi ini untuk meloloskan kebijakan, karena dalam aturan itu mengatakan bahwa harus gubernur definitif yang bisa mengambil kebijakan, bukan penjabat, mereka tidak punya kapasitas untuk membuat program semacam itu,” katanya.
Kebijakan Orde Lama
Perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Surabaya, Ronald Kinho mengatakan kebijakan transmigrasi atau penjajahan pendudukan dimulai sejak 1964 atau tiga tahun sejak rezim Orde Lama Sukarno mengumandangkan Trikora.
“Poin kedua Trikora berbunyi ‘bersiaplah untuk mobilisasi umum di seluruh Tanah Papua’, hal ini menjadi seruan, sekaligus sebagai legitimasi jalannya kebijakan transmigrasi di atas Tanah Papua,” katanya.
Tercatat, kata Kinho, ada 78.000 kepala keluarga dengan jutaan jiwa imigran dari luar Tanah Papua, seperti Pulau Jawa dikirim ke Papua untuk mengikuti program ini. Mereka disediakan tanah untuk bertani, rumah, dan berbagai fasilitas penunjang lainnya.
“Setelah Orde Baru runtuh karena gelombang Reformasi 1998, program transmigrasi reguler ini pun dihentikan, namun tidak serta merta meminimalisir gelombang migrasi dari luar Papua,” ujarnya.
Menurut Kinho kebijakan transmigrasi diperparah dengan masifnya pemekaran DOB (Daerah Otonomi Baru) yang menjadi sasaran empuk migrasi penduduk dari luar Papua.
“Ada yang datang tanpa KTP (Kartu Tanda Penduduk), namun setelah sebulan tinggal di Papua langsung KTP Papuanya jadi. Sedangkan orang Papua sendiri buat KTP di luar Papua susahnya minta ampun,” katanya.
Karena migran sudah mendominasi, lanjutnya, maka mereka mulai menguasai berbagai sektor kehidupan. Awalnya hanya sektor ekonomi seperti warung, kios, toko, dan berjualan bahan pangan di pasar, lama-kelamaan langsung memonopoli sektor perekonomian dan bisnis. Setelah mendominasi sektor ekonomi, migran mulai bergerak menguasai sektor politik.
Bila dilihat dari persentase jumlah kursi DPR, baik kabupaten dan kota, maupun provinsi dan pusat, paling dominan dikuasai oleh migran.
“Bahkan mereka sudah melangkah lebih berani dengan mencalonkan diri sebagai gubernur, hal ini menjadi bukti keberhasilan kolonial Indonesia dalam menerapkan penjajahan berbasis pembangunan koloni migran atau ‘settler colonialism’,” katanya.
Diperkirakan, kata Kinho, perbandingan populasi Orang Asli Papua dengan migran pada 1960 sebesar 99 persen OAP dan 1 persen migran atau amber (pendatang). Sedangkan pada 2021 sudah mencapai 50 persen OAP dan 50 persen migran atau amber.
“Bonus demografi ini diambil dari data Professor Jim Elmsley dari Sindey University yang meneliti gejala depopulasi atau genosida perlahan di Papua akibat program transmigrasi,” ujarnya.
Kinho berharap negara menghentikan program pengiriman transmigrasi ke Papua, baik legal yang dibiaya negara maupun ilegal yang diberangkatkan ke Papua.
Ia juga menyampaikan untuk menghentikan Proyek Strategis Nasional berupa cetak sawah dan penanaman tebu di Kabupaten Merauke, karena merampas tanah adat rakyat Papua di wilayah Merauke seluas 2 juta hektare yang mengorbankan masyarakat adat di Tanah Papua. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!