Jayapura, Jubi – Pertengahan Oktober lalu, para peneliti National Geographic Pristine Seas meluncurkan ekspedisi penelitian ekstensif dalam kemitraannya dengan Pemerintah Kepulauan Solomon dan beberapa organisasi ilmiah untuk mempelajari kesehatan lautan negara tersebut.
“Tim tersebut menggunakan teknologi mutakhir, termasuk kamera bawah air dan kapal selam, untuk lebih memahami ekosistem laut dan mendukung upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati laut,” demikian dikutip jubi.id dari tavulinews.com.sb, Rabu (20/11/2024).
“Penemuan karang ini merupakan secercah harapan,” kata Eric Brown, ilmuwan karang untuk ekspedisi Pristine Seas. “Meskipun terumbu karang di dekatnya telah menderita akibat pemanasan laut, karang besar ini tetap sehat, sehingga memberikan harapan bagi masa depan ekosistem karang,” tambahnya.
Penemuan yang luar biasa ini muncul saat hanya 8,4% lautan dunia yang dilindungi. Para ilmuwan mendesak upaya global untuk melindungi setidaknya 30% lautan guna membantu mengurangi perubahan iklim dan memastikan kelangsungan hidup kehidupan laut.
Collin Beck, Sekretaris Tetap Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Luar Negeri Kepulauan Solomon, menekankan pentingnya melestarikan penemuan-penemuan tersebut. “Kepulauan Solomon adalah penjaga keajaiban Segitiga Terumbu Karang, dan penemuan ini menggarisbawahi perlunya penelitian dan upaya konservasi yang berkelanjutan.” katanya.
Kepulauan Solomon, yang memiliki keanekaragaman karang tertinggi kedua di dunia, merupakan rumah bagi lebih dari 490 spesies karang yang diketahui. Penemuan baru ini semakin memperkuat pentingnya peran negara ini dalam upaya konservasi laut global.
Adapun fakta fakta tentang penemuan para peneliti tersebut adalah,
- Terumbu karang raksasa itu ukurannya kira-kira sebesar dua lapangan basket atau lima lapangan tenis.
- Perkiraan usia karang tersebut antara 300 dan 500 tahun, berdasarkan ukurannya dan perbandingan dengan spesies serupa di Pasifik.
- Penemuan ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari 18 ilmuwan dan pembuat film di atas kapal penelitian Argo .
National Geographic Pristine Seas bekerja sama dengan masyarakat adat dan lokal, pemerintah, dan mitra lainnya untuk membantu melindungi tempat-tempat penting di lautan menggunakan kombinasi unik dari penelitian, keterlibatan masyarakat, kerja kebijakan, serta komunikasi dan media yang strategis.
Sejak 2008, program ini telah melakukan lebih dari 45 ekspedisi di seluruh dunia dan membantu membangun 29 cagar laut, yang mencakup lebih dari 6,8 juta kilometer persegi lautan. Pristine Seas adalah bagian dari lembaga nirlaba global, National Geographic Society. “Misi kami didorong oleh sains dan pembuatan film — kami sepenuhnya independen dari penerbitan National Geographic dan divisi medianya,” demikian dikutip dari tavulinews.com
Raja Ampat, Papua Barat Daya dan terumbu karang
Kepulauan Raja Ampat juga bagian dari Segitiga Terumbu Karang yang terletak di sudut barat laut Provinsi Papua Barat Daya Indonesia. Kawasan itu meliputi daratan dan lautan seluas 40.000 km² dan mencakup serangkaian lebih dari 1.500 pulau yang mengelilingi pulau-pulau utama Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo.
“Terletak di persimpangan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, Raja Ampat telah digambarkan sebagai ‘pabrik spesies’,” demikian dikutip jubi dari wwf.panda.org, Rabu (20/11/2024).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa survei ilmiah komprehensif pertama di wilayah tersebut baru dilakukan pada 2001, sebuah sensus yang memecahkan rekor karena menemukan hampir 1.000 spesies ikan tropis. Banyak spesies yang ditemukan sebelumnya tidak dikenal.
Arus laut dalam yang kuat menyalurkan nutrisi ke terumbu karang tepian Raja Ampat yang halus, jurang air biru, dataran bakau, dan padang lamun untuk membentuk fondasi rantai makanan yang memberi makan keanekaragaman hayati laut yang spektakuler.
Dengan penemuan keanekaragaman hayati Raja Ampat yang masih dalam proses, WWF telah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, kelompok masyarakat setempat, dan mitra konservasi seperti Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy untuk menciptakan Bird’s Head Seascape.
Meliputi area seluas 183.000 km², Bird’s Head Seascape juga mencakup 7 kawasan perlindungan laut di Raja Ampat dengan total luas 9.100 km².
Para ilmuwan telah menemukan bahwa banyak spesies karang di Raja Ampat mungkin lebih tahan terhadap kenaikan suhu laut akibat pemanasan global, memberikan harapan bahwa kawasan perlindungan laut tersebut dapat membantu memulihkan terumbu karang lain di dekatnya yang telah rusak parah akibat peristiwa pemutihan karang.
Sasi, bentuk konservasi tradisional
Salah satu bentuk pelestarian jenis ikan dan terumbu karang di Kepulauan Raja Ampat tak lepas pula dari peran masyarakat adat dalam menerapkan kearifan lokal mereka yaitu sasi atau pelarangan penangkapan ikan pada areal terumbu karang tertentu. Orang-orang di Pulau Misool Raja Ampat menyebut sasi dalam bahasa lokal, Samson.
Berbagai praktek sukses dan manfaat dalam melakukan sasi telah membuktikan bahwa warga yang melakukannya mendapat hasil yang memadai mulai dari memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga pendidikan anak sekolah.
“Kalau kita memakai nama sasi sebenarnya bukan bahasa asli di Papua dan berasal dari Maluku sehingga lebih baik menggunakan nama model konservasi tradisional di tanah Papua saja,” kata Endrico Kondologit antropolog, peneliti dan juga kreator museum Universitas Cenderawasih di Jayapura saat ditemui jubi belum lama ini.
Penyebutan asli itu bisa masuk dalam pelestarian budaya dan prakteknya terutama eksistensi dari keberadaan tradisi sasi atau atau Samson sebagai tradisi konservasi tradisional yang bernilai budaya melekat pada semua apsek.
Misalnya noken kalau dilihat dari tradisi orang Papua yang melekat pada sistem seni menganyam orang Papua. Dari sini setiap budaya orang Papua memiliki karakteristik masing-masing. Begitupula dengan seni ukir di Papua semua suku tidak mempunyai seni ukir. Satu hal menonjol dan dimiliki oleh semua suku di tanah Papua adalah memiliki seni menganyam noken dengan berbagai karakter yang berbeda.
Jadi kalau berbicara soal Samson atau sasi, sebenarnya merupakan bagian dari konservasi tradisional mulai dari “sasi perairan (dangkal dan pantai), sasi daratan dan sasi laut.” Sasi daratan itu berhubungan dengan tanaman dan juga hewan buruan di hutan. “Dengan konsep ruang hidup yang dimiliki oleh suku-suku di Papua dengan urgensi untuk aspek lingkungan saat ini, sebenarnya bisa diusulkan sebagai asset benda warisan yang bisa disampaikan ke tingkat UNESCO.
“Paling penting di sini adalah kita mampu melakukan identifikasi jenis-jenis konservasi yang dikenal oleh semua suku di Papua setidaknya dipresentasikan di dalam tujuh wilayah budaya di Tanah Papua ini. Misalnya Wilayah Budaya Saireri orang Byak, Wandamen, Yapen, Raja Ampat dan Fakfak untuk wilayah adat Domberai dan Womberai Kaimana, Animha, Lepago Mepago, Mamta (tiyatiki).
Oleh karena itu budaya sasi ini telah lama tertanam dengan nilai-nilai kearfian lokal untuk menjaga keseimbangan lingkungan alam dan ekosistemnya bisa diusulkan pula menjadi warisan budaya bagi masyarakat adat di tanah Papua. “Ini berarti bahwa sasi di Tanah Papua punya nama berbeda-beda tetapi fungsinya satu menjaga keseimbangan lingkungan sumber daya alam demi perlindungan bagi masa depan.”
Selain usulan untuk warisan dunia, juga perlu ada aturan Perda dalam pemanfaatan sumber daya alam bagi warga termasuk juga UU Lingkungan Hidup, lanjutnya.
Dengan adanya pemberlakukan sasi sebagai aturan adat, peraturan pemerintah hingga warisan budaya dunia yang harus dijaga, maka pelesatarian atau perlindungan alam dengan metode konservasi tradisional harus tetap dijalankan dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!