Jayapura, Jubi – Direktur Walhi Papua Maikel Primus Peuki mengatakan perusahaan kayu PT Mutiara Alas Khatulistiwa atau PT MAK diduga telah beroperasi di hutan adat masyarakat adat wilayah Kapiraya, Kabupaten Deiyai, Papua Tengah tanpa meminta izin kepada Suku Mee sebagai pemilik hutan adat.
Maikel Primus Peuki kepada Jubi di ruang kerjanya, Kota Jayapura, Papua pada Selasa (28/5/2024) mengatakan perusahaan sebelumnya, PT Alas Tirta Kencana atau ATK digantikan oleh PT Mutiara Alas Khatulistiwa, mendapat izin dari Kementerian Kehutanan pada 2016.
Perusahaan itu beroperasi menebang pohon besi dan jenis pohon lain yang berkualitas baik di beberapa kampung, yakni Kampung Wakia, Wamuka, dan Kapiraya di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Tengah sejak 2002 hingga sekarang.
Namun dengan kehadiran perusahaan itu di sana, masyarakat adat mempertanyakan apakah perusahaan tersebut benar memiliki surat izin dari Pemerintah Kabupaten Mimika dan masyarakat adat suku Kamoro atau tidak.
Peuki mengatakan Walhi Papua pada 15 Mei 2024 menerima laporan dari masyarakat adat Kapiraya bahwa perusahaan tersebut tidak mengantongi izin dari masyarakat adat Wilayah Kapiraya, Suku Mee, sebagai pemilik hutan adat namun perusahaan tersebut melakukan aktivitas menembang hutan di hutan mata pencarian masyarakat Suku Moni.
“Setelah Walhi Papua menyelidiki perusahaan itu, kami mendapatkan surat izin dari Pemerintah Kabupaten Timika dan masyarakat Suku Kamoro, namun perusahaan itu selain beroperasi di Mimika, tepatnya di kawasan masyarakat adat Suku Kamoro, juga beroperasi menembang kayu di Kali Kapiraya yang hak ulayatnya masyarakat adat Suku Mee,” katanya.
Peuki melanjutkan dalam pengambilan kayu terdampak pada wilayah Kabupaten Deiyai, yaitu di kawasan suku Mee masyarakat setempat menolak kehadiran perusahaan kayu tersbeut, karena perusahaan itu selain mencari kayu juga mendulang [mencari] emas dengan alat berat ekskavator milik perusahaan.
“Sebenarnya sejak 2022 sempat terjadi konflik horizontal antara Suku Mee dan Suku Kamoro,” katanya.
Konflik itu terjadi di wilayah Kapiraya, karena wilayah Kapiraya perbatasan antara Kabupaten Mimika dengan Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Dogiay. Namun Pemkab Deiyai sudah mendamaikan pertikaian kedua susku di Distrik Kapiraya sejak Mei 2022.
Terkait informasi terbaru tersebut Walhi Papua sedang mendalaminya. “Tapi secara lembaga kami melihat ini aktivitas perusahaan kayu yang sudah dilakukan dari beberapa tahun terakhir ini, sudah terjadi kerusakan hutan adat [di kawasan masyarakat suku Mee],” ujarnya.
Direktur Wahli Papua menilai perusahaan kayu yang beroperasi lebih 20 tahun itu telah menyebabkan kerusakan hutan adat di mata pencarian masyarakat setempat.
“Di sisi lain masyarakat Suku Mee atau Duku Kamoro sebenarnya mereka tidak memahami soal kehadiran perusahaan itu, mereka mau menjaga hutan adat mereka, sebab kehadiran perusahaan itu sebenarnya mengancam sistem tempat pencarian mereka,” ujarnya.
Maikel Primus Peuki mengatakan dengan aktivitas perusahaan beberapa tahun menebang kayu seperti itu, maka Walhi Papua menyebutnya sebagai perusahaan nakal. Sebab, katanya, perusahaan tersebut mendapatkan surat izin dari Pemerintah Kabupaten Mimika namun dalam aktivitasnya beroperasi di kawasan wilayah masyarakat adat Suku Mee di Kabupaten Deiyai hampir puluhan tahun tanpa memiliki izin.
“Pemerintah harus memperjelas status wilayah perbatasan antara wilayah Kabupaten Mimika, Deiyai, dan Dogiay agar ke depan tidak terjadi konflik horizontal antar suku,” katanya.
Sebab, katanya, aktivitas perusahaan beberapa tahun belakangan lebih mengancam tempat pencarian masyarakat adat suku Mee. (*)
Discussion about this post