Jayapura, Jubi – Penjabat Gubernur di Tanah Papua tidak berwenang untuk memberikan persetujuan penempatan transmigran baru di Tanah Papua. Persetujuan soal penempatan transmigran baru hanya dapat dilakukan oleh gubernur definitif, dengan melibatkan DPR provinsi dan Majelis Rakyat Papua.
Hal itu dinyatakan pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih atau Uncen, Dr Yusak E Reba SH MH terkait wacana pemerintah pusat untuk menempatkan transmigran baru di Tanah Papua. Rencana pemerintah pusat itu menimbulkan kontroversi dan ditolak berbagai pemangku kepentingan di Tanah Papua, karena dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua).
“Penjabat Gubernur boleh kah tidak [menyetujui penempatan transmigran]? Jawabannya, tidak. UU Otsus Papua menyebut [pihak yang berwenang menyetujui penempatan transmigrasi adalah] Gubernur, itu artinya Gubernur definitif yang dipilih oleh rakyat,” kata Reba saat dihubungi Jubi pada Kamis (7/11/2024).
Reba menjelaskan Pasal 61 UU Otsus Papua telah mengatur secara jelas kewenangan khusus setiap pemerintah provinsi di Tanah Papua di bidang kependudukan. Reba menyatakan Pasal 61 UU Otsus Papua itu terdiri dari empat ayat, dan keempat ayat itu harus dipahami sebagai satu kesatuan.
Pasal 61 ayat (1) UU Otsus Papua menyatakan Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. Ayat (2) pasal itu menyatakan Pemerintah Provinsi harus memberlakukan kebijakan kependudukan untuk mewujudkan pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan.
Ayat (3) pasal tersebut mengatur penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur. Sementara ayat (4) pasal itu menyatakan penempatan penduduk dalam rangka transmigrasi baru sebagaimana dimaksud ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau Perdasi.
Reba menyatakan esensi terpentingnya Pasal 61 UU Otsus Papua adalah kebijakan kependudukan di Tanah Papua harus memberi ruang kepada Orang Asli Papua berpartisipasi kepada semua sektor pembangunan. “Kebijakan kependudukan, termasuk transmigrasi, [harus memberi ruang bagi] Orang Asli Papua dari sisi jumlah, harus ada ruang untuk [Orang Asli Papua] bertumbuh. Kedua, dari sisi pemberdayaan, [harus ada ruang] untuk meningkatkan kualitas hidup Orang Asli Papua dalam berbagai sektor pembangunan,” katanya.
Ia menjelaskan kebijakan kependudukan yang dimandatkan UU Otsus Papua harus memastikan tidak terjadi ancaman kepunahan atau penyusutan jumlah Orang Asli Papua. Selain itu, tidak boleh ada pembatasan akses bagi Orang Asli Papua dalam berbagai sektor pembangunan.
“Kedua esensi itu, baik [dari sisi] jumlah dan [dari sisi] pemberian akses. Maka kebijakan kependudukan itu diatur dalam UU Otsus Papua, karena itu terkait dengan esensi kehidupan Orang Asli Papua di Tanah Papua,” kata Reba.
Kewenangan bersama Gubernur, MRP, DPR provinsi
Pemerintah Provinsi Papua pada 2008 telah mengundangkan Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan (Perdasi Kependudukan). Pasal 44 ayat (1) Perdasi Kependudukan menyatakan penempatan transmigran baru di Provinsi Papua bisa dilakukan jika jumlah Orang Asli Papua telah mencapai 20 juta jiwa. Ayat (2) pasal itu menyatakan penempatan transmigran baru sebagaimana dimaksud ayat (1) itu bisa dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua.
Dr Yusak E Reba SH MH menjelaskan Perdasi Kependudukan itu merupakan aturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 61 ayat (3) UU Otsus Papua. Pasal 61 UU Otsus Papua telah ada di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Lama), dan tidak mengalami perubahan dalam dua kali perubahan UU Otsus Papua. Dengan demikian, Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan (Perdasi Kependudukan) sebagai aturan pelaksanaannya tetap sah dan berlaku.
“Artinya, segala proses penempatan transmigrasi di Papua harus taat kepada Pasal 61 dan mengikuti [aturan] Perdasi Kependudukan. Perdasi itu masih berlaku hingga kini. Pemerintah pusat harus taat dan menghormati UU Otsus Papua, khususnya Pasal 61,” ujar Reba.
Reba mengingatkan bahwa Gubernur bukan subyek hukum tunggal penyelenggara Otonomi Khusus Papua. Menurutnya, Gubernur tidak bisa menyetujui penempatan transmigran baru di Tanah Papua tanpa pertimbangan dan persetujuan MRP se-Tanah Papua.
Reba menyatakan kewenangan khusus kependudukan dalam Pasal 61 UU Otsus Papua yang memiliki esensi menjamin ruang hidup bagi Orang Asli Papua tidak bisa dipisahkan dari kewenangan MRP dalam memproteksi Orang Asli Papua. Ia mengingatkan bahwa Pasal 20 UU Otsus Papua menegaskan tugas dan wewenang MRP, termasuk dalam memberikan perlindungan bagi hak Orang Asli Papua.
“Jadi, sekalipun Pasal 61 ayat (3) UU Otsus Papua memberikan kewenangan kepada Gubernur [untuk menyetujui penepatan transmigran] yang dilakukan menurut Perdasi [Kependudukan], tetapi dalam pemberian persetujuan [penempatan transmigran baru] sesungguhnya MRP juga punya kewenangan [untuk menyetujui atau menolaknya],” katanya.
Menurut Reba, karena rencana pemerintah pusat menempatkan transmigran baru di Tanah Papua menimbulkan banyak penolakan, aspirasi Orang Asli Papua menolak penempatan transmigran baru itu harus disampaikan MRP kepada Gubernur. Jika kebijakan penempatan transmigrasi berimplikasi kepada hak Orang Asli Papua, maka MRP mempunyai wewenang untuk memberikan pertimbangan kepada Gubernur terkait pemberian persetujuan penempatan transmigran itu.
“Jadi, pemberian persetujuan Gubernur terhadap penempatan transmigran sesungguhnya bukan tunggal atau wewenang mutlak Gubernur. Karena, ada MRP yang diberi kewenangan dan [bisa memberikan pertimbangan dalam proses] persetujuan. Pemerintah pusat wajib hukumnya menghormati dan menaati UU Otsus Papua, khususnya Pasal 61,” kata Reba.
Reba mengingatkan DPR provinsi di Tanah Papua juga memiliki kewenangan khusus terkait Otsus Papua. Representasi Orang Asli Papua dalam DPR provinsi juga diatur melalui pengangkatan Orang Asli Papua menjadi anggota DPR provinsi tanpa melalui Pemilihan Umum. Menurut Reba, kewenangan untuk menyetujui atau menolak penempatan transmigran baru di Tanah Papua ada pada ketiga lembaga—Gubernur, MRP, dan DPR provinsi—secara bersama-sama.
“Jadi tidak serta merta Presiden menggunakan wewenangnya untuk memperbolehkan transmigrasi [ke Tanah Papua]. Kalau [pemerintah pusat] mau melanggar UU Otsus Papua, ya harus disampaikan secara terbuka bahwa [pemerintah pusat menganggap] Tanah Papua bukan daerah khusus. Tetapi kalau pemerintah pusat menghormati Otonomi Khusus Papua, maka [pemerintah pusat] harus taat [UU Otsus Papua dan aturan pelaksanaannya],” kata Reba.
Rujukan DOB
Reba juga menyatakan Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan (Perdasi Kependudukan) seharusnya dijadikan rujukan dalam penempatan transmigran baru di provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua. Jika ketiga provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua—Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan—belum memiliki Perdasi Kependudukan tersendiri, penempatan transmigran baru di sana lebih baik ditunda.
“Bukan berarti Daerah Otonom Baru [yang] belum ada Perdasi [Kependudukan] boleh ditabrak, [Jika] produk hukum kerangka Otonomi Khusus Papua belum dibentuk, maka kebijakan [penempatan transmigran baru] itu jangan dilakukan dulu. Jangan menggunakan kekosongan hukum di provinsi baru [untuk] menabrak aturan Pasal 61 UU Otsus Papua,” kata Reba.
Saat Jubi mencoba meminta tanggapan Ketua Majelis Rakyat Papua, Nerlince Wamuar Rollo mengenai rencana penempatan transmigrasi baru di Tanah Papua, Rollo enggan menangapi hal itu. “[Hal itu] perlu menjadi pembahasan atau pemikiran banyak orang, bukan secara pribadi,” kata Rollo saat ditemui pada pengambilan sumpah dan janji jabatan anggota DPR Papua di Kota Jayapura, Papua, pada 31 Oktober 2024.
Dosen Universitas Papua, Dr Agus Sumule mengatakan kebijakan penempatan penduduk dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua dalam rangka transmigrasi tidak bisa dilakukan pemerintah pusat secara sepihak. Agus juga menyatakan persetujuan untuk menerima penempatan transmigran seharusnya melibatkan DPR provinsi di Tanah Papua.
“Dengan keluarnya UU Otsus Papua, sudah tidak boleh lagi ada program transmigrasi [tanpa persetujuan gubernur],” ujar Agus Sumule saat dihubungi pada 31 Oktober 2024. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!